Guru: Digugu dan Ditiru

Image: goodnewsfromindonesia.id

Guru merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan nasional tepatnya dunia pendidikan. Mulai dari pendidikan formal, informal, dan non formal, semua itu sangat ditentukan oleh keberadaan  guru.

Dengan demikian, guru menjadi mesin penggerak perubahan kemajuan bangsa. Sebab, kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan.

Digugu dan Ditiru

Dalam filosofi bahasa Jawa, guru adalah sebuah kata yang mempunyai makna “digugu lan ditiru”. Digugu artinya perkataan harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan ditiru artinya sikap dan perbuatan dapat menjadi teladan bagi peserta didik.

Dua kata tersebut merupakan doktrin profesi guru yang menggambarkan sebuah karakter, yakni selaras antara perkataan dan perbuatan. Secara sederhana guru adalah profesi yang bertanggung jawab terhadap pendidikan peserta didik.

Namun pendidikan yang dimaksud bukan hanya seputar ilmu pengetahuan belaka, melainkan aktivitas kolektif yang membentuk kemampuan berpikir (Intelligence Quotient), kemampuan bersikap (Emotional Quotient) dan spiritual, sehingga tercipta sumber daya manusia yang unggul dan berakhlak mulia.

Beranjak dari itu, para ahli bidang pendidikan menyebutkan jika guru dapat dipandang suatu profesi yang secara keseluruhan harus memiliki kepribadian baik dan mental yang tangguh, karena akan menjadi contoh bagi peserta didik dan masyarakat sekitar.

Salah satunya pendapat Surya (2002) yang mengatakan guru sebagai pendidik profesional selayaknya mempunyai ‘citra’ baik di masyarakat, guru itu diturut dan dicontoh. Atas dasar tersebut tanggung jawab moral seorang guru tidak hanya berlaku di lingkup sekolah, melainkan juga berlaku di masyarakat sebagai model pribadi yang bermartabat, mengingat tugasnya memperbaiki kualitas diri manusia.

Seorang guru tidak hanya sebatas memiliki kemampuan mengajar (pedagogik), namun harus mencakup kemampuan profesional, sosial dan kepribadian. Sesuai tugas formalnya yang menyentuh semua aspek mulai dari intelektual, emosional, spiritual, fisikal dan lainnya.

Oleh karena itu, guru harus menjadi pribadi yang seimbang antara pengetahuan akademik (kognitif) dan sikap (afektif). Sosok guru juga berperan sebagai motivator yang membangkitkan semangat dan melejitkan potensi peserta didik.

Semboyan Ki Hajar Dewantara

Sejalan dengan semboyan fenomenal Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang artinya seorang guru jika di depan menjadi contoh, di tengah membangkitkan hasrat belajar, dan di belakang memberi dorongan.

Untuk menjadi guru yang digugu dan ditiru, syarat utama yang harus dimiliki adalah sehat jasmani dan rohani. Sehingga guru dapat mentransfer ilmu kepada peserta didik secara komprehensif, tidak hanya sekedar mengajar mata pelajaran intra.

Tetapi harus bisa memberikan pelajaran terkait kehidupan sesuai dengan pengalaman selama menjalani kehidupan. Jadi, tugas seorang guru tidak hanya sebagai penyampai materi sesuai kurikulum formal saja, tetapi harus mampu menciptakan suatu tatanan kondisi peserta didik.

Saat berinteraksi dengan peserta didik pada proses pembelajaran, guru harus tulus dan mendidik dengan kasih sayang. Karena guru adalah orang tua kedua bagi peserta didik, keberadaannya harus menjadi sosok yang dinantikan oleh peserta didik sebagai inspirator dalam belajar.

Sentuhan Guru Faktor Utama

Sentuhan seorang guru adalah faktor utama motivasi peserta didik untuk menyerap ilmu pengetahuan maupun sebagai teladan dalam bersikap. Maka dari itu, guru harus menciptakan suasana belajar yang penuh rasa kekeluargaan,  harmoni dan egaliter.

