Menyelisik Perbedaan Pemilu 2019 dengan Pemilu 2014
BloggerBorneo.com – Kurang dari satu tahun lagi Pemilu serentak 2019 akan dilaksanakan, tepatnya pada hari Rabu tanggal 17 April 2019.
Pesta demokrasi 5 tahunan tersebut merupakan amanah dari Pasal 22 E UUD 1945 yang menyatakan mengenai ke-6 poin penting dalam proses PEMILU.
TOPIK UTAMA
Perbedaan Pemilu 2019 dengan Pemilu 2014
Dalam Pasal 22 E UU 1945 cukup jelas menyatakan bahwa 6 poin penting dalam proses Pemilihan Umum (PEMILU), antara lain:
- Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,
- Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden, dan DPRD,
- Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik,
- Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan,
- Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri,
- Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Oleh karena itu, lahirnya UU No. 7 Tahun 2017 merupakan turunan dari amanah UUD 1945 yang mengatur tentang Pemilihan Umum, yang kemudian secara teknis dikuatkan oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) lahir atas pertimbangan untuk menyederhanakan atau menyatukan beberapa UU yang berdiri sendiri, seperti: UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Penyederhanaan ini perlu dilakukan, karena pada tahun 2019 Indonesia akan melaksanakan Pemilu secara serentak, yang tentu berbeda dengan Pemilu 2014 atau Pemilu sebelumnya.
Penyederhanaan atau Penyatuan beberapa undang-undang menjadi satu undang-undang tentang Pemilu bertujuan untuk menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, serta memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu ( Pasal 4 UU no 7 Tahun 2017).
Adapun beberapa perbedaan Pemilu 2019 dengan Pemilu 2014 secara mendasar adalah sebagai berikut.
1. Pemilihan Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan Serentak
Pemilu yang dilaksanakan serentak dinilai lebih efisiensi secara waktu, tenaga, dan biaya. Sesuai dengan amanah UU No. 7/2017, Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak antara pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, serta Presiden/Wakil Presiden.
Adapun tanggal pelaksanaannya adalah pada tanggal 17 April 2019. Kondisi ini tentu berbeda dengan Pemilu 2014 yang melaksanakan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara terpisah, namun tetap di tahun yang sama.
Pemilu 2019 yang dilakukan secara serentak juga turut menambah jumlah kotak suara, yakni masing-masing untuk DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Apakah Pemilu 2019 pelaksanaanya akan efektif dan efisien? Pemilu secara serentak jelas menghemat waktu dan biaya Pemilu yang harus dikeluarkan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Perbandingan ini dapat dilihat dari Pemilu 2014 yang telah menghabiskan APBN sebesar 24,1 triliun rupiah, sedangkan untuk Pemilu 2019 hanya sebesar 16,4 triliun (kontan.co.id).
2. Presidential Threshold Menggunakan Hasil Pemilu 2014
Pemilu 2019 masih menggunakan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Konsekuensi Pemilu 2019 yang dilaksanakan secara serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden/ Wakil Presiden, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menggunakan hasil Pemilu tahun 2014.
Hal ini didasarkan berdasarkan Pasal 222 UU No. 7/2017 yang menyatakan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Hal ini tentu berbeda dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2014 yang menggunakan hasil Pemilu di tahun yang sama sebagai dasar penentuan Presidential Threshold
Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ini kemudian mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Alasannya, pasal 222 No. 7/2017 ini dianggap tidak relevan, karena menjadikan hasil Pemilu 5 tahun yang lalu sebagai dasar syarat pencalonan Pemilu 2019.
Selain itu, dinamika politik dan suara partai politik dalam setiap Pemilu dianggap bisa berubah. Gugatan ini kemudian ditolak berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Tanggal 11 Januari 2018.
Dengan demikian, pasal 222 UU No. 7/2017 tersebut tetap dijadikan dasar persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah hasil Pemilu Legislatif tahun 2014.
3. Parlementary Threshold Meningkat Sebesar 4 %
Perbedaan lain antara Pemilu 2019 dan Pemilu 2014 adalah meningkatnya Parlementary Threshold atau ambang batas parlemen bagi partai politik.
Ambang batas parlemen sebesar 4% merupakan syarat minimal suara Parpol peserta Pemilu secara nasional, agar dapat memperoleh jatah kursi di DPR RI.
Hal ini berbeda dari Pemilu 2014 yang hanya memberikan ambang batas hanya sebeasar 3,5% suara Parpol secara nasional.
Ambang batas ini juga menjadi peringatan bagi partai kecil atau partai baru yang akan mengikuti kontestasi Pemilu 2019.
Mereka harus mampu meraih suara 4% secara nasional agar dapat jatah kursi di DPR RI dan memiliki peran dalam menentukan arah kebijakan bangsa Indonesia kedepan.
