BloggerBorneo.com – Di tengah laju modernitas, orang Pontianak masih tetap mampu melakukannya. Kita tengok bagaimana acara adat pernikahannya, tak pernah lepas dari nilai-nilai Islam.
Lantas bagaimana dengan Kartius? Kartius barangkali tak begitu mengenal Pontianak, jelas karena Kota ini bukan Kampung halamannya. Jadi, perihal sejarah-pun dia tak mendalami pada ahlinya.
Pontianak Bukan Kuntilanak
Kota ini banyak ahli sejarah, mengapa sebelum melontarkan pernyataan dia tak bertanya? Atau bangunlah apa saja di Kampungnya sana, dan tak merusak tatanan masyarakat di Kota ini.
Kekecewaan pula menjadi viral di dunia maya atas pernyataan Kartius yang “ngotot” ingin membangun Patung Kuntilanak. Pernyataan dan keinginannya dianggap menjatuhkan martabat kualitas pendidikan yang ada di Kota ini.
Barangkali dia lihat situs Wikipedia.com yang tanpa filter dan research terlebih dahulu mencantumkan cerita rakyat, bahwa Sultan Syarif Abdurrahman menembakkan meriam untuk mengusir Hantu Kuntilanak atau Hantu Perempuan.
Penamaan asal Kota ini begitu jelas dicantumkan dalam sub etimologi pada website populer itu. Namun, apakah kita lantas mempercayai begitu saja folklore tersebut?
Dan kemudian mensyukuri sejarah penamaan itu dengan membangun sebuah monumen yang tak dilandasi dengan pencarian dan pembuktian ilmiah dan terdata dengan baik?
Sejarah penamaan Kota Pontianak masih belum dapat dikatakan final. Belum ada landasan kuat untuk mengunci interpretasi kosakata tersebut.
Banyak perspektif sejarah yang menyebutkan dan menceritakan apa itu Pontianak. Saya kira letak pernyataan yang salah pada keinginan Kartius bukan pada sejarah yang tumpang tindih, tapi pada tendensi Kartius yang memaksakan sesuatu yang belum jelas menjadi konsensus masyarakat Pontianak.
Diskursus sebenarnya soal nama Pontianak tak banyak kita dapatkan di “google” yang merupakan search engine termasyhur abad ini, untuk mengetahui apa yang kita butuhkan.
Semua mengarah pada “Pontianak adalah Kuntilanak”, yang seakan dapat diasumsikan masyarakat Kota ini sangat menyukai Mitos atau Tahayul, lantas apa guna pendidikan-ilmiah atau intelektualitas?
Pernyataan tersebut jelas menerabas sistem pendidikan atau pengetahuan modern di Kota ini.
Namun bersyukur ada seorang peneliti muda yang gerah untuk mengungkap kebohongan beberapa orang tua. Dalam bukunya “Pontianak Heritage, 2013”, Ahmad DZ cukup berhasil membungkam opini bahwa asal penamaan Kota ini hanya dalam satu perspektif.
Satu-satunya persepektif, yaitu mitologi. Dalam hal pernyataan pertama ini, jelas diceritakan bagaimana folklore yang berkembang adalah adanya Hantu Kuntilanak yang konon banyak terdapat di delta pertemuan antara Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak yang biasa kami sebut dengan nama “Tanjong Besiku”.
Dalam cerita ini juga terbagi atas dua perspektif di dalamnya. Pertama, rombongan Sultan Syarif Abdurrahman menembakkan meriamnya untuk menakut-nakuti Hantu Kuntilanak itu, dan kemudian dengan upaya pengusiran Hantu itu dijadikanlah nama Pontianak menjadi nama wilayah atau kawasan tersebut.
Dan Kedua, adalah yang ditembak oleh rombongan Sultan Syarif Abdurrahman dengan menggunakan meriam itu sebetulnya sekelompok Perompak atau penjahat yang banyak terdapat di kawasan tersebut. Dan setelah dapat diusir, barulah rombongan Sultan Syarif Abdurrahman dapat mendiami wilayah Pontianak.
Cerita ini tidak berdiri tunggal. Ahmad DZ setidaknya menguraikan ada lima perspektif berikutnya (enam perspektif secara keseluruhan) pada penamaan Kota Pontianak.
Pendapat Kedua yang membantah Perspektif Pertama itu adalah, Pontianak bisa saja diartikan sebagai “Ayunan Anak”, ada banyak ayunan anak dari keluarga yang dipekerjakan pada saat pembangunan Masjid Jami’. (Ja’ Achmad & J U Lontaan) Kemudian perspektif Ketiga, penamaan Pontianak berasal dari kata “Pohon Punti” atau Pohon-pohon yang tinggi seperti dimaksud dalam buku Sultan, Pahlawan dan Hakim, Henry Chambert-Loir, 2011.
