Suara Guru Pelosok Negeri untuk Mas Menteri

Image: batukarinfo.com

Sebagai aparatur sipil negara (ASN) dengan jabatan fungsional (guru biasa)  ditingkat paling dasar, sejatinya kami harus taat menjalankan tugas yang bersifat hierarki dari jenjang yang lebih tinggi tanpa kata tidak atau penolakan sedikitpun, karena itu sudah menjadi ketetapan profesi yang mutlak harus dijalani.

Tetapi setidaknya demokrasi yang menjadi konsensus bersama kita dalam bernegara memberi sedikit ruang suara untuk siapa saja, termasuk ASN yang tentunya dalam kontek wajar, mewakili suara hati dan mengabarkan fakta.

Hal ini juga diperkuat dengan semangat reformasi 25 tahun lalu tentang kebebasan berekspresi, jadi negara hendaknya wajib hadir melindungi hak-hak sipil tersebut tanpa adanya intervensi atau resiko yang berdampak pada kerugian khususnya bagi  para ASN ketika berpendapat dimuka umum.

Dari pelosok negeri kami ingin menyampaikan Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) secara umum memiliki luas daratan mencapai 1,9 juta kilometer persegi, sepertinya perlu kajian mendalam dan berkelanjutan mengenai sentralistik kebijakan khususnya dalam hal ini sektor pendidikan yang tanpa memberi ruang daerah jika dianggap perlu untuk memodifikasi secara fleksibel sesuai situasi kondisi/permasalahan di daerah masing-masing.

Analoginya seperti ini, kita memiliki klasifikasi terkait daerah yang biasa disebut wilayah perkotaan, pedalaman atau terpencil, daerah maju, berkembang, tertinggal dan sebagainya, namun perlakuan dalam penerapan kebijakan misalnya seperti kurikulum  sifatnya sentral berskala nasional.

Sedangkan yang menjadi barometer atau acuan untuk merancang kurikulum tersebut sebagian besar adalah daerah maju misalnya seperti Jabodetabek, Jawa dan sekitarnya yang notabene SDM  lebih unggul serta ditunjang infrastruktur/sarana prasarana yang sudah siap.

Penerapan Kurikulum Tidak Bisa Disamaratakan

Apabila daerah sudah siap, tentu tidak menjadi permasalahan tetapi jika sebaliknya sudah barang tentu akan menjadi masalah serius. Kami sebagai guru di wilayah pedalaman Kalimantan Barat merasakan betul kesenjangan ini pada ranah penerapan dilapangan, kita ambil contoh seperti Kurikulum 2013 (K13) yang telah dilalui bersama.

Baca Juga:  Anshari Dimyati: Sultan Hamid II Bukan Pengkhianat Bangsa

Semangat atau intisari dalam kurikulum tersebut adalah menuntut siswa lebih aktif, kreatif hingga inovatif dalam proses pembelajaran sedangkan guru lebih kearah fasilitator, tetapi realitanya siswa diwilayah pedalaman tidak siap menghadapi pola seperti itu dengan beragam faktor penyebab.

Akhirnya yang terjadi cover K13 namun isinya masih menggunakan pembelajaran pola lama yang menjadikan guru sebagai aktor utama pembelajaran, belajar menggunakan metode ceramah dan siswa masih pada kategori pasif.

Belum lagi bicara infrastruktur pendukung kesuksesan belajar seperti internet, media digital dan sarana prasarana lain yang pastinya tidak sama dan tidak bisa pula disamakan dengan daerah-daerah maju/perkotaan.

Oleh karena itu berdasarkan studi kasus tersebut menteri pendidikan hendaknya perlu memberi ruang kepada pemerintah daerah melakukan kajian bersama para pakar maupun praktisi pendidikan untuk meramu strategi yang tepat dalam proses penyelenggaraan pendidikan ditengah keterbatasan wilayah tertentu yang menjadi objek pendidikan tanpa harus menghilangkan esensi dari kurikulum sebagai acuan utama dan semangat dari cita-cita pendidikan nasional.

Jangan sampai kebijakan kesannya mutlak turun dari atas tetapi pada pelaksanaan dibawah penuh dengan manipulasi karena keadaan tidak mampu menyesuaikan.

Sederhanakan Administrasi Guru

Guru yang baik adalah guru yang mengajar dengan hati yang senang, jiwa yang tenang dan pikiran yang terang. Jika demikian seperti apapun kondisi yang dihadapi dalam proses pembelajaran maka akan dapat dilewati dengan tulus ikhlas.

Dan yang paling utama tugas guru adalah mengajar siswa disekolah, berbeda dengan dosen yang selain mengajar harus melakukan penelitian dan juga pengabdian kepada masyarakat. Dewasa ini guru seperti dibebankan dengan beban lain diluar beban mengajar, yakni harus berkutat dengan administrasi yang banyak sehingga dapat mengganggu konsentrasi guru dalam mendidik siswa.

