BloggerBorneo.com – Subuh masih gelap ketika pasukan Operasi Kalong menyusuri kawasan Halim Perdanakusuma pada 12 Januari 1967.
Sunyi, hanya langkah-langkah tentara yang terdengar.
Di loteng sebuah rumah sederhana milik Kopral Udara Sutardjo, seorang pria yang selama lebih dari setahun menjadi buronan nomor satu akhirnya terkepung.
Brigadir Jenderal Mustafa Sjarief Soepardjo
Ia bukan perwira sembarangan. Dari seluruh tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, dialah yang berpangkat paling tinggi.
Seorang jenderal bintang satu yang karier militernya terentang panjang—dari Divisi Siliwangi, Komando Tempur Dwikora di Kalimantan, hingga sekolah staf di Pakistan.
Namun di hadapan regu pasukan itu, Soepardjo hanyalah seorang lelaki lelah yang terpojok. Ancaman tembakan membuatnya menyerah, turun dari loteng, dan mengakhiri pelarian panjangnya.
Profil Brigjen Soepardjo
- Nama Lengkap: Mustafa Sjarief Soepardjo
- Lahir: 23 Maret 1923, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah
- Karier Militer:
- Komandan Resimen Divisi Siliwangi
- Pangkopur-II Operasi Dwikora (KOLAGA)
- Komandan Divisi TNI Kalimantan Barat
- Pendidikan Militer: Sekolah Staf Tentara Pakistan, Quetta
- Peran dalam G30S: Tokoh berpangkat tertinggi, terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan
- Ditangkap: 12 Januari 1967, di Halim Perdanakusuma, Jakarta
- Dieksekusi: 18 Maret 1967, setelah tiga bulan dipenjara
- Momen Terakhir: Menyanyikan Indonesia Raya dan mengumandangkan azan sebelum ditembak
Timeline Perjalanan Hidup Brigjen Soepardjo
- 1923 → Lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah
- 1940-an – 1950-an → Berkarier di militer, menjadi perwira di Divisi Siliwangi
- 1960-an awal → Pangkopur-II dalam Operasi Dwikora (Ganyang Malaysia)
- 1965 (28 September) → Terbang dari Kalimantan ke Jakarta, ikut rapat persiapan G30S
- 1965 (30 September) → Terlibat langsung dalam Gerakan 30 September
- 1966 → Menjadi buronan operasi pembersihan G30S
- 1967 (10 Januari) → Hampir tertangkap di Cilincing, Jakarta Utara
- 1967 (12 Januari) → Tertangkap di loteng rumah Halim Perdanakusuma, Jakarta
- 1967 (18 Maret) → Dieksekusi mati, setelah menyanyikan Indonesia Raya dan mengumandangkan azan
Dari Kalimantan ke Jakarta
Lahir di Gombong, Kebumen, Soepardjo tumbuh menjadi prajurit yang piawai di medan tempur.
Sebagai Pangkopur-II dalam Operasi Dwikora, ia memimpin pasukan melawan Malaysia di bawah KOLAGA.
Reputasinya di tubuh TNI tak diragukan, apalagi setelah menempuh pendidikan militer di Pakistan.
Namun, pada akhir September 1965, ia justru terbang ke Jakarta untuk menghadiri rapat-rapat rahasia menjelang G30S.
Ironisnya, meski berpangkat jenderal, ia menempatkan diri di bawah komando Letkol Untung. Di sinilah awal perjalanan sejarah yang menjerumuskannya.
Gerakan itu gagal total. Para jenderal yang ditangkap justru menjadi korban pembunuhan di Lubang Buaya.
Soepardjo, yang terlibat langsung, kemudian menulis catatan mengenai mengapa operasi itu berakhir kacau.
Ia menilai dari kacamata seorang tentara—bahwa strategi, koordinasi, dan kepemimpinan dalam gerakan tersebut rapuh sejak awal.
Buronan yang Cerdik
Ketika aparat melakukan pembersihan besar-besaran, banyak tokoh G30S segera ditangkap. Letkol Untung, Kolonel Latief, hingga D.N. Aidit tak luput dari jerat operasi militer.
Namun Soepardjo berbeda: ia berulang kali lolos. Pergerakannya lincah, berpindah dari satu persembunyian ke persembunyian lain, membuatnya dijuluki buronan paling cerdik.
Operasi Kalong pun digelar khusus untuk meringkusnya.
Setelah penggerebekan pertama di Cilincing gagal, aparat akhirnya berhasil menemukan persembunyiannya di Halim Perdanakusuma. Pagi buta, ia ditangkap tanpa perlawanan.
Azan Menjelang Tembakan
Soepardjo ditahan dan diadili. Pada 18 Maret 1967, ia menghadapi regu tembak. Sebelum peluru menembus tubuhnya, ia menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan melantunkan azan.
Bagi sebagian orang, itulah ironi sekaligus penutup kisah hidup seorang jenderal: dari panglima tempur yang disegani, menjadi tokoh pemberontakan yang berakhir dengan kematian tragis. (DW)