Ketika Aksi Massa Berujung Murka, Refleksi Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia
Di tengah riuh euforia bergemuruh di dada anak bangsa, bersorak sorai memperingati hari kemerdekaan, bangsa ini bak dilanda kekeringan di musim hujan.
BloggerBorneo.com – Betapa tidak, suasana syahdu refleksi 80 tahun perjalanan bangsa disaat bersamaan justru berubah pilu, seakan menjadi kado pahit, kita harus menerima bahwa situasi dan dinamika sosial politik bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.
Gelombang protes meningkat, dibarengi dengan kemarahan rakyat yang memuncak. Sementara pejabat sepertinya masih berada di persimpangan, yakni malu dengan dosanya sendiri atau sedang berhitung langkah apa yang akan diambil: mengorbankan pion atau terpaksa mendorong raja.
Ketika Aksi Massa Berujung Murka
Yang jelas sampai titik ini belum terlihat niat dan keberanian untuk berkonsolidasi dan rekonsiliasi bersama rakyat. Apa yang menjadi gugatan terhadap sekelumit kisah yang bagi rakyat adalah derita, belum ditanggapi secara jelas dan belum ditangani secara lugas.
Alhasil rakyat terus berteriak, mahasiswa yang menjadi representasi masyarakat sipil semakin tak terkendali sembari bertindak sebagai hakim jalanan, tujuan ingin membuka mata dan telinga yang mungkin sudah tertutup rapat akan hajat dan pendapat rakyat.
Seketika itu pula NKRI yang baru berulang tahun menjadi titik api, tapi bukan api lilin di kue dengan hiasan indah yang siap ditiup mesra, melainkan api kemarahan yang membakar, menjalar lalu memporak porandakan seisi negeri.
Gedung dan kendaraan hangus, penjarahan, sesama anak bangsa yaitu aparat vs rakyat saling baku hantam dengan alasan pengamanan dan perlawanan. Bahkan miris, dampak aksi massa ini sudah menelan korban jiwa.
Namun sayangnya korban adalah mereka yang tidak berdosa. Jika sudah seperti ini, lagi-lagi rakyat yang rugi karena anggaran pembangunan untuk perbaikan kerusakan.
Penguasa tetap mesra di singgasananya, dalang tetap tertawa dan aksi massa telah ternoda, kehilangan substansi dan esensi. Semoga tuntutan rakyat tidak hanya sebatas tontonan pejabat.
Pemicu Energi Kemarahan
Rakyat yang semula bersahabat, seketika berubah menjadi gladiator yang tak terbendung, itu semua bukan serta merta terjadi singkat, melainkan disebabkan akumulasi kemarahan, dan telah memuncak dibenak.
Rakyat yang semula sabar, akhirnya terpaksa menjadi bar-bar, akibat dari dendam yang telah larut dan bersemayam di alam bawah sadar.
Betapa tidak, rakyat yang selalu dihembuskan angin surga dalam setiap pergantian tahun politik, pada kenyataannya harus berjibaku menahan perihnya badai neraka dalam setiap realitas kehidupan.
Orkestra terus dimainkan secara ciamik, rakyat yang sejatinya objek utama pembangunan, dianggap sekedar penonton dan dipaksa bahagia, lalu dianggap sejahtera dalam statistik.
Hukum yang semestinya menjadi panglima pelindung kepentingan rakyat, berubah menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan, menjadi tempat kompromi kroni dan pemegang kuasa.
Satu sisi rakyat semakin menjerit karena kebutuhan ekonomi yang menghimpit, kontras dengan elit yang semakin hari semakin melejit, mencengkram kekuasaan lalu menumpuk kekayaan.
Korupsi semakin menjadi di semua ruang dan tingkatan, giliran patungan melanjutkan perjalanan negara, rakyat yang diperas dengan dengan berbagai kebijakan timpang dan merugikan.
Situasi ini berlarut, hingga puncaknya emosi tersulut, logika tak lagi bermakna, yang ada hanya ekspresi kemarahan yang membabi buta.
Akumulasi Kemarahan Ibarat Bom Waktu
Akumulasi kemarahan ini ibarat bom waktu yang meledak dahsyat mengguncang nurani anak bangsa. Hal ini diakibatkan pejabat yang di benak masyarakat dianggap kurang empati “sense of crisis” terhadap kesulitan masyarakat.
Dapat dilihat untuk saat ini masyarakat yang tengah memendam bara api kesedihan, digemparkan dengan tontonan wakil rakyat berjoget ria di ruang sidang yang mulia euforia hari kemerdekaan.
