Dari 1.090 kasus kecelakaan lalu lintas di Kalimantan Barat, sekitar 44 persen korbannya adalah pelajar. Demikian informasi yang saya baca di Harian Pontianak Post Tanggal 18 November 2011. Menurut harian ini, data tersebut diperoleh dari Kapolda Kalbar, Brigjen Pol. Unggung Cahyono sehingga menurut saya pribadi keakuratan datanya dapat dipertanggungjawabkan. Terkait dengan hal ini, seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa dalam salah satu pasal Undang-undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 telah diatur mengenai batasan umur bagi seseorang untuk dapat menggunakan motor yaitu minimal 17 tahun. Batasan umur minimal ini menjadi persyaratan utama dalam proses pembuatan Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang selanjutnya akan dilakukan beberapa tes tertulis maupun praktek dalam menggunakan kendaraan bermotor. Tentunya hanya bagi yang mampu lulus tes saja yang berhak mendapatkan SIM tersebut.
Mungkin ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa aturan tersebut sebenarnya harus direvisi karena pada saat ini banyak anak-anak berusia dibawah 17 tahun sudah bisa mengendarai motor dengan “sangat baiknya”. Ya mungkin pendapat tersebut memang benar sesuai dengan fakta yang terjadi, akan tetapi aturan menetapkan batasan umur minimal tersebut sebenarnya diambil berdasarkan pertimbangan tingkat kestabilan emosi sang pengendara motor.
Selain itu, ada juga orang tua yang beralasan karena tidak ada waktu buat mengantar jemput anaknya sekolah maka mereka memberi izin kepada anaknya untuk mengendarai kendaraan bermotor meskipun usianya belum memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan. Mungkin hal itu dilakukan untuk menunjukkan rasa sayang kepada anaknya, namun disisi lain apakah para orang tua tersebut sadar kalau keputusan mereka tersebut justru malah menjerumuskan mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Secara tidak langsung mereka sudah mengarahkan anak mereka untuk masuk kedalam lingkungan beresiko tinggi sebagai pengguna kendaraan bermotor di jalan raya.
Sebenarnya dalam kasus ini, kita tidak dapat saling menyalahkan karena masing-masing pihak terkait sepertinya memiliki tanggungjawab masing-masing yang sebenarnya harus dipegang teguh. Baik itu pihak kepolisian, orang tua siswa, maupun pihak sekolah sendiri harus mau menerapkan semua peraturan tersebut secara tegas. Jangan seperti sekarang yang terlihat seperti hangat-hangat tahi ayam. Coba kita perhatikan lahan-lahan parkir yang terdapat dihalaman atau pekarangan SMP-SMP disekitar kita, pemandangan apa yang dapat kita lihat???. Ternyata di area parkir tersebut saling berjejer kendaraan bermotor yang sebagian besar penggunanya adalah siswa sekolah menengah pertama tersebut (SMP). Apakah hal ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran, sudah tahu melanggar hukum kenapa masih dibiarkan. Sangat tidak mendidik bukan???
Oke, memang tidak akan menjadi sebuah masalah apabila tidak selama ini tidak terjadi apa-apa. Namun keadaannya akan berbeda jika secara tidak sengaja salah satu siswa sekolah tersebut mengalami kecelakaan lalu lintas, siapa yang harus disalahkan nantinya?. Di satu sisi mungkin siswa tersebut akan dianggap salah karena masih dibawah umur, namun bukankah itu atas seijin orang tua mereka dan pihak sekolahnya juga. Harusnya kedua pihak ini juga harus disalahkan donk. Sudah tahu anaknya masih berusia dibawah 17 tahun, kok diberi kebebasan untuk mengendarai motor kesekolahnya. Dari pihak sekolahnya juga tidak ada tindakan atau himbauan, cckk…cckk…cckk……
Secara kebetulan saya ada mengambil dokumentasi di dua lokasi SMP yang berada di kota Pontianak, hasil dokumentasi ini saya gunakan hanya sebagai bahan pendukung tulisan agar semuanya terlihat sesuai fakta. Mungkin setelah membaca tulisan ini, pihak-pihak yang merasa terkait langsung mulai menyadari bahwa apa yang telah mereka “biarkan” selama ini adalah salah.
Nah, sekarang cukup jelaskan mengenai inti dari tulisan ini. Kesimpulannya adalah hal tersebut tidak akan menjadi sebuah persoalan jika aturan yang dibuat telah dapat mengakomodir itu. Terkadang saya merasa bingung juga, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 kan dibuat oleh kepolisian. Tapi kenapa pemandangan seperti itu masih banyak terlihat diseluruh pelosok SMP yang ada. Kalau memang ada perubahan ya mohon bisa disosialisasikan sehingga orang-orang awam seperti saya tahu bahwa untuk sekarang hal tersebut adalah benar.
Kalau memang masih belum ada perubahan, ya minta tolonglah agar ini bisa dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait agar kedepannya pemandangan “lumrah” tersebut tidak terlihat lagi. Semenjak kecil saja sudah diajari untuk melanggar hukum, bagaimana besar nanti. Maka jangan salahkan bunda mengandung jika dimasa yang akan datang jumlah pelanggar-pelanggar hukum di Indonesia akan semakin banyak… (DW)