In Memoriam: Prof. DR. H. Muhammad Haitami Salim, M.Pd (Bagian 2)
Semasa hidupnya Almarhum sangat konsisten terhadap ide dan paradigma kemanusiaan. Kalaupun tidak sependapat dengan ide orang lain, biasanya Almarhum beragumen dan menolaknya dengan halus.
Penulis: Syarif Ibrahim Al-Qadrie
Pendiri Al-Qadrie Center, Direktur Indonesia Conflict and Peace Study Network, dan Prof. Tamu Nordic Institute of Asian Study (NIAS), Copenhage, Denmark.
Ketika berada berduaan atau bersama dengan sahabat lain, kami sering berdiskusi tentang paradigm antara lain (1) netralitas/ keberpihakan dan bebas nilai (value free), (2) fetitisme komoditas, (3) hubungan kemiskinan, keterpurukan, radikalisme, kekerasan dan terorisme, dan (4) hubungan tujuan dan alat. Pengetahuan tentang paradigm diperoleh Amarhum bukan hanya dari pendidikan formal: Sarjana satu (S1) dari Fakultas Tarbiyah, Jurusan Bahasa Arab, IAIN Syarif Hidayahtullah, Cabang Pontianak, Lulus 28 Juni 1990; S2 Magister Agama (M. Ag) tahun 1998, IAIN Sunan Ampel, Surabaya; dan S3, Doctor of Philosophy (Ph. D), Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), tahun 2011.
Pemahaman mendalam tentang perspektif, teori dan paradigm dipertajam Beliau melalui minat dan disiplin baca yang tinggi dan suasana batin intelektulitas yang dalam. Pengetahuan akademis MHS berkembang biak dan mendorong Almarhum untuk produktif menulis. Sampai sekarang tak kurang dari 50 buah buku dan jurnal sudah diterbitkannya, tidak termasuk opini diberbagai harian dan majalah.
Netralitas, Bebas Nilai (Value Free) dan Fetitisme
Kami berdua sependapat tentang netralitas/ketidakberpihakan dan bebas nilai/kepentingan. Namun, kami tidak pernah netral selama fenomena sosial itu membahayakan bagian terbesar masyarakat dan bangsa. Sebagai akademisi – dan di sini kelihatan bobot intelektualitas Almarhum – kami harus mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa dan nilai-nilai keadilan. Namun, kami sedikit berbeda dalam arah keberpihakan. Almarhum jauh lebih religious (tinggi penguasaan agama) ketimbang saya.
Kami juga memiliki keprihatinan mendalam terhadap kondisi sosial yang dipengaruhi oleh paradigm fetitisme komoditas. Semua nilai kemanusiaan diperlakukan sama seperti komoditas: dapat diperjual-belikan. Ini merisaukan Almarhum karena memperlakukan paradigm itu kualitas pendidikan kita tak mampu bersaing walau hanya di Asia Tenggara; pelayanan publik merosot tajam; Pungli bagai cendawan di musim hujan; hutan, segala isi dan lingkungannya hancur; korupsi merajalela, dan makelar kasus (Markus) berkembang biak. Fenomena mempermalukan bangsa ini merupakan akibat dari cara berfikir fetitisme.
Teologi Pembebasan dan Teori Kritis
Fenomena radikalisme dan terorisme dipandang sebagai wujud “penyimpangan” dan “penghancur” dari nilai budaya dan ajaran agama. Pandangan ini juga menimbulkan keprihatinan MHS. Kami berada pada jalan masing-masing, namun mengarah pada satu tujuan: mengurangi dua fenomena yang mendiskreditkan budaya dan agama Islam; Almarhum melalui teologi pembebasan Ali Syari’ati (Sociology of Islam, 1982) –menciptakan kader-kader dalam pendidikan agama, dan saya menggunakan teori dan paradigm kritis – melalui upaya membangun kesadaran kritis (Jurgen Habermas, Science and Technology as an Ideology, 1990: p. 158) bagi generasi penerus.
Sebagai pengemar Ali Syari’ati (Man and Islam, 1986; Sociology of Islam, 1982; What is to be Done, 1988), Almarhum mengungkapkan akar pokok Islam yaitu ketauhidan mutlak (absolut monoteistism): Allah itu Esa, yang memandang dunia sebagai sistem utuh menyeluruh, harmonis, hidup, sadar diri, melampaui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan Ilahi yang sama.
