Jepang Tangani Siswa Bermasalah Tanpa Pendekatan Militer: Fokus pada Konseling dan Dukungan Sosial
Jepang tangani siswa bermasalah dengan pendekatan psikologis, bukan metode militer. Negara ini mengedepankan konseling, dukungan sosial, dan perlindungan anak dalam sistem pendidikannya.
BloggerBorneo.com – Ketika publik Indonesia tengah ramai memperdebatkan kebijakan kontroversial dari Dedi Mulyadi yang mengirim siswa nakal ke barak militer untuk melatih kedisiplinan, Jepang justru menempuh jalan berbeda dalam menangani permasalahan serupa.
Menurut pemberitaan di rubrik Oh Ayo Jepang dari Kompas.com, Negara Matahari Terbit tersebut menolak pendekatan keras bergaya militer dan lebih memilih pendekatan psikologis serta perlindungan anak yang komprehensif.
Jepang Tangani Siswa Bermasalah Tanpa Pendekatan Militer
Merujuk pada jurnal Pediatrics International berjudul “Compulsory educational mental health support system in Japan” (2020) karya Nishio A. dan rekan-rekan, terdapat empat pendekatan utama yang diterapkan Jepang untuk menangani siswa bermasalah di sekolah, jauh dari unsur kekerasan fisik maupun hukuman ekstrem.
1. Konseling Psikologis di Sekolah
Sejak 1995, Jepang telah memperkenalkan sistem konselor sekolah yang fokus menangani berbagai masalah siswa seperti bolos sekolah, gangguan mental, dan penolakan mengikuti kelas.
Para konselor ini merupakan profesional di bidang psikologi klinis dan bekerja dengan pendekatan client-centered therapy, yaitu terapi yang mengutamakan empati dan rasa aman tanpa menghakimi siswa.
Setiap konselor wajib memiliki lisensi resmi seperti psikolog klinis, psikiater, atau profesor psikologi. Mereka juga aktif melakukan konsultasi dengan guru dan orang tua untuk memastikan pendekatan yang dilakukan sejalan dengan kebutuhan siswa.
2. Peran Yogo Teacher (Guru UKS)
Di hampir setiap sekolah di Jepang, terdapat guru khusus yang disebut yogo teacher atau guru UKS. Mereka bertugas mendeteksi sejak dini masalah emosional dan mental yang dialami siswa.
Yogo teacher merupakan profesi unik di Jepang yang berasal dari perawat sekolah era awal abad ke-20. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pendidikan Sekolah pada 1947, peran ini semakin diperkuat menjadi bagian tetap dalam struktur pendidikan nasional.
Guru ini menjadi ujung tombak pendampingan kesehatan mental siswa dan menjalin komunikasi aktif dengan siswa setiap harinya.
3. Pekerja Sosial Sekolah
Pemerintah Jepang mulai memperkenalkan sistem pekerja sosial sekolah sejak tahun 2008. Fokus utama mereka adalah membantu siswa yang menghadapi masalah sosial, seperti tekanan ekonomi, konflik keluarga, hingga kesulitan integrasi sosial.
Para pekerja sosial ini memiliki latar belakang profesional di bidang kesejahteraan sosial dan kesehatan mental. Selain membantu siswa, mereka juga berperan sebagai penghubung antara sekolah dan lembaga sosial seperti pusat layanan anak dan dinas sosial daerah.
Langkah ini memastikan siswa yang berada dalam kondisi rentan tetap mendapatkan dukungan optimal.
4. Pusat Konsultasi Anak (Jidō Sōdanjo)
Untuk kasus-kasus serius seperti kekerasan anak atau gangguan psikologis berat, Jepang memiliki Jidō Sōdanjo, yaitu Pusat Konsultasi Anak. Lembaga ini bertugas menerima laporan dari guru atau pekerja sosial sekolah, kemudian melakukan intervensi sesuai protokol perlindungan anak.
Dengan pendekatan profesional dan tanpa kekerasan, Jidō Sōdanjo bekerja sama erat dengan sekolah, keluarga, dan lembaga pemerintah lainnya untuk memastikan setiap anak mendapat lingkungan aman dan bantuan yang layak.
Berbeda dengan Pendekatan Militer
Pendekatan Jepang ini menunjukkan komitmen kuat terhadap hak anak dan kesejahteraan mental pelajar. Alih-alih menyelesaikan masalah dengan disiplin keras, Jepang memandang pentingnya dukungan emosional, pendampingan sosial, serta penanganan psikologis berbasis profesional.
Kebijakan seperti yang diterapkan oleh Dedi Mulyadi mungkin bertujuan baik, yakni untuk menanamkan disiplin.
Namun demikian, metode militer terhadap anak dinilai berpotensi menimbulkan trauma dan tak sejalan dengan prinsip perlindungan anak yang berlaku secara internasional.
Sebaliknya, pengalaman Jepang menjadi bukti bahwa sistem pendidikan yang ramah anak justru mampu menciptakan perubahan perilaku positif secara lebih manusiawi dan berkelanjutan. (DW)