Pada bagian konsideran (asas menimbang atau pertimbangan untuk memutuskan dan menetapkan UU tentang Kepariwisataan oleh DPR RI – Legislatif), point c disebutkan; bahwa “kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional.”
Ketentuan ini bukan hanya mengikat bagi masyarakat dan pengusaha pariwisata, akan tetapi jelas mengikat Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang membangun destinasi wisata dimaksud. Jelas, ada perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya, lingkungan dan kepentingan nasional. Dalam konteks “Kuntilanak”, apakah terkait dengan nilai-nilai itu? Menurut akal sehat, tidak. Hal ini juga diatur dalam Pasal 25 huruf a, dan Pasal 26 huruf a dan b UU Kepariwisataan.
Kita lihat pada Pasal 1 point 4, BAB I tentang Ketentuan Umum, yang menyebutkan bahwa “Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan Negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.” Kita garis bawahi kata “masyarakat setempat”, di mana tujuan dibangunnya patung atau monumen itu berada di Sungai Kapuas dekat dengan Jembatan Kapuas I. Apakah masyarakat setempat setuju, atau membutuhkan monumen tersebut? Saya kira kata “butuh” itu akan sangat berguna bila monumen wisata memberikan lapangan pekerjaan baru pada masyarakat setempat, namun, tetap pada kerangka etis. Banyak opsi lain selain Kuntilanak, kemudian kita lihat apa sejarah yang tepat bagi masyarakat setempat.
Ide tentang pembangunan Patung Kuntilanak ini juga saya kira menabrak Pasal 1 point 5 dan 6 tentang Daya Tarik Wisata untuk destinasi pariwisata. Kemudian Pasal 2 huruf a, BAB II tentang Asas, Fungsi, dan Tujuan, yang menyebutkan tentang Kepariwisataan yang diselenggarakan berdasarkan asas kemanfaatan. Pasal 4 huruf g tentang pesan yang harus mengangkat citra bangsa. Pasal 5 BAB III tentang Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan. Jelas dan tegas pada Pasal 5 huruf a itu menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak lagi ketentuan-ketentuan yang patut di tilik dan ditimbang oleh Kartius sebagai Kepala Dinas Pariwisata. Catatan tambahan dari saya bahwa dia patut pula melihat Pasal 12 ayat 1 huruf c, d, e Bab V tentang Kawasan Strategis, tentang lokasi strategis, dan huruf f tentang kesiapan dan dukungan masyarakat. Walaupun kawasan strategis untuk wilayah Provinsi ditetapkan oleh otoritas Pemerintah Daerah, ada ketentuan tentang Hak, Kewajiban dan Larangan pada Bab VII. Pada bagian Kesatu tentang Hak pada Bab tersebut, Pasal 20 huruf a diatur tentang informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata. Pertanyaannya adalah apa informasi akurat tentang Kuntilanak? Masyarakat jelas akan bertanya.
Apa yang perlu saya tambahkan dalam ketentuan “Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana – Vide Pasal 62, 63, dan 64” ini adalah, tak secara tegas mengatur bila yang melanggar adalah Pemerintah Daerahnya sendiri. Hanya disebutkan Masyarakat dan Pengusaha Pariwisata. Namun bila ada terobosan hukum, apakah Pemerintah Daerah dapat dijerat pengaturan ketentuan tersebut? Saya kira bisa. Bila penegak hukum berani mengambil sikap.
BACA JUGA: PONTIANAK BUKAN “KUNTILANAK” BAGIAN 1
Pertanyaan selanjutnya, apakah keinginan tersebut sudah melalui tahapan pembahasan akademik dan sesuai dengan amanah Undang-undang (UU)? Saya kira kita patut menggali dari berbagai aspek ilmiah, bukan menafikannya. Apakah sudah ada naskah yang melalui tahapan uji materinya? Dalam konteks apa Kuntilanak menjadi penting untuk dimonumenkan? Bukankah biasanya monumen itu terkait dengan sejarah kepahlawanan seseorang atau sebuah karya bangsa yang dihargai banyak orang. Sedangkan kajian secara akademik jelas untuk mempertimbangkan atau mengukur apa urgensi pembangunan sebuah monumen atau patung.
Ada aspek-aspek lain yang tak boleh luput menjadi pertimbangan sebelum melakukan ‘eksekusi’ pembangunan. Aspek-aspek tersebut adalah Aspek Sosiologis terkait dengan masyarakat setempat, Aspek Filosofis, Aspek Agama, Aspek Pendidikan (Edukasi) – Aspek Ilmiah. Tak begitu penting untuk saya menguraikan lebih lanjut, bila kita semua paham apa tujuan sebenarnya sebuah pembangunan.