Islam hadir ditengah masyarakat yang kacau, ditandai manipisnya penghargaan manusia pada nilai-nilai kemanusiaan. Kehadiran Islam di bumi Arab, tambah Almarhum dengan tetap mengutip Syari’ati – bagian ini lebih mendekatkan kami berdua – merupakan, pengesaan Tuhan, sebagai sesembahan Tunggal.
Risalah pentauhidan ini disampaikan oleh Muhammad kepada masyarakat Arab Jahiliyah yang telah menciptakan objek sesembahan baru berupa patung-patung berhala. Kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab Jahiliyah merupakan awal lahirnya risalah pembebasan manusia dari ketertindasan, kebodohan, perbudakan dan diskriminasi struktur sosial dalam masyarakat Arab Jahiliyah. Islam hadir mengajak ummatnya untuk tunduk kepada Allah dan didorong untuk memberontak melawan penindasan, ketidak-adilan, kebodohan, serta ketiadaan persamaan (ketimpangan). Sampai saat ini Islam sangat anti dengan segala bentuk ketidakadilan, dan kolonialisme.
Pergeseran Nilai dan Prakhmatisme
Namun, kami berdua sepaham bahwa perbaikan kebijakan terhadap ketidakadilan, kemiskinan dan keterpurukan, yang dilakukan melalui perbaikan kebijakan menyeluruh dalam bidang sosial ekonomi dan politik merupakan upaya tak terelakan dalam “menumpas” (root out) kekerasan, radikalisme dan terorisme. Karena itu, dalam kapasitasnya sebagai Ketua FUI, FKUB, BKPRMI dan saat masih menjadi Ketua STAIN, Pontianak, Almarhum sering mengundang saya mengikuti ceramah, seminar, dan kegiatan akademis lain.
Lucunya, saya selalu bertanya apakah saya boleh tampil dengan menggunakan paradigma dan perspektif berbeda dari orang lain dalam membahas radikalisme, terorisme dan kehancuran lingkungan dan terpuruknya standar pendidikan. Almarhum selalu mengijinkan saya menggunakan paradigm dan perspektif yang kadang sulit diterima.
Paradigma berikut yang menyedot banyak kepedulian Almarhum adalah pandangan tentang ‘hubungan antara tujuan dan alat’ dalam proses kerja. Secara umum, pandangan positif tentang hubungan keduanya adalah tujuan selalu diletakkan dan dilaksanakan lebih dahulu daripada alat. Namun, sekarang telah terjadi pergeseran nilai. Kebanyakan orang memutar letak paradigm itu: alat/fasilitas diletakkan `lebih dahulu,’ sehingga kewajiban dan tujuan menjadi tidak penting dan tidak perlu ditingkatkan. Mereka memaksakan diri memiliki alat/fasilitas yang belum mampu mereka miliki. Akibatnya, instansi, bangsa dan harga diri dikorbankan.
Perubahan nilai seperti ini mendorong timbulnya super pragmatism dan menomor buntutkan pelayanan publik. Kesetiaan tanpa batas, kesetiakawanan semu dan karakter “bermuka dua” lebih ditujukan pada individu pemimpin, keluarga dan “gerbong politiknya” yang hanya berlangsung 4 – 8 tahun, bukan pada instansi, rakyat, negara dan bangsa. Struktur politik dan sistem kekuasaan membuat manusia melemparkan kemanusiaan mereka sendiri. Mereka tidak lagi memandang manusia secara utuh tapi telah menjadi srigala bagi manusia lain.
Sebelum berpulang selamanya, Almarhum mengatakan kepada saya bahwa beliau mengalami kegagalan dalam misi kemanusiaannya. Saya tidak heran dengan pengakuan jujur itu. Saya pun merasakan kegagalan seperti itu. Ciri intelektualitas Almarhum terletak tidak saja pada kepeduliannya terhadap orang lain, tetapi juga pada pengakuan terhadap kegagalannya. Almarhum tidak gagal. Salah satu keberhasilanya adalah MHS memiliki sejumlah besar kader generasi muda penerus yang siap meneruskan pemikirannya. Sejumlah besar sahabatnya melihat Almarhum berhasil dalam banyak hal: kaderisasi, regenerasi, konsistensi dan semangat yang terus membara.
– Selesai –
Kembali ke Bagian 1