BloggerBorneo.com – Kembali terlintas sebuah status di miliknya pengguna akun Facebook bernama Agung Webe, langsung membuat Blogger Borneo tergelitik untuk mengutipnya secara penuh di blog yang usianya sudah lebih dari satu dasawarsa ini.
Kemiripan alur kisah cerita di statusnya dengan kondisi di kota Pontianak saat ini menjadi alasan utama kenapa Blogger Borneo akhirnya memutuskan untuk mempublikasikannya di blog ini. Semoga bisa menjadi bacaan bermanfaat bagi siapa saja.
TOPIK UTAMA
Fenomena Coffee Shop di Indonesia
“Kamu tahu nggak, gue pernah nongkrong di coffee shop sampai tempatnya tutup cuma dengan pesan segelas teh manis,” ujar Dulkemut sambil tertawa lebar di pojokan warung kopi Bu Siti.
Semua orang yang duduk di situ langsung melongo. Pak RT yang duduk di sampingnya hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kemut, lo itu ada-ada aja. Kenapa nggak pulang ke rumah aja sih?” Dulkemut kemudian mulai bercerita panjang lebar tentang pengalamannya di coffee shop.
“Entah kenapa, kalau gue kerja di coffee shop atau sejenisnya, kerjaan tuh lebih cepat selesai daripada di rumah atau di kosan sendirian. Ada yang ngerasa kayak gitu juga nggak?” tanyanya sambil melihat ke sekeliling. Beberapa orang di warung kopi mengangguk setuju.
Dulkemut melanjutkan, “Gue kadang bingung, kenapa ya kalau di coffee shop bisa lebih produktif? Mungkin karena suasananya nyaman, ada wifi gratis, banyak colokan buat ngecas laptop, dan musiknya juga asyik. Beda sama di rumah yang banyak gangguan.”
Pak RT yang mendengar itu merasa tertarik, “Iya sih, Kemut. Tapi bukannya itu bikin pemilik coffee shop rugi ya? Bayangin aja, orang-orang kayak kamu cuma pesan teh manis, tapi duduknya sampai berjam-jam. Padahal kan mereka butuh pelanggan yang beli banyak biar cuan.”
Dulkemut tertawa lagi, “Nah itu dia, Pak RT. Makanya ada guyonan yang bilang, pesannya segelas teh manis, tapi duduknya bisa sampai tempatnya tutup. Kasihan juga sih pemilik coffee shop-nya.”
Bu Siti yang sedang menyajikan kopi ikut menimpali, “Iya, Kemut. Gue pernah dengar dari teman yang punya coffee shop, mereka memang sering mengeluh soal itu.
Banyak pelanggan yang cuma pesan sedikit, tapi nongkrongnya lama banget. Tapi ya gimana lagi, itu udah jadi fenomena umum di kota-kota Indonesia.”
Dulkemut mengangguk setuju. “Bener, Bu. Fenomena ini udah lazim banget. Gue juga kadang mikir, kenapa nggak ada tempat lain yang bisa diakses secara gratis tapi nyaman buat kerja atau belajar? Kaya coworking space gitu.”
Pak RT, yang merasa tertarik dengan obrolan ini, menimpali lagi, “Kemut, bukannya dulu waktu pandemi sempat banyak bermunculan coworking space? Tapi kenapa sekarang malah banyak yang tutup?”
Co-working Space Sempat Booming
Dulkemut menjelaskan, “Iya, Pak RT. Waktu pandemi, banyak orang kerja dari rumah dan butuh tempat yang nyaman buat kerja. Makanya coworking space sempat booming. Tapi setelah pandemi usai, banyak yang gulung tikar karena nggak ada yang pakai lagi. Padahal, kalau dipikir-pikir, coworking space itu solusi bagus buat orang-orang yang butuh tempat kerja selain di rumah atau coffee shop.”
Bu Siti menambahkan, “Kalau gitu, kenapa pemerintah daerah nggak bikin coworking space yang bisa diakses gratis? Kan itu bisa bantu banyak orang.”