Oke, sebenarnya hal tersebut tidak salah dalam pandangan hukum, tapi tidak tepat dari sudut pandang moral, wakil rakyat gagal menjaga nurani rakyatnya dengan etika, bersenang-senang pada suasana dan tempat yang tidak tepat.
Pajak yang terus meningkat dan dibebankan kepada rakyat, sementara wakil rakyat ditanggung pajak, serta wacana naik tunjangan dan pendapatan.
Mesti demikian perjuangan yang mereka kerjakan masih jauh dari harapan rakyat yang selalu bermimpi akan kesejahteraan. Rakyat yang jengah berontak hingga satu frekuensi yakni bubarkan DPR RI.
Selain itu, kaum buruh juga berteriak menuntut upah yang layak, perlindungan kerja yang memadai dan jaminan kerja yang berpihak pada nasib masa depan rakyat, tuntutannya:
- Naikkan upah minimum,
- Hapus pajak THR dan pesangon,
- Pembatasan karyawan kontrak,
- Stop PHK,
- Pembatasan tenaga kerja asing dan
- Hilangkan omnibus law serta UU ketenagakerjaan baru.
Selanjutnya, driver ojol digilas oleh kendaraan yang dibeli menggunakan keringatnya sendiri. Akhirnya kemarahan memuncak, suasana kebatinan rakyat menangkap sinyal, negara gagal, rakyat lapar wakilnya penuh drama teatrikal.
Ini adalah tragedi absurd, menjadi sejarah baru bangsa, pejabat yang baru dipilih langsung oleh rakyat, sekejap mata dituntut untuk melepaskan mandat.
Esensi Aksi Massa
Aksi massa adalah gerakan terorganisir dengan metode mengandalkan kekuatan massa (people power) yang dilakukan sekelompok elemen masyarakat secara sadar dalam menyuarakan aspirasi, menuntut hak-haknya dan mendorong lahirnya regulasi kepada pihak yang berkepentingan dalam mengambil/membuat atau mencabut kebijakan baik itu dari unsur swasta maupun pemerintah (negara).
Aksi massa terjadi akibat adanya konflik kepentingan, yakni adanya ketidaksesuaian antara apa yang menjadi kebutuhan/keinginan orang banyak dengan ketetapan yang diberlakukan pemangku kebijakan, terutama terkait isu yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
Tan Malaka pada tahun 1926 menulis brosur tentang aksi massa dan menjelaskan hanya “satu aksi massa”, yakni satu aksi massa yang terencana, yang akan memperoleh kemenangan.
Disini, Tan Malaka membedakan “Massa Aksi” dengan Tukang Putch (anarkis) dan petualang. Aksi massa merupakan gerakan konstitusional, dijamin keberlangsungannya oleh negara sebagai wujud dari kebebasan sipil berpendapat dalam negara demokrasi.
Artinya, tujuan yang ingin dicapai dan strategi yang digunakan dalam pergerakan aksi massa harus terukur dan sistematis, tidak ambigu dan harus tepat sasaran.
Pada titik ini, peserta aksi massa harus benar-benar paham manajemen isu dan latar belakang masalah yang disuarakan secara mendalam, memahami konstruksi hukum yang menjadi landasan berpijak isu tersebut dan analisis dampak yang dimunculkan di kemudian hari (ending point).
Yang paling penting peserta aksi massa harus sadar bahwa apa yang menjadi topik aksi benar-benar merupakan kepentingan umum, dan atau demi kepentingan bangsa dan negara.
Jangan sampai aksi massa menjadi korban konflik kepentingan sekelompok orang/golongan yang berkelit kelindan dengan menunggangi aksi massa sebagai senjata politiknya.
Oleh karena itu peserta aksi massa harus bijak dan cerdas, dengan memperkaya literasi dengan banyak membaca, dan budaya diskusi.
Selain itu, aksi massa berbeda dengan anarkisme, dua sisi yang sekilas bisa dimainkan secara bersamaan namun memiliki substansi yang berbeda. Aksi massa merupakan perjuangan politik ekstra parlemen, sementara anarkisme adalah peristiwa pidana.
Disini pentingnya manajemen aksi massa yang dikonsolidasikan dengan baik untuk mengatasi hal tersebut jangan sampai terjadi, peserta aksi harus paham dan jangan mudah untuk ikut-ikutan atau terprovokasi, karena apabila aksi massa berubah menjadi kerusuhan sosial, otomatis pasti kehilangan ruh tuntutan dan kehilangan substansi dari aksi massa tersebut. (AZ)
Penulis: Muhammad Azmi (Pegiat Literasi, Kubu Raya)
Comments are closed.