BloggerBorneo.com – Informasi mengenai pemblokiran layanan Telegram oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO) sampai saat ini masih menuai pro dan kontra, terutama bagi mereka para praktisi internet di Indonesia. Beberapa nama diantaranya turut berkomentar mengenai tindakan pemblokiran ini.
Sampai saat ini, suara pro dan kontra mengenai tindakan pemblokiran layanan Telegram di Indonesia oleh KEMKOMINFO masih terus bergema.
TOPIK UTAMA
Jangan Blokir Telegram
Ya kita tahu sendiri per 14 Juli kemarin, KEMKOMINFO mengeluarkan Siaran Pers resmi terkait tindakannya melakukan pemblokiran tersebut karena dianggap menjadi salah satu akses komunikasi para teroris.
Beberapa nama aktivis dan praktisi internet di Indonesia pun turut berkomentar mengenai hal ini.
Seperti dilansir dari laman Tirto.Id, Jum’at (14/07/2017), Donny BU yang merupakan Digital Literacy Officer dari ICT Watch, lembaga swadaya masyarakat yang menginisiasi lahirnya Internet Sehat di Indonesia mengungkapkan bahwa seharusnya bukan Telegram yang diblokir oleh pemerintah, melainkan cukup individu atau kelompok yang menggunakan platform tersebut secara negatif.
Menurutnya, sebelum dilakukan pemblokiran seharusnya dikomunikasikan ke pengelola layanan Telegram bahwa ada beberapa channelnya dijadikan media informasi bagi para teroris. Jadi tidak perlu sampai harus menutup semua akses ke platformnya, cukup channel-channelnya saja.
Selain itu, dalam penjelasannya Donny mengungkapkan bahwa masalah sebenarnya terletak pada penggunanya, bukan pada aplikasi atau platformnya.
Jika ada grup di Telegram memang terindikasi (menyalahgunakan platform untuk tujuan teroris), bisa diminta ditutup ke penyelenggaranya. Orang-orangnya aja diproses, itu sepertinya lebih baik.
Mencederai Proses Demokrasi
Hampir sama pendapatnya dengan Donny BU, Damar Juniarto yang merupakan aktivis dari Safenet mengungkapkan bahwa pemblokiran yang dilakukan justru akan mencederai proses demokrasi yang telah ada.
Sebagai bahan perbandingan, Damar mencontohkan negara Jerman yang lebih menempuh jalur denda bagi akun-akun penyebar hoax atau berita palsu dibandingkan memblokir.
Disini Damar juga menyoroti bahwa platform Telegram bukan hanya dipakai oleh kalangan terorisme. Segala macam masyarakat atau kelompok juga menggunakan platform tersebut.
Damar mempertanyakan bahwa selama ini Safenet menggunakan telegram juga, apakah Safenet akan dianggap sebagai teroris juga. Platform Telegram itu menampung segala macam kelompok informasi, tidak hanya terorisme.
Secara tegas, Damar mengungkapkan bahwa cara-cara blokir merupakan cara instan yang tidak dipikir secara matang oleh pemerintah.
Tidak dipikir panjang, hanya ambil jalur pendek, cara instan. Dan untuk pernyataan terakhir, Damar menyoroti langkah KEMKOMINFO yang dirasa kurang tepat karena masalah Terorisme seharusnya bukanlah wewenang kementerian tersebut, meskipun ada aplikasi seperti Telegram yang digunakan oleh para jihadis menggalang kekuatannya.
Pendapat dari Pengguna Telegram
Menurut Lantip yang merupakan anggota grup telesejarah berbasis aplikasi Telegram, dirinya menyayangkan langkah Kominfo memblokir situs-situs milik Telegram.
Secara tegas Lantip mengatakan bahwa alasan pemerintah bahwa situs Telegram kerap digunakan untuk menyebarkan paham radikalisme dan terorisme tidaklah beralasan.
Baginya tindakan memblokir itu adalah satu hal yang tidak masuk akal, jangan hanya karena satu hal dianggap menyimpang dan melanggar hukum maka semua pengguna harus dipersalahkan.
Lantip memperkirakan dirinya sudah bergabung dalam grup telesejarah sejak tiga tahun lalu. Selama kurun waktu tersebut dia yang berprofesi sebagai programmer merasakan banyak sekali manfaat penting.
Di telesejarah mendiskusikan semua sejarah baik nasional maupun internasional. Jumlah anggotanya mencapai kurang lebih 2.100 pengguna dan yang dibahas tidak hanya mengenai satu bidang ilmu.
Dari Sudut Pandang Programmer
Dari sudut pandang programmer, Lantip melihat bahwa Telegram sebenarnya memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan beberapa aplikasi komunikasi lain.
Bagi para pengguna bisa membuat program yang otomatis bekerja dalam sistem komputer (bot). Baginya Telegram mudah dipakai dan ringan dalam pengoperasiannya.
Kemudian karena developer yang friendly maka kami para programmer bisa bikin bot yang merekam diskusi secara otomatis, hal ini tidak bisa dilakukan oleh WhatsApp.
Kesimpulan
Latip menambahkan seharusnya pemerintah lebih serius mencerdaskan para pengguna internet di Indonesia, bukannya malah membatasi ruang geraknya dalam proses memperoleh informasi.
Pemerintah juga mesti sadar bahwa masih banyak pengguna internet di Indonesia menjadikan media sosialnya sebagai sumber informasi positif dan sumber pendapatan secara online.
Sekarang masyarakat sudah cukup dewasa, sudah bisa membedakan mana informasi positif atau negatif, mana informasi sesuai fakta dan mana yang hoax. Sekarang tinggal kita lihat saja apa yang akan dilakukan KEMKOMINFO selanjutnya.
Sumber Referensi:
- https://tirto.id/kominfo-blokir-telegram-csJj