Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pada tanggal 14 Juli 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO) melakukan pemblokiran terhadap akses layanan media sosial yaitu Telegram. Dalam siaran pers yang dipublikasikan melalui laman website resmi KEMKOMINFO, secara jelas diterangkan mengenai alasan kenapa tindakan pemblokiran dilakukan. Secara lengkap, isi dari siaran pers tersebut bisa dilihat dan dibaca salah satu postingan milik Blogger Borneo yang berjudul: Alasan Utama Kenapa Telegram Diblokir.
Di alam demokrasi, alasan keamanan negara harus dilaksanakan di dalam koridor yang menjamin hak publik tetap terlindungi. Masih terkait dengan tindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO) yang memblokir Telegram, maka berikut ini penulis mencoba untuk memberikan kritik sekaligus solusinya.
KRITIK 1
Telegram dianggap tidak komunikatif dibandingkan layanan pesan singkat lainnya, dalih ini sangat subyektif. Ada banyak alasan dan sebab yang mungkin terjadi, bisa saja kesalahan justru terjadi di pihak pemerintah dalam hal ini KEMKOMINFO akibat kurang memahami mekanisme pelaporan/aduan di setiap platform yang berbeda-beda karena sifatnya yang global dan tidak secara spesifik ditujukan untuk sesuai dengan hukum atau peraturan serta preferensi sosial politik di semua negara.
SOLUSI
Pertama, mengaktifkan kembali keberadaan tim (pakar) panel konten negatif yang bertugas untuk menguji secara teknis usulan dan laporan atau permintaan pemblokiran dan memberi rekomendasi berdasarkan kajian komprehensif (pertimbangan lintas sektor). K
Kedua, mengundang penyedia layanan media sosial untuk berdiskusi dinamika terkini dan meningkatkan komitmen tindakan preventif/preemptive, misalnya dengan membentuk panel bersama sebagai shortcut untuk mempercepat proses penindakan internal setiap layanan.
KRITIK 2
Ada kemungkinan terjadinya miskomunikasi, seperti persoalan teknis, misalnya: reputasi domain dan IP yang digunakan oleh email resmi kementerian dikenal sangat buruk sehingga seringkali “tersangkut” filter anti SPAM atau RBL. Atau bisa juga email keberatan kominfo tidak sampai ke pengelola telegram, sebagaimana klarifikasi dari pavel durov pendiri telegram melalui akun twitter @durov.
SOLUSI
Gunakan saluran komunikasi alternatif, twitter, dan FB misalnya, jangan hanya terpaku pada abuse@telegram.org saja. Terlebih lagi, bagaimana bisa berkomunikasi kalau domainnya diblokir? Masih ingat dalam kasus vimeo bahkan menteri sampai teleconference dengan manajemen langsung, sebelum akhirnya mengambil keputusan blokir karena tidak ada titik temu. Tentu, kalau sudah seperti itu, kita mendukung. Tapi pada kali ini, sudah sampai seperti itu-kah? Kalau ternyata semata karena gagal komunikasi, maka menunjukkan upaya yang kementerian belum optimal.
KRITIK 3
Telegram tidak memiliki perwakilan resmi di indonesia. Alasan semacam ini menunjukkan pemerintah kurang memahami ragam model bisnis online, apalagi telegram berbeda dengan misalnya whatsapp sebagai kompetitor terdekat, bukan platform berorientasi bisnis/profit. Sebaliknya, Telegram menyediakan API terbuka/open source yang bisa dimanfaatkan seluas mungkin oleh startup maupun developer aplikasi pihak ketiga. Merekalah yang punya bisnis, bukan telegramnya.
Analoginya, Telegram mirip dengan sebuah distro linux. Apakah realistis mewajibkan mereka untuk memiliki representatif di Indonesia hanya untuk melayani urusan konten negatif? Kalau layanan lain yang bermotif bisnis, adanya representatif juga bisa menangani urusan pajak, iklan, dan lain sebagainya, itu baru masuk akal untuk dipaksa misalnya membuat perusahaan lokal.
SOLUSI
Pemerintah menyediakan saluran koordinasi cepat online khusus dengan tim teknis Telegram dan layanan sejenis.
