Guru Tendang Murid, Siapa yang Salah? Sudut Pandang Guru yang Pernah Hadapi Murid Keras Kepala
BloggerBorneo.com – Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh video viral seorang guru yang menendang muridnya di dalam ruang kelas.
Menurut informasi dilansir dari incaberita, video itu menunjukkan seorang guru berdiri di atas meja dan menendang kepala siswanya di depan teman-teman satu kelas.
Guru Tendang Murid, Siapa yang Salah?
Reaksi publik pun beragam: ada yang mengecam, ada yang mencoba memahami, dan tidak sedikit yang menyalahkan murid.
Sebagai seorang guru SMP swasta di Pontianak yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengajar, saya merasa perlu menyampaikan sudut pandang yang mungkin jarang terdengar bahwa…
Murid yang keras kepala bukan semata-mata karena “nakal”, tapi bisa jadi adalah cermin dari lingkungan yang tidak mendukung.
Menghadapi Murid Keras Kepala: Tidak Sesederhana yang Dibayangkan
Saya tidak ingin membela tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Menendang, memukul, atau menghina murid tidak pernah bisa dibenarkan dalam konteks apapun.
Namun saya juga ingin jujur: menghadapi murid yang keras kepala, provokatif, atau sulit diatur bukanlah perkara mudah.
Dalam pengalaman saya, ada murid yang berani membanting pintu saat ditegur, ada yang sengaja mengganggu kelas, bahkan ada yang secara terang-terangan menantang otoritas guru.
Tapi semakin lama saya mengenal mereka, semakin saya sadar: perilaku mereka seringkali merupakan cerminan dari masalah di rumah atau lingkungan sekitarnya.
Masa SMP: Usia Labil dan Penuh Pencarian Jati Diri
Insiden guru tendang murid yang terjadi di SMP, menyoroti satu hal penting: masa usia SMP adalah masa transisi yang rawan.
Anak-anak di usia ini belum sepenuhnya mampu mengelola emosi dan sering kali belum bisa membedakan mana tindakan yang pantas dan mana yang tidak.
Di sinilah pentingnya peran guru sebagai pendidik, pembimbing, sekaligus penjaga emosi mereka. Tapi tentu, ini tidak mudah.
Butuh kesabaran ekstra, pelatihan manajemen kelas, dan dukungan sistem dari sekolah.
Pengaruh Orang Tua dan Lingkungan Tidak Bisa Diabaikan
Dalam beberapa seminar parenting yang saya ikuti, para narasumber selalu menekankan: anak adalah produk dari lingkungan, bukan hanya hasil didikan sekolah.
Anak yang keras kepala, pemarah, atau suka melawan, bisa jadi adalah korban dari rumah yang tidak harmonis.
Orang tua yang sering bertengkar, abai terhadap kebutuhan anak, atau terlalu sibuk dengan pekerjaan, menciptakan kekosongan perhatian. Dan kekosongan itu sering diisi oleh perilaku negatif.
Teman sebaya juga berperan besar. Lingkungan pertemanan yang buruk, seperti geng toxic, budaya saling ejek, atau normalisasi kekerasan verbal, akan memperkuat karakter negatif dalam diri anak.
Sekolah Butuh Sistem Pendukung, Bukan Sekadar Penghakiman
Dari video yang viral itu, saya merasa prihatin terhadap dua pihak: sang murid yang menjadi korban, dan sang guru yang mungkin sedang berada di titik lelah tertingginya.
Sistem pendidikan kita harus menyediakan dukungan psikologis, pelatihan manajemen emosi, dan SOP yang tegas namun humanis dalam menghadapi konflik guru-murid. Guru tidak boleh sendirian menangani tekanan.
Restorative justice, seperti yang dilakukan pada kasus tersebut, memang menjadi jalan damai. Tapi seharusnya, penyelesaian semacam itu tidak hanya berakhir di meja mediasi.
Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan karakter di sekolah.
Pendidikan Karakter: Solusi yang Terlalu Sering Diabaikan
Pendidikan karakter sering disebut dalam kurikulum, tapi implementasinya masih minim. Padahal ini adalah solusi jangka panjang yang bisa mencegah kasus serupa terulang.
Pendidikan karakter harus:
- Terintegrasi dalam semua mata pelajaran
- Didukung oleh peran aktif orang tua
- Diberikan dengan contoh nyata, bukan sekadar teori
- Dibingkai dalam lingkungan sekolah yang ramah dan menghargai perbedaan
Kesimpulan: Mendidik dengan Hati, Bukan Emosi
Video guru tendang murid adalah alarm bagi kita semua. Bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan anak.
Bahwa sekolah masih kekurangan sistem pendukung yang sehat. Bahwa banyak orang tua lepas tangan dan hanya menyalahkan sekolah saat anak bermasalah.
Sebagai guru, saya percaya bahwa setiap anak bisa berubah, asal kita bersama-sama membimbing mereka, bukan dengan kekerasan, tapi dengan empati dan keteladanan.
Karena sejatinya, guru bukan hanya pengajar, tapi penjaga masa depan anak-anak Indonesia. (DW)