Dulkemut setuju dengan ide Bu Siti. “Bener banget, Bu. Kalau ini memang masalah yang dirasakan banyak orang, semestinya pemerintah daerah bisa turun tangan.
Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah menyediakan ruang publik yang nyaman buat kerja atau belajar. Kenapa di Indonesia nggak bisa?”
Pak RT menimpali, “Memangnya ada contoh daerah di Indonesia yang pemerintahnya sudah melakukan itu, Kemut?”
Dulkemut menggaruk kepala, “Hmm, setahu gue ada beberapa tempat yang mulai coba-coba. Tapi gue belum tahu detailnya. Mungkin kita perlu cari tahu lebih banyak.”
Pemerintah Daerah Bikin Co-working Space
Bu Siti kemudian bertanya, “Kalau pemerintah daerah bikin coworking space, konsepnya kayak gimana ya? Apakah bisa senyaman di coffee shop?”
Dulkemut menjawab, “Ya harusnya bisa, Bu. Misalnya, mereka bisa sediakan wifi gratis, meja dan kursi yang nyaman, banyak colokan listrik, dan suasana yang tenang. Mungkin bisa juga ada pojok kopi atau teh gratis buat para pengguna. Intinya, mereka harus bikin tempat yang nyaman dan kondusif buat kerja atau belajar.”
Pak RT menambahkan, “Kalau konsepnya bagus dan tempatnya nyaman, pasti banyak yang bakal pakai. Daripada nongkrong lama di coffee shop dan bikin pemiliknya rugi, mending ke coworking space gratis dari pemerintah.”
Dulkemut tersenyum, “Gue setuju, Pak RT. Tapi gue juga penasaran, apakah rasanya selama di coworking space dari Pemda bakal sama seperti di coffee shop? Soalnya, selain fasilitas, suasana juga penting. Banyak orang suka kerja di coffee shop karena suasananya yang asyik.”
Bu Siti menimpali, “Mungkin suasananya bisa beda, tapi kalau fasilitasnya lengkap dan tempatnya nyaman, pasti orang bakal betah. Apalagi kalau gratis.”
Pak RT mengangguk setuju, “Iya, betul. Pemerintah daerah harus bisa menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung produktivitas. Kalau nggak, orang tetap bakal pilih nongkrong di coffee shop meski harus bayar lebih.”
Penutup
Dulkemut menyimpulkan, “Jadi intinya, kita butuh lebih banyak tempat kerja yang nyaman dan bisa diakses gratis. Pemerintah daerah bisa bantu dengan menyediakan coworking space. Tapi yang penting, tempatnya harus nyaman dan mendukung produktivitas. Kalau nggak, ya orang tetap bakal pilih nongkrong di coffee shop.”
Bu Siti mengangguk, “Betul, Kemut. Semoga aja pemerintah bisa dengar dan bikin tempat kayak gitu. Biar semua orang bisa kerja atau belajar dengan nyaman tanpa bikin rugi pemilik coffee shop.”
Pak RT menambahkan, “Dan yang paling penting, kita semua harus tetap produktif dan memanfaatkan fasilitas yang ada dengan baik. Jangan cuma asal nongkrong tanpa tujuan.”
Dulkemut tertawa, “Iya, Pak RT. Gue setuju. Yuk kita berdoa semoga pemerintah dengar dan segera bikin coworking space yang nyaman buat kita semua.”
Dengan harapan itu, diskusi di warung kopi Bu Siti pun berakhir. Semua orang berharap bahwa suatu hari nanti, akan ada lebih banyak tempat kerja yang nyaman dan bisa diakses oleh semua orang tanpa harus merugikan pemilik coffee shop.
Hingga saat itu tiba, mereka akan terus mencari tempat yang paling nyaman untuk bekerja dan belajar, sambil tetap menikmati teh manis dan suasana hangat di warung kopi Bu Siti. (DW)