BloggerBorneo.com – Belum kering sisa banjir melanda beberapa wilayah di Kalbar, masyarakat dikejutkan dengan aksi demonstrasi siswa salah satu sekolah negeri di Kabupaten Mempawah karena terancam tidak bisa ikut tes Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2025.
Ratusan siswa juga ditemani beberapa masyarakat umum heroik meluapkan kekesalannya sembari menuntut hak-haknya di areal sekolah yang terbilang megah tersebut.
Mereka terlihat kesal akibat dugaan kelalaian pihak sekolah mengisi Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS), sontak aksi massa itupun viral dan menggemparkan jagat maya lalu menjadi buah bibir para netizen.
Yang membuat api kemarahan semakin menyala, faktor penyebab kelalaian tersebut dikait-kaitkan dengan kebiasaan pribadi salah seorang guru yang mengemban amanah terkait data tersebut kerap mengunggah konten tentang dirinya di salah satu platform sosial media.
Meskipun di penghujung, ternyata banyak sekolah di tanah air yang juga terlambat dalam finalisasi PDSS tersebut, khusus di Kalbar sebanyak 90 sekolah.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti diportal salah satu media nasional ternama per-tanggal 4 Februari 2024 mengatakan sejumlah sekolah melaporkan mengalami kesulitan saat mengunggah data PDSS karena proses penginputan data rusak (error) akibat kondisi cuaca hingga bencana alam.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Pendidikan Tinggi yang muat di portal media online per-tanggal 6 februari 2025 baru sekitar 21.003 atau 42,91 persen SLTA Sederajat di tanah air yang telah menyelesaikan finalisasi.
Dalam konteks ini, Penulis tidak ingin masuk lebih jauh ke faktor sebab akibat sehingga menimbulkan gejolak tersebut.
Penulis juga tidak bermaksud membela atau menyalahkan kedua belah pihak yang terdampak, hanya saja sangat di sayangkan kejadian tersebut bisa terjadi karena kelalaian guru sehingga menimbulkan efek kejut terhadap psikis siswa dan fatal menurut penulis meruntuhkan martabat guru.
Guru yang sejatinya adalah junjungan seketika berubah menjadi gunjingan di masyarakat, moralitas guru seakan hilang, siswa dan masyarakat yang kadung tersulut emosi semaunya meneriaki dan menghardik guru seakan masalah yang dihadapi tak ada pintu solusi.
Pahlawan tanpa tanda jasa itu terlihat tak berdaya dihakimi massa di ruang terbuka, siswa seperti lupa guru adalah pengganti orang tua, dan seperti kata pepatah ‘nila setitik rusak susu sebelanga’.
Jasa guru yang tak terhitung dan mulia seakan seketika tak ada artinya. Menurut penulis kejadian ini merupakan tragedi pilu yang mencoreng marwah dunia pendidikan.
Hidup di alam demokrasi aksi massa (people power) memang suatu kewajaran dan merupakan hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, tetapi alangkah baiknya dikomunikasikan terlebih dahulu secara tenang (mediasi) di lingkup internal, tanpa kegaduhan.
Lazimnya aksi massa (demonstrasi) dilakukan sekelompok masyarakat terhadap pemimpin politik/penguasa karena tidak puas terhadap kebijakan atau dirugikan oleh kebijakan.
Jika dari siswa kepada guru, memang tidak salah dari segi aturan tapi tidak tepat dari segi nilai/moral. Lagipula guru bukan mereka yang berwenang terhadap kebijakan tertentu, sedangkan aksi demonstrasi identik dengan mendesak lahir atau berubahnya sebuah kebijakan.
Oleh karena itu, di awal penulis berpendapat, untuk mencari solusi seperti diatas lebih tepat dan elok jika dilakukan mediasi internal tanpa hiruk pikuk yang membuat kegaduhan.
Setelah ketemu titik temu, baru kemudian negosiasikan ke pemangku kebijakan yang dalam konteks kasus diatas seperti dinas pendidikan, kepala daerah hingga kementerian pendidikan dan sebagainya.
