BloggerBorneo.com – Hari ini, 21 April, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Kartini—sebuah momen reflektif yang tak sekadar menengok masa lalu, tapi juga menatap bagaimana semangat Kartini terus hidup dalam konteks zaman yang terus berubah.
Jika dulu Kartini menulis surat demi menyuarakan suara perempuan yang terbungkam, kini kita melihat Kartini-kartini baru yang bersuara lantang di ruang digital, membawa misi pemberdayaan dalam bentuk yang jauh lebih luas dan berdampak.
Dari Pena ke Ponsel: Evolusi Perjuangan
Kartini muda mengandalkan surat sebagai alat perjuangan. Di masa ketika perempuan bahkan sulit mengenyam pendidikan, keberanian Kartini menulis menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem patriarki yang mengekang.
Kini, perempuan tak lagi terbatasi oleh surat yang hanya sampai ke Belanda. Kita punya media sosial, blog, podcast, YouTube, TikTok, hingga berbagai kanal digital yang menjangkau jutaan pasang mata.
Di sinilah Kartini masa kini menunjukkan keberanian—berani bicara, berani berkarya, dan berani menunjukkan bahwa suara perempuan Indonesia adalah suara yang kuat dan layak didengar.
Perempuan dan Ekonomi Digital
Di tengah era digitalisasi, banyak perempuan Indonesia yang menjadi tulang punggung ekonomi digital, mulai dari pelaku UMKM online, konten kreator, freelancer, hingga founder startup teknologi.
Mereka tak hanya menciptakan produk, tapi juga membuka lapangan kerja, mengedukasi pasar, dan memperjuangkan keadilan ekonomi.
Contohnya:
- Perempuan yang membangun toko online dari rumah dengan modal gawai.
- Ibu rumah tangga yang mengedukasi ribuan follower tentang parenting lewat Instagram.
- Mahasiswi yang membuat aplikasi edukasi untuk membantu anak-anak di daerah 3T.
Ini semua adalah bentuk nyata bagaimana Kartini tak lagi hanya berjuang untuk dirinya, tetapi juga untuk komunitasnya.
Suara Perempuan di Ruang Maya
Era digital juga memberi ruang bagi perempuan untuk bicara tentang isu-isu yang sebelumnya dianggap tabu atau sensitif: kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, kesetaraan upah, hingga representasi perempuan dalam politik.
Gerakan #MeToo, #PerempuanBersuara, dan #SemuaBisaCoding adalah contoh bagaimana media sosial bisa menjadi medan perjuangan yang tidak kalah kuat dari medan politik.
Namun, di balik kemajuan ini, perempuan juga masih menghadapi tantangan serius di dunia digital:
- Cyberbullying dan pelecehan daring
- Minimnya representasi perempuan dalam bidang teknologi
- Gap literasi digital antar wilayah dan antar kelas sosial
Maka dari itu, perjuangan belum selesai. Justru kini, bentuknya lebih kompleks.
Perempuan dan Ekonomi Digital
Di tengah era digitalisasi, banyak perempuan Indonesia yang menjadi tulang punggung ekonomi digital, mulai dari pelaku UMKM online, konten kreator, freelancer, hingga founder startup teknologi.
Mereka tak hanya menciptakan produk, tapi juga membuka lapangan kerja, mengedukasi pasar, dan memperjuangkan keadilan ekonomi.
Contohnya:
- Anne Avantie – desainer kebaya legendaris yang aktif di media sosial dan marketplace digital. Di tengah pandemi, ia mengalihkan fokus ke produksi alat pelindung diri (APD) dan memasarkan secara online untuk membantu tenaga medis.
- Gita Safitri Devi – seorang YouTuber dan penulis, tinggal di luar negeri namun tetap konsisten menyuarakan topik pendidikan, feminisme, dan self-development dalam konten digitalnya. Ia menggunakan platformnya untuk mengedukasi dan menginspirasi perempuan muda Indonesia.
- Najwa Shihab – meskipun dikenal sebagai jurnalis senior, Najwa adalah contoh nyata perempuan yang memanfaatkan kekuatan media digital. Melalui Narasi TV dan media sosialnya, ia membangun kanal informasi yang kritis dan mendalam, serta membuka ruang diskusi digital yang sehat.
- Sariwangi’s Digital Warung Program – sebuah program pemberdayaan digital untuk pemilik warung tradisional, banyak di antaranya perempuan. Lewat program ini, mereka belajar mengelola keuangan, berjualan secara daring, dan memanfaatkan e-wallet dalam transaksi harian.
- Nadira Yudistira – seorang single mom yang merintis usaha kuliner rumahan dari dapur kecilnya. Berkat pemasaran lewat TikTok dan Instagram Reels, usahanya viral dan kini memiliki karyawan serta cabang di beberapa kota.
- Aulia Halimatussadiah (Ollie) – co-founder dari NulisBuku.com dan Storial.co, dua platform literasi digital yang membuka jalan bagi perempuan untuk menulis dan menerbitkan karya secara mandiri. Ollie juga aktif mendorong partisipasi perempuan dalam dunia teknologi dan startup.
Ini semua adalah bentuk nyata bagaimana Kartini modern tidak hanya menulis dan bermimpi, tetapi menggerakkan dan menginspirasi lewat teknologi yang ada di genggaman.
Kartini Adalah Kita
Kartini bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah simbol dari keberanian untuk berpikir kritis, bersuara lantang, dan menolak diam.
Di era digital, siapa pun bisa menjadi Kartini—selama kita tidak pasif, tidak apatis, dan tidak diam saat ketidakadilan terjadi.
Kartini masa kini tidak harus mengenakan kebaya untuk disebut pejuang. Ia bisa memakai hoodie, bekerja dari kafe dengan laptop, atau mengasuh anak sambil mengelola bisnis daring.
Yang penting, ia berani bicara, berani berpikir, dan berani berdaya.
Penutup
Perjalanan Kartini belum selesai. Tapi kita semua bisa melanjutkannya, dengan cara yang relevan di zaman ini.
Jangan pernah remehkan kekuatan satu unggahan, satu opini, satu aksi kecil di dunia maya—karena dari sanalah perubahan besar seringkali bermula.
Selamat Hari Kartini. Mari terus menjadi versi terbaik dari diri kita, dan memberdayakan sesama. Karena di era digital ini, berani bicara adalah bentuk baru dari perjuangan. (DW)
Follow BloggerBorneo.com @Google News