Penulis: Syarif Ibrahim Al-Qadrie
Pendiri Al-Qadrie Center, Direktur Indonesia Conflict and Peace Study Network, dan Prof. Tamu Nordic Institute of Asian Study (NIAS), Copenhage, Denmark.
Ada semacam kesedihan dan rasa kehilangan paling dalam dialami oleh seluruh anggota keluarga besar MHS. Perasaan semacam itu juga dirasakan oleh para rekan, kawan, kolega, dan sahabat. Kami, kita, civitas academica IAIN Pontianak, para warga kota ini, daerah KalBar dan dunia sosial kependidikan pada umumnya, telah sangat kehilangan seorang tokoh yang disegani dan menjadi panutan generasi muda Kalimantan Barat.
Sejak Kamis sore tanggal tersebut, dan Jumat ketika Jazad Almarhum dikebumikan, sampai Sabtu dan Minggu, dua hari setelah itu, udara begitu mendung bercampur hujan rintik-rintik seharian, seakan alam merasa berduka dan ikut menyertai perjalan abadi Sang Tokoh yang sebelumnya para sahabatnya belum menyadari kearah tonggak perjalanan terakhir itu. Seminggu sebelum menghembuskan nafas terakhir, MHS sering mengobrol dengan beberapa anggota keluarga dekatnya tentang tanda-tanda berkaitan dengan persiapan Almarhum dalam “perjalanan akhir” menemui Sang Khalik Rabbul (Rabb) Allamin (Allah Pencipta seluruh alam).
Keunggulan Reliositas dan Aqidah
Keluarga MHS menceritakan bahwa beliau Almarhum sudah sedang dijemput menuju tempat yang sudah disediakan. Dalam obrolan itu Almarhum menambahkan tentang bagaimana kondisi perjalanan menuju tempat itu. “Indah dan nikmat tak terlukiskan,” jelas Almarhum. Hampir seluruh keluarga menganggap apa yang diobrolkan oleh Almarhum merupakan bentuk bawah sadar karena pengaruh penyakit yang dideritanya. Namun, para anggota keluarga dekat dan sahabatnya baru menyadari setelah itu: Almarhum sudah mengetahui tanda-tanda dari Sang Rabb sebelumnya.
“Tidak banyak orang dianugrahi kelebihan seperti dimiliki oleh MHS” kata sejumlah Ulama dan Ustadz.
“Biasanya mereka yang berhasil menggabungkan pengetahuan antara jalur hubungan Manusia dengan Tuhan (Hablumminallah) dan jalur hubungan manusia dengan manusia (Hablumminannas) dan melaksanakannya dengan konsekuen, cenderung diberi kelebihan untuk mengalami peristiwa secara ghaib apa yang tidak diketahui dan dialami oleh orang lain. Apa yang disebut anugrah dari Sang Khalik dan –kalaupun dianggap sebagai –“mu’jizat” yang dimiliki oleh orang tertentu, orang itu telah mampu menghadapi perbuatan aniaya orang lain terhadapnya tanpa melakukan balasan,” tambah dua orang tokoh agama itu.
Dalam tulisan mengenang (in memoriam) Almarhum, saya hanya akan mengungkapkan segi positif MHS yang saya ketahui dari wawancara informal dengan keluarga dekat, kolega dan rekannya. Pengungkapan obyektif positif tentang Almarhum berdasarkan pada pengalaman saya sendiri sebagai seorang sahabat beliau selama lebih dari 25 tahun.
