Doa Seorang Ayah yang Tenggelam di Balik Dinding Pesantren
BloggerBorneo.com – Menuliskan kisah nyata ini agak berat. Berat karena melawan aturan komunitas media sosial. Sangat sensitif dengan isu-isu anak di bawah umur yang diperlakukan secara asusila.
Saya mencoba merangkai kata agar tak kena teguran medsos. Kenapa saya ngotot kisah nyata ini dipublikasikan, agar menjadi pelajaran berharga, terutama bagi pengasuh pondok pesantren di mana pun berada.
ND tak pernah menyangka, doa-doanya akan kembali kepadanya sebagai luka yang menganga.
Ia adalah seorang ayah biasa, bukan ulama, bukan pejabat, hanya seorang lelaki yang ingin anaknya tumbuh menjadi anak salehah—membaca Qur’an dengan tartil, menjawab salam dengan lembut, dan menyebut nama orang tuanya dalam tiap doa malam.
Maka dikirimlah anak perempuannya ke sebuah pondok pesantren di Sungai Kakap, Kubu Raya. Tempat yang katanya mendidik akhlak. Tempat yang katanya suci.
Tetapi malam tanggal 6 Mei 2025 menghapus semua keyakinan itu. Di ruang sederhana rumah mereka, sang anak duduk dengan mata sembab. Ia menggenggam tangan ayahnya erat—bukan seperti anak yang ingin bercerita, tapi seperti korban kapal karam yang berusaha menggapai pelampung terakhir.
“Ayah… aku… diset*buhi…” katanya, dengan suara yang nyaris hilang, seolah malu, seolah bersalah atas luka yang bukan ia minta. Lalu tangis pun pecah.
Dunia ND ambruk seketika. Kakinya lemas, wajahnya memucat, dan jantungnya seperti diremas oleh tangan tak terlihat. Ia tak bisa berkata-kata. Seolah Tuhan mencabut semua huruf dari tenggorokannya.
Bukan sekali. Bukan dua kali. Mulai 31 Januari hingga awal Mei. Yang menyentuh anaknya bukan maling, bukan preman, tapi seorang ustaz, pimpinan pesantren itu sendiri. Seseorang yang dipercaya masyarakat.
Seseorang yang biasa memimpin doa. Seseorang yang mengucapkan kata “taubat” dengan mudah, padahal tangannya penuh darah kehormatan.
ND menangis. Tapi bukan tangisan lembut. Itu tangisan seorang ayah yang merasa gagal menjaga amanah. Air mata bercampur dengan kemarahan, ketakutan, dan perasaan bersalah.
Malam itu, ND ingin menjerit ke langit. Ingin menukar seluruh usianya untuk mengulang waktu dan menarik anaknya keluar dari tempat neraka itu. Tapi ia tahu, waktu tidak bisa disuap. Maka satu-satunya jalan adalah keadilan.
Ia melapor ke Polres Kubu Raya sehari sebelum Iduladha, hari di mana seorang ayah diuji untuk menyembelih anaknya. Tapi ini bukan pengorbanan suci. Ini adalah pengkhianatan terhadap doa-doa. Dan pelaku bukan Ibrahim, tapi iblis berjubah.
NK, sang pelaku, ditangkap seminggu kemudian. Tapi alih-alih meringkuk dalam jeruji, ia malah dirawat di rumah sakit. “Sakit,” katanya. Dunia begitu murah hati kepada orang bejat. Ia tak tahu bahwa ada anak perempuan yang setiap malam tak bisa tidur karena bayangan tangan kotornya.
Anak ND kini bungkam. Seperti burung yang kehilangan lagu. Ia takut cahaya, takut suara, takut sentuhan. Trauma menjalari tubuhnya seperti racun. Kata-kata tak mampu menggambarkan retaknya jiwanya.
Lalu, ND? Ia tetap di sampingnya. Menjadi perisai, walau sudah sobek. Menjadi bahu, walau sudah gemetar.
Pesantren adalah benteng terakhir moral bangsa. Tapi jika benteng itu sudah dikuasai iblis, ke mana lagi anak-anak akan mencari cahaya? Mungkinkah kita mulai perlu curiga pada mereka yang terlalu banyak berceramah tentang syariat, tapi tak pernah bicara soal akhlak?
Kita semua, jika masih bisa menangis, menangislah. Sebab negeri ini makin bejat bukan karena kekurangan ustaz, tapi karena terlalu banyak yang mengaku ustaz padahal tak lebih dari bangkai berjubah putih.
Ini bukan hanya kisah duka. Ini peringatan keras. Kepada semua pengasuh pondok pesantren, jangan kau khianati amanah. Anak-anak itu bukan daging yang bisa kau santap diam-diam di balik jubahmu. Mereka adalah titipan.
Doa orang tua. Cahaya masa depan. Jika kau tidak takut hukum, setidaknya takutlah pada air mata seorang ayah yang tiap malam memohon: Ya Allah, ambil saja nyawaku, asal anakku tak perlu mengalami ini lagi…
#camanewak
Ketua Satupena Kalbar