Selanjutnya, guru harus memperlakukan peserta didik secara adil dan setara, tanpa dipengaruhi embel-embel status sosial atau latar belakang dari peserta didik tersebut. Sehingga dapat menimbulkan perlakuan istimewa dan diskriminasi.

Selain itu, Guru harus amanah, bertanggung jawab, jujur dan penyeru kebaikan. Jujur dalam arti sanggup berkata apa adanya terhadap suatu kebenaran. Sanggup berproses sesuai alur serta prosedur tanpa mencari dan melewati jalan pintas.

Karena, apabila praktik jahat dilakukan oleh guru dalam menjalankan tuntutan profesi dan mengerjakan tugas profesi, maka secara sadar sebetulnya guru tersebut telah meruntuhkan martabat dunia pendidikan.

Keempat karakter di atas juga sangat penting ditanamkan kepada peserta didik sebagai pendidikan karakter, dengan harapan adanya peningkatan pada kualitas pendidikan. Karena kualitas pendidikan merupakan pondasi awal untuk memperbaiki krisis karakter suatu bangsa.

Berbudi pekerti luhur dan bijaksana dalam bertindak sehingga menjadi sosok panutan yang disegani. Dan mampu memilah baik buruknya suatu perkara, agar tetap selaras dengan profesinya yang bertanggung jawab mendidik moral dan membentuk karakter manusia.

Jangan sampai seorang guru justru melakukan perbuatan tidak terpuji atau bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Terlebih jika seorang guru tidak sadar diri  jika dia adalah guru, maka hal itu akan menimbulkan suatu permasalahan.

Terakhir, sosok guru harus beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dalam arti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Karena dalam keyakinan apapun, iman dan takwa merupakan benteng diri untuk tidak melakukan hal diluar kaidah kebaikan yang ditetapkan ajaran agama yang dianut.

Selalu mawas diri karena merasa diawasi dan bertanggung jawab langsung kepada sang khalik, sekaligus sebagai perwujudan nyata sila pertama pada butir pancasila serta meningkatkan citra positif pribadi guru.

Berwawasan Luas dan Gemar “Upgrade” Diri

Menjadi pendidik yang berkompeten, seorang guru tidak cukup hanya menguasai disiplin ilmu pengetahuan dari sumber terbatas atau sekedar “teks book”. Guru harus memiliki wawasan luas dalam arti kaya pengalaman dan kaya referensi.

Dengan cara memperbanyak sumber bacaan maupun tontonan, memperluas jaringan dengan aktif di berbagai aktivitas formal maupun nonformal yang bermanfaat.

Tujuannya supaya guru dapat menganalisis informasi serta masalah dengan tepat, lalu menyampaikan kepada peserta didik secara gamblang (solutif) dan menyeluruh. Dapat lebih dewasa/bijak bersikap, terutama ketika menanggapi suatu masalah dan menyaring sumber informasi, atau tidak mudah terprovokasi hoax.

Guru dengan wawasan yang luas lebih kreatif dan inovatif meramu proses pembelajaran. Mampu merancang pembelajaran yang tepat sesuai kondisi, kebutuhan peserta didik dan sesuai sarana prasarana yang tersedia pada satuan pendidikan. Memiliki kemampuan literasi yang baik sehingga dapat menyajikan materi dalam pembelajaran secara sederhana dan bijaksana.

Semoga peringatan Hari Guru Nasional pada tanggal 25 November, dijadikan momentum introspeksi apakah makna “digugu dan ditiru” masih bersemayam dalam sanubari setiap guru masa kini sebagai tanggung jawab profesi. Jangan sampai arus globalisasi dan kemajuan teknologi mengubah persepsi yang dampaknya menggerus nilai luhur seorang guru.

Penulis: Muhammad Azmi (Guru SMP Negeri 3 Parindu, Kab. Sanggau)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Don`t copy text!