Obyektivitas Akademis dan Pesan Agama
Sebagai seorang akademisi, saya seharusnya menulis apa adanya seobyektif mungkin. Namun, saya harus selalu berpedoman pada ajaran agama untuk tidak mengungkapkan segi negatif seseorang ketika ia sudah meninggal dunia, seperti dikatakakan dalam sebuah hadist di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «لاَ تَسُبُّوا اْلأَمْوَاتَ, فَإِنَّّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلىَ مَا قَدَّمُوْا». رَوَاهُ اْلبُخَارِيّ
Dari ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha, dia berkata: Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan’ “. (HR: al-Bukhâriy)
Namun, kalaupun ada perbuatan Almarhum kurang tepat, itu merupakan hal wajar sebagai manusia. Namun, saya menyadari bahwa sebuah in-memoriam, bukan hanya harus dikontrol oleh kewajiban religiusitas. Namun, sejujurnya, saya sangat sulit menemukan hal negatif dari karakter dan perbuatan Almarhum MHS terhadap saya, menyakiti hati saya, melakukan hal tidak pada tempatnya, apalagi melanggar hukum. Karena itu, saya akan bebas menyampaikan serba sedikit tentang perjalanan hidup Almarhum. Manusia wafat Meninggalkan Nama
Keakraban kami pertama terjadi sekitar 22 tahun lalu dalam kegiatan seminar di Universiti Malaysia (UM), Kuala Lumpur, tentang Melayu dan Islam di Kalimantan. Kedekatan kami berlanjut dalam berbagai kegiatan akademis. Kami mengikuti kegiatan tersebut tak kurang 9 kali di dalam dan di luar negeri sebagai peserta aktif dan pembawa makalah. Dari sembilan kesempatan, tiga kali diantaranya kami menginap satu kamar hotel.
Keakraban kami berlanjutkan menjadi persahabatan ketika MHS mengangkat kami, Prof. Uray Husna Asmara; Prof. Kamidjan Tono, Drs.Soedarto (Almarhum), Dr. Abror; Prof. Garuda Wiko, dan saya sendiri, sebagai anggota Senat STAIN Pontianak, selama dua masa jabatan. Pengangkatan kami sebagai “senator” dari luar STAIN menunjukkan tekad baja MHS agar instansi yang dipimpinnya mengalami kemajuan sejajar dengan PT lain.
Sejumlah mantan anggota Senat STAIN pada saat itu, mengenang keakraban antar kami. Prioritas utama program kerja Senat STAIN Pontianak diarah pada kepentingan pembinaan standar mutu pendidikan tinggi (PT) Islam dan generasi mudanya.
Ada sebuah peribahasa tentang kefanaan makhluk hidup kalau mereka sudah`mati: harimau meninggalkan belang, gajah meninggalkan gading dan manusia meninggalkan nama. Setelah wafat, Almarhum meninggalkan hal yang sangat luar biasa. Selama menjadi tenaga akademisi di STAIN, Almarhum pernah menduduki tidak kurang 10 jabatan sosial bergengsi yaitu sebagai pegurus Wilayah/Ketua/Wakil Ketua/Sekjen/Sekretaris di KalBar, seperti:
- Pelajar Islam Indonesia (PII);
- Dewan Dakwah Islamyah (DDI);
- Forum Umat Islam (FUI);
- Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB);
- Dewan Mesjid (DM);
- Dompet Umat (DU);
- Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI);
- Ikatan Dosen (ID);
- Majelis Adat, Budaya Melayu (MABM); dan
- Ikatan Sarjana Indonesia-Malaysia (ISM).
Tidak banyak orang dipercaya dan mampu melaksanakan kepengurusan non-struktural sebanyak itu dengan lancar. Kemampuan Almarhum melaksanakan tugas itu secara ikhlas merupakan salah satu wujud dari ketokohan, intelektualitas dan paradigm pelayanan masyarakat yang dianut selama hidup beliau. Ketokohan beliau tak diragukan lagi karena sebagian terbesar dari jabatan tersebut dipegangnya saat Almarhum tidak lagi menduduki jabatan formal. Jadi, jabatan setumpuk itu bukan diberi hanya karena MHS sedang memimpin suatu instansi formal yang memiliki banyak dukungan fasilitas.
“Almarhum,” menurut para sahabatnya, “memiliki kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain dan tetap dipercaya untuk berkiprah justru ketika beliau sudah menjadi dosen biasa. Sedangkan orang lain sudah “tenggelam” ketika tidak lagi menduduki jabatan struktural formal,” kenang para mahasiswa yang merasa kehilangan.
– Bersambung –
Menuju ke Bagian 2