Seperti pada lembar penilaian maupun portofolio setiap siswa dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) K13, guru harus membuat format detail secara administratif penilaian sampai pada prilaku masing-masing siswa.

Pada dasarnya hal ini baik, namun perlu diubah menjadi sederhana dari pola maupun bentuknya, karena dengan melakukan penilaian setiap individu siswa secara detail dan komperhensif sisi negatifnya dapat menguras energi guru diluar tugas pokok mengajar.

Apalagi kita ketahui bersama untuk mendidik siswa terutama karakter/kepribadian tidak cukup atau bukan hanya peran guru semata, ada peran lingkungan sosial masyarakat dan peran vital keluarga, artinya perlu kerjasama apik dan sentuhan hangat banyak pihak apabila ingin anak memiliki integritas.

Selanjutnya guru harus membuat penilitian atau karya ilmiah sebagai syarat wajib untuk kenaikan pangkat. Jika hal tersebut dilakukan atas dasar keingingan atau minat dari individu guru untuk melakukan penilitian tindakan kelas (PTK) dan lain-lain  tentu baik, tanpa dipatenkan sebagai syarat wajib tertentu yang harus dipenuhi guru.

Karena lagi-lagi dampaknya dapat membuat konsentrasi guru dalam proses pembelajaran terganggu, lagipula hasil karya ilmiah pun cenderung menjadi arsip belaka.

Selain itu, tak urung karena sebuah tuntutan yang bukan atas dasar hati nurani diantara guru diduga mengambil jalan pintas untuk membuat karya ilmiah tersebut, dengan membayar atau membeli sehingga membuka ruang praktek jahat terjadi dalam dunia pendidikan.

Maka dari itu pemerintah hendaknya mengkaji ulang terkait administrasi guru dengan menyederhakan bentuknya agar tidak terkesan membebankan. Guru sebagai garda depan mencerdaskan anak bangsa harus diberi relaksasi agar maksimal menjalankan tugas sebagai pendidik.

Yang baik adalah ketika guru diarahkan dengan berbagai pelatihan (upgrade) yang mengarah pada “soft skill” seperti pelatihan multimedia dan sebagainya sebagai penunjang proses pembelajaran sedangkan administratif harus dikurangi.

Dispensasi Guru Sekolah Kecil

Kebijakan  guru wajib mengajar 24 jam sepekan tanpa terkecuali dengan mata pelajaran yang diampu harus linier merupakan fenomena yang juga menarik dibahas. Hubungannya kembali lagi dengan klasifikasi wilayah tersebut diatas.

Baca Juga:  Stephen Suleeman: yang Terbaik dari Indonesia

Jika aturan ini dibuat mengacu pada guru-guru diwilayah perkotaan yang notabene sekolah besar  dengan rombel yang banyak lalu di generalisir untuk semua tanpa terkecuali atau perlakuan khusus maka terkesan tidak adil bagi guru yang berada diwilayah pedalaman dengan kondisi sekolah kecil dan rombel yang sedikit.

Dari aspek kesiswaan, kondisi penduduk wilayah perkotaan yang padat memudahkan sekolah untuk mendapatkan siswa dengan jumlah besar, secara otomatis akan banyak rombel dan guru disekolah tersebut tanpa kesulitan pula untuk memenuhi kewajiban 24 jam mengajar dengan mata pelajaran yang linier.

Dari segi jarak, wilayah perkotaan dari sekolah satu ke sekolah lain jaraknya mudah dijangkau, sehingga apabila terdapat guru yang kekurangan jam mengajar maka akan lebih mudah untuk dipenuhi mengajar ke sekolah lain dengan jarak tempuh yang dekat.

Berbeda dengan wilayah pedalaman seperti halnya di Kalimantan Barat, guru cenderung kesulitan memenuhi 24 jam mengajar karena kebanyakan sekolah kecil dengan rombel sedikit yang dipengaruhi faktor rendahnya kepadatan penduduk.

Jika harus memenuhi kewajiban jam mengajar di sekolah lain, maka dihadapkan masalah jarak tempuh yang jauh dengan infrastruktur yang biasanya tidak memadai.

Meskipun sebetulnya di sekolah asal sudah lebih mengajar 24 jam jika dihitung dengan mengampu mata pelajaran lain yang tidak linier, tetapi faktanya mengajar mata pelajaran lain untuk menutupi kekurangan guru tersebut terkesan tidak mendapat apresiasi.

Menyikapi hal ini perlu kebijaksanaan pemerintah untuk memberi dispensasi bagi guru disekolah kecil yang berada di wilayah pedalaman agar tidak menjadi momok menakutkan bagi guru karena jika tidak cukup jam mengajar 24 jam sepekan secara linier terancam tidak keluarnya tunjangan profesi yang menjadi harapan untuk kesejahteraan. Dan hari ini hal tersebut menjadi masalah guru di sekolah kecil.

Penulis : Muhammad Azmi (Guru SMP Negeri 3 Parindu, Kab. Sanggau)

 

Artikel Lainnya

Comments are closed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More