Oleh karena itu, pertarungan antarParpol 2019 mendatang dinilai lebih kompetitif dibandingkan Pemilu 2014.
4. Penentuan Perolehan Kursi Parpol Menggunakan Model Sainte League
Penentuan perolehan kursi Parpol pesertta Pemilu 2019 di setiap daerah pemilihan berbeda dengan Pemilu 2014 yang lalu.
Pada Pemilu 2014, kita mengenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) sebagai dasar penentuan perolehan kursi disetiap daerah pemilihan, yaitu suara sah seluruh partai politik dibagi dengan jumlah kursi yang tersedia.
BPP ini kemudian menjadi suara minimal yang harus didapatkan oleh partai politik untuk mendapatkan jatah kursi di setiap daerah pemilihan legislatif.
Kondisi ini berbeda dengan Pemilu 2019 mendatang, yang menggunakan model Sainte League dalam penentuan perolehan kursi Parpol setiap daerah pemilihan.
Model Sainte League adalah model penentuan perolehan kursi partai politik dengan cara membagi suara sah masing-masing partai politik disetiap daerah pemilihan dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilanagn ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.
Hasil pembagian tersebut diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak. Nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai kursi di daerah pemilihan habis terbagi.
Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 415 dan 420 UU Nomor 7 Tahun 2017.
5. Batas Maksimal Dana Kampanye Meningkat Fantastis
Dana kampanye merupakan salah satu pendukung kampanye Parpol peserta Pemilu. Berdasarkan UU No. 7/2017, calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Presiden/Wakil Presiden boleh menerima sumbangan dana kampanye dari pihak lain, baik berupa uang, barang, ataupun jasa.
Adapun sumbangan dana kampanye yang berasal dari perorangan tidak boleh melebihi 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Selain itu, sumbangan juga bisa didapatkan dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah, yang maksimalnya adalah sebesar 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah).
Batas maksimal sumbangan dana kampanye untuk Parpol dan calon Presiden/Wakil Presiden ini meningkat fantastis dibandingkan dengan Pemilu 2014.
Pada Pemilu sebelumnya, batas maksimal sumbangan dari perorangan sebesar 1.000.000.000 ( satu miliar rupiah), sedangkan sumbangan dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah maksimalnya adalah sebesar 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
6. Jumlah Partai Politik Peserta Pemilu Bertambah
Pada Pemilu 2014 terdapat 16 Parpol peserta Pemilu, yang terdiri dari 12 Parpol Nasional dan 4 Parpol daerah pemilihan Aceh.
Adapun 12 Parpol Nasional tersebut yaitu: 1) Nasdem, 2) PKB, 3) PKS, 4) PDIP, 5) Golkar, 6) Gerindra, 7) Demokrat, 8) PAN, 9) PPP, 10) Hanura, 11) PBB, dan 12) PKPI. Sedangkan 4 Parpol Daerah Pemilihan Aceh yaitu: 13) Partai Aceh (PA), 14) Partai Daerah Aceh (PDA), 15) Partai Nangroe Aceh (PNA), dan 16) Partai SIRA.
Adapun hasil Pemilu menunjukkan bahwa partai PBB dan PKPI tidak mampu mencapai Parlementary Threshold 3.5 %, sehingga tidak bisa menempatkan wakilnya di senayan (DPR RI).
Kesimpulan
Perubahan dinamika politik membuat membuat Parpol peserta Pemilu 2019 menjadi bertambah banyak. Pada 2019 mendatang, Parpol peserta Pemilu menjadi 20 Parpol, yang terdiri dari 16 Parpol Nasional dan 4 Parpol Daerah Pemilihan Aceh.
Adapun Parpol Nasional yang lolos verifikasi Parpol oleh KPU adalah: 1) PKB, 2) Gerindra, 3) PDI-P, 4) Golkar, 5) Nasdem, 6) Garuda, 7) Berkarya, 8) PKS, 9) Perindo, 10) PPP, 11) PSI, 12) PAN, 13) Hanura, dan 14) Demokrat.
Kemudian dilanjutkan dengan Parpol Daerah Pemilihan Aceh, yaitu: 15) PA, 16) Partai SIRA, 17) PDA, dan 18) PNA. Sedangkan PBB dan PKPI masing-masing mendapatkan nomor urut 19 dan 20, karena pada awalnya tidak lolos dalam verifikasi awal KPU.
Kedua Parpol ini kemudian lolos setelah mengajukan gugatan Sengketa Proses Pemilu kepada Bawaslu, dan kemudian dimenangkan Bawaslu untuk menjadi Parpol peserta Pemilu 2019.
Partai IDAMAN yang juga mengajukan gugatan akhirnya gagal menjadi Peserta Pemilu setelah permohonan sengketa Pemilu yang dilakukannya tidak dimenangkan oleh Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). (HSP)
Ditulis Oleh: Hakim Surya Putra, M. Pd.