Lebih tidak elok apalagi seandainya aksi massa dilakukan karena terprovokasi, ditunggangi lalu pihak tertentu memetik keuntungan.
Kelalaian yang Jadi Pemicu
Terkait kelalaian karena sibuk membuat konten di sosial media yang dikaitkan menjadi sumber pemicu masalah, jika itu fakta, harus menjadi catatan semua pihak terutama guru yang bersangkutan.
Era sosial media dimana konten kreator menjadi primadona sebagai profesi sampingan memang tidak bisa dipisahkan dari realitas kehidupan masa kini, bahkan dilakukan orang hampir di semua profesi.
Hal itu bernilai positif jika muatan kontennya bersifat mendidik, informatif serta bermuatan positif, misal menyampaikan informasi dan edukasi sesuai bidang/profesi yang digeluti kemudian dikemas menjadi sebuah konten, atau konten motivasi.
Yang jadi masalah jika konten yang dibuat muatannya seperti joget, konten lelucon dan sebagainya namun menggunakan atribut profesi (pakaian dinas, dsb) saat jam kerja, tentu yang demikian dapat memicu hilangnya wibawa pribadi dan profesi di hadapan khalayak ramai.
Tetapi, apapun itu semua sudah terjadi, tinggal dipetik hikmahnya untuk bekal kemudian hari, pemerintah juga sudah memberikan solusi.
Yang semula dipermasalahkan kini perlahan terurai benang merahnya, begitu pula dengan guru tinggal jadikan bahan evaluasi walaupun trauma mendalam tetap tersimpan dihati yang mungkin butuh proses untuk diobati.
Semoga dunia pendidikan kita tetap dengan wibawanya, dan adab akhlak generasi muda tetap terjaga sepanjang masa.
Utamakan Dispensasi
Dunia digital atau urusan yang bersifat online tentu mempunyai masalahnya sendiri, seperti sistem yang error, susah diakses karena kelebihan kapasitas akibat terlalu banyak yang ingin masuk ke server tersebut dan lainya bukan merupakan hal asing dalam teknologi.
Oleh karena itu kelonggaran, dispensasi tetap harus dikedepankan oleh pemangku kebijakan, selama faktor penyebab masalah bukan sesuatu perbuatan melanggar/melawan hukum.
Sesuatu yang tidak dapat terselesaikan karena sistem/teknologi tentu masih dapat dinegosiasikan di ruang nyata, disini tentunya dibutuhkan fleksibilitas dalam menerapkan aturan apalagi menyangkut hajat orang banyak dan dapat memicu kegaduhan.
Jadikan Sekolah Objek Vital
Bicara tentang guru, sepertinya tidak cukup hanya soal kesejahteraan ekonomi belaka, namun perlu formulasi yang tepat untuk menjamin dan menjaga keamanan, kenyamanan dan marwah guru sebagai pendidik dalam menjalankan tugas.
Karena semakin banyak peristiwa memilukan yang menimpa guru hingga viral seperti anarkisme/kekerasan terhadap guru, demonstrasi di lingkungan sekolah dan sebagainya.
Di satu sisi untuk bersikap tegas dalam bertugas baik itu untuk mendisiplinkan siswa apabila melakukan kesalahan, memberi nilai dan lainnya guru berhadapan dengan aturan yang sifatnya sensitif.
Menurut penulis status sekolah perlu dijadikan objek vital sama halnya seperti tempat transportasi, rumah sakit dan lainnya yang tidak boleh untuk dilakukan aksi massa.
Sehingga apabila terjadi masalah di sekolah mengedepankan asas musyawarah mufakat di internal terlebih dahulu untuk menjaga marwah guru dan martabat dunia pendidikan, tanpa serta merta siswa maupun masyarakat melakukan aksi yang dapat menjadi kegaduhan sosial.
Selain itu, tindak tegas dan hukuman berat bagi pelaku kekerasan kepada guru disaat menjalankan tugas (jam kerja) apalagi jika dilakukan oleh siswa sendiri yang ibarat anak dari guru tersebut.
Penulis: Muhammad Azmi
Follow BloggerBorneo.com @Google News