Saya lebih sepaham dengan penafsiran Budayawan Pontianak; HA Halim Ramli yang menyebutkan bahwa penamaan Pontianak itu lebih cenderung logis menempatkan “Pohon Punti atau Persinggahan” sebagai arti. Tinggal kita lihat, mana yang lebih kuat argumentasi, data, dan fakta sebenarnya. Sepaham pula saya dengan H. Max Jusuf Alkadrie, salah seorang Keluarga Kesultanan Pontianak dan mantan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, yang pernah menyebutkan bahwa yang dimaksud Kuntilanak itu bukan Hantu Perempuan, namun Perompak yang berada di “Tanjong Besiku” tersebut.
Hal yang membuat semua menjadi tersimpul dengan baik adalah, bila tanggung jawab sosial ini diejawantahkan dalam bentuk Karya Ilmiah. Barangkali saya belum menemukan, tapi saya kira belum ada yang meneliti khusus tentang penamaan Pontianak dalam bentuk Skripsi, Tesis, atau Disertasi. Pun kalau memang sudah ada, bisa kita dedah bersama sebagai bahan untuk menentukan makna kata Pontianak sebagai kesepakatan bersama. Lantas, apa solusi Monumen atau Destinasi Pariwisata yang pantas di Ibu Kota Kalimantan Barat ini? Sejarah, jelas biasanya terkait dengan pahlawan, atau cerita nyata yang sesuai dengan fakta. Sekali lagi, bukan berangkat dari mitos.
BACA JUGA: PONTIANAK BUKAN “KUNTILANAK” BAGIAN 2
Monumen merupakan sebuah bangunan atau tanda yang mengabadikan bentuk cuplikan atau perjalanan peristiwa bersejarah atau tokoh pelaku sejarah yang dapat mewakili sebuah peristiwa, sehingga dapat dipakai, digunakan, dimanfaatkan sebagai penerus jiwa semangat juang (refleksitas) dan pewarisan nilai-nilai perjuangan bagi generasi penerus bangsa, yaitu putra putri bangsa. Untuk mewujudkan hal tersebut, dapat dibangun sebuah monument di tempat peristiwa itu terjadi atau di tempat dimana ada keterkaitan antara wilayah dengan tokoh pahlawan, agar semangat dan jiwa kepahlawanannya dapat diwariskan dan diteruskan generasi berikutnya.
Monumen dapat pula didirikan dengan maksud untuk menghargai pahlawan yang telah tiada, sehingga diharapkan sikap dan teladan para pejuang dan pahlawan tersebut dapat diambil pelajaran berharga untuk generasi berikutnya. Disisi lain, pembangunan monument juga dapat mengandung 4 (empat) unsur kegunaan, yaitu untuk mendidik (edukatif), memberi pengajaran (instruktif), mengilhami (inspiratif), dan juga sebagai sarana hiburan (rekreatif). Monumen sebagai relik sejarah dapat berupa patung, relief, tugu, batu, tembok, museum yang didalamnya terdapat banyak peninggalan-peninggalan benda-benda bersejarah, dan banyak macam lainnya.
Sultan Hamid II (Sang Perancang Lambang Negara Indonesia – Garuda Pancasila) merupakan salah seorang putra bangsa yang menjadi pahlawan atas kiprahnya dalam kenegaraan di Indonesia maupun Internasional. Sultan Hamid II sepatutnya mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Khususnya di Pontianak – Kalimantan Barat. Saya menawarkan opsi tersebut. Jelas, Sultan Hamid II memberikan banyak sumbangsih bagi bangsa ini, bagi Negara ini. Monumen Garuda Pancasila dan Sultan Hamid II menjadi daya tawar atau solusi atas kegaduhan di Kota ini terkait Patung Kuntilanak.
Di Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat di Indonesia bisa kita dapatkan berbagai monument sejarah atas perjalanan sejarah wilayahnya, salah satunya adalah Monumen (Tugu) Khatulistiwa. Namun, tak dapat kita jumpai monumen sejarah (patung/tugu) yang mencerminkan ketokohan atau kepahlawanan atas perjuangan tokoh di wilayah Pontianak – Kalimantan Barat. Sedangkan di daerah-daerah lain di Indonesia, kita dapat melihat secara jelas bagaimana penghargaan setinggi-tingginya terhadap pahlawan atau tokoh pada wilayah masing-masing. Penghargaan tersebut diejawantahkan kedalam sebuah monumen sejarah seperti patung tokoh-tokoh pahlawan bangsa.
Atau, solusi lain barangkali, dapat dibangun Monumen “Perahu Lancang Kuning”, Monumen “Telok Belanga”, Monumen “Kopi Pancong”, dan lainnya yang tak lepas dari kehidupan budaya masyarakat asli Kota Pontianak. Masih banyak pilihan lain yang lebih argumentatif, dan semoga kita dapat lebih rasional dalam menentukan sebuah langkah pembangunan. (SELESAI)
Penulis: Anshari Dimyati (Ketua Yayasan Sultan Hamid II)