Perspektif Keempat, Pontianak juga dapat berasal dari kata “Pontian” yang artinya perhentian. Perhentian dimaksud adalah Persinggahan. Karena memang “Tanjong Besiku” itu adalah wilayah strategis untuk bersinggah dan berdagang.
Kemudian Perspektif Kelima, Pontianak dalam pelafalan bahasa Mandarin adalah Kun Tian (Kun Tien, dalam pelafalan Hanyu Pinyin, Kun Dian dalam bahasa Mandarin). Kata Kun Tian ini berarti “Tempat Perhentian; Persinggahan”.
Pendapat ini saya kira tak berbeda dengan penafsiran pada Perspektif Keempat. Perspektif terakhir (Keenam) adalah asal kata Pontianak berasal dari kata “Pintu Anak”. Yang berarti wilayah kawasan ini merupakan pintu dari dua anak sungai, yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Saya tak bersepakat dengan pernyataan Ahmad DZ berikutnya, tentang harapannya dalam aspek toponimi (cabang antropologi tentang nama, tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya) penelitian yang dilakukannya akan menjadi lebih cerah disebabkan ada pertemuan cerita rakyat atau mitos yang irrasionil dengan hal-hal yang bersifat ilmiah atau rasional.
Menurut saya kedua hal tersebut tak dapat di-perjumpa-kan dan kemudian menjadi solusi bagi manusia yang hidup di dunia. Perjumpaan keduanya hanya akan mengaburkan (memburamkan) jawaban atas persoalan aspek logis.
Keduanya memiliki dunia masing-masing dengan lapangan keilmuan yang tegak berdiri sendiri, tak dapat dicampuradukkan. Ini tentang pijakan yang sepatutnya argumentatif.
Namun, saya mengapresiasi tulisan Ahmad DZ atas uraian kata dan makna Pontianak dalam berbagai macam persepektif yang dituangkan untuk konsumsi publik Kota ini. Saya kira akan sangat bermanfaat untuk konsumsi Masyarakat dan Pemerintah dalam menentukan literaturnya.
Kaya akan wacana menjadi semakin baik dan menjadi solusi atas ketidakjelasan sejarah serta asal nama Kota ini. Diskursus tentang penamaan Kota ini sangat krusial untuk dibahas dan ditetapkan menjadi konsensus-bersama, dan “kata dan nama”-pula menjadi penting sebagai do’a masyarakat di dalamnya.
Artinya, kita punya pekerjaan rumah yang cukup besar untuk menentukan, apa arti sebenarnya nama “Pontianak”, dengan menimbang pilihan-pilihan perspektif tersebut.
Begitupula dengan Kartius, yang merupakan seorang Pejabat Publik (Pemerintah) yang sepatutnya bijak untuk memilah dan memilih literatur ilmiahnya dalam menentukan suatu kebijakan. Bukan asal bicara, bukan asal membuat keputusan.
Dengan melihat alasan keinginan dibangunnya “Patung Kuntilanak” oleh Kartius ini, jelas dapat disimpulkan bahwa pertimbangannya adalah hanya sebuah gairah atau keinginan menunjukkan ke-saya-an-nya.
Cuma ingin menunjukkan “ini Ide-nya”, mengimplementasikan ide-nya, dengan alasan “Inovasi dan kreatif” yang klaimnya mendapat dukungan orang banyak.
Dia pejabat pemerintah atau seorang yang diberikan amanah rakyat untuk mengemban visi pendidikan dalam pariwisata. Namun, dia tak menampilkan aspek lain dalam gagasan tersebut, hanya aspek mitologis dan cerita rakyat (dalam satu perspektif). Itu saja.
Tak ada aspek edukasi di situ, tak ada pendidikan yang dapat membangun kualitas hidup masyarakatnya. Kartius tak mempertimbangkan kemaslahatan orang banyak, sekali terlontar sudah membuat gaduh satu Kota.
Dia bersikukuh sudah benar, namun tak layak dikatakan bijak menjabat kalau menuai banyak protes dan kritikan.
Untuk pengembangan daya tarik pariwisata atau destinasi wisata, saya kira Kartius patut memperhatikan berbagai aspek. Salah satu aspek penting untuk pembahasan adalah Aspek Hukum dalam Pariwisata, jangan sampai monumen itu melanggar koridor hukum yang berlaku.
Aspek hukum tentang pariwisata harus melihat regulasi yang mengatur, kita lihat Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. (BERSAMBUNG)
Penulis: Anshari Dimyati (Ketua Yayasan Sultan Hamid II)