KRITIK 4
Tindakan pemblokiran layanan Telegram dengan alasan untuk keamanan negara tidak dapat diterima karena faktanya pro dan kontra dikalangan aparat penegak hukum sendiri. Media sosial dan layanan pesan singkat dipergunakan oleh kedua belah pihak dengan tujuan masing-masing. Kelompok radikal dan petugas, juga inisiatif masyarakat sipil melakukan profiling, campaign dan aktivitas kontra/intelejen lainnya pada platform yang sama. Bila diblokir, maka jaringan dan asset yang terbina akan terputus.
SOLUSI
Pemblokiran harus tetap selektif dan dengan kriteria yang ketat dengan bukti kuat. Seringkali, forum, kanal, group di media sosial atau layanan pesan instan dibuat sebagai jebakan. Decoy, kamuflase justru untuk kontra identifikasi “penguntit”. Peran analisis dan justifikasi dari tim panel expert perwakilan lintas otoritas sangat menentukan untuk mencegah “abuse”.
KRITIK 5
Pemblokiran tidak akan pernah efektif karena bagi kelompok radikal, mereka dengan mudah, dan juga sudah dipersiapkan sebelumnya, beralih ke media/teknologi yang lain. Pembinaan kader, proses radikalisasi dan indoktrinasi jarang dilakukan di suatu group yang terbuka, misalnya proses rekrutmen selalu menggunakan saluran yang tertutup / private (undetected).
Sementara dampak pemblokiran secara umum langsung kontra produktif bahkan merugikan inisiatif publik/masyarakat sipil yang sudah berjalan dan berkontribusi untuk komunitasnya dengan manfaat yang tidak bisa dibilang sedikit. Pada saat ini ada ratusan startup dan layanan non profit yang memanfaatkan kode terbuka telegram API serta bergantung pada platform ini, contohnya layanan broadcast peringatan dini gempa/bencana dari BMKG yang diselenggarakan oleh AIRPUTIH untuk wilayah rural rawan di seluruh indonesia. Sejak tadi malam layanan ini TEWAS bersamaan dengan terjadinya gempa pukul 20.57 di padang sidempuan. Bayangkan bila itu berpotensi tsunami.
SOLUSI
Mengajak masyarakat luas untuk proaktif membantu pemerintah dan penegak hukum melakukan identifikasi saluran, media, platform, aplikasi lain yang terindikasi banyak digunakan oleh aktivitas/gerakan/kelompok radikal dan melaporkannya.
KRITIK 6
Dugaan pemerintah dalam hal ini KEMKOMINFO bahwa Telegram tidak memiliki mekanisme atau SOP yang patut untuk penanganan konten negatif khususnya radikalisme/terorisme, sebenarnya perlu dicermati. MENGAPA? Karena dibandingkan layanan lainnya, justru telegram merupakan satu-satunya platform pesan instan yang memiliki teknologi bot crawling/otomatisasi reporting dan blocking berbagai konten negatif khususnya ISIS dan afiliasinya dengan ID @ISISwatch yang memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi. Termasuk tentu saja aparat penegak hukum dan KEMKOMINFO. KALAU MAU MENGAPA TIDAK DILAKUKAN?
SOLUSI
Apabila aparat atau pihak KEMKOMINFO kurang puas dan menganggap bot yang disediakan Telegram ini tidak efektif atau responnya lamban (walaupun sudah update beberapa kali dalam sehari), maka pemerintah BISA MEMBANGUN SENDIRI BOT YANG DIINGINKAN KARENA API TELEGRAM TERBUKA.
PENUTUP
Walaupun memberikan kritik lewat tulisan ini, saya coba tetap menjembatani knowledge gap ini dengan pihak berwenang. Di sisi lain, jika ada diantara anda memiliki saluran kontak yang lebih solid ke pihak Telegram, sudilah kiranya membantu untuk menghubungkan. Semoga kekhawatiran tentang potensi abuse aturan pemblokiran di UU ITE dan turunannya tidak terbukti.
Please, CMIIW. Jika berguna, bantu sebarkan tulisan ini. Terima kasih…
Penulis: Didin Pataka (Praktisi Sekuriti)
Masih Aktif di Yayasan Air Putih Serta Lembaga ID-SIRTII