Nama saya Slamet. Lengkapnya Slamet Surahmad. Saya lulusan STM mesin. Usia 45 tahun. Setiap hari berjualan di pasar. Jualan hasil bumi dan membuka toko pracangan. Sebetulnya saya juga punya bengkel.
Tapi keponakan saya yang menjalankan. Seringkali anak anak STM PKL di situ. Anak anak STM dari sekolah saya yang dulu. Ada juga dari anak STM sebelah.
Istri ada 4 orang. Cantik-cantik semua. Kunikahi saat perawan. Saya tidak mengatakan bahwa ini karena mengikuti hadits bahwa menikah itu diutamakan dengan perawan. Saya takut dianggap modus.
Walaupun belakangan saya baru tahu kalau hadits itu ada. Mungkin karena saya tidak pede menikahi janda. Saya takut bahwa suaminya yang dulu jauh lebih baik daripada saya. Dari segi lahir dan batin. Itu bisa membuatnya tersiksa. Tertekan.
Pernah ada janda mau saya nikahi. Tapi belakangan dia ‘mundur alus’. Mungkin karena melihat kondisi ekonomi saya yang tidak kaya. Mungkin dia kurang yakin. Mungkin lho ya.
Alhamdulillah rumah tangga kami aman. Anak saya total 10 orang. Tentu dari ibu yang berbeda beda.
Saya bukan orang alim. Ngaji pun biasa saja. Tidak di pondok. Jadi tidak tahu dalil-dalil poligami. Cuma tahu saja bahwa itu boleh. Ya sudah, dijalani. Hanya kadang kadang jika saya ingin pencerahan, saya tanya ustadz. Mereka menjawab sesuai ilmu yang dimiliki. Dan itu sudah cukup bagi saya.
Istri saya berasal dari berbagai strata pendidikan. Ada yang lulusan SMA, lulusan pondok, lulusan SMEA sebelah dan yang terakhir lulusan D3.
Saya menerapkan bahwa menikah itu sebaiknya sekufu. Sederajat dalam hal pendidikan. Itu penting. Agar tidak menjadi kendala di kemudian hari.
Dari keempat istriku, yang cukup panjang pertimbanganku untuk menikahinya ya yang lulusan pondok dan D3 ini. Bayangkan, lulusan pondok. Alimah walaupun bukan hafidzah. Ngajinya pakai mahraj dan tajwid yang jelas dan bersanad. Bukan ngaji ‘ndeso’ kayak saya. Lha kalau tidak difahamkan sejak awal, kasihan dia. Telinganya pasti gatel terus melihat saya ngaji belepotan.
Istri saya terakhir lulusan D3 Informatika. Ini juga berpotensi masalah. Lha saya cuma lulusan STM Mesin. Tapi alhamdulillah tidak ada masalah. Saya cukup menguasai pemrograman. MS Office di luar kepala. Urusan online juga cukup berpengalaman. Wong dulu ceritanya dia minta tolong saya membuat website. Keterusan berlanjut saya nikahi. Dari situlah maka dia walaupun Ahli Madya tetap menghormati saya sebagai lulusan STM. Apalagi setelah saya jadi suaminya.
Ekonomi saya biasa saja. Tidak kaya. Juga tidak pernah sampai tidak makan. Semua istri saya bebaskan dari pekerjaan. Karena itu tanggung jawab saya. Mungkin benar bahwa wanita itu tugasnya ‘masak, macak, manak’. Atau ada yang bilang ‘dapur, sumur, kasur’.
Tapi tentu saya tidak seperti itu. Pasti dituduh pelecehan wanita. Saya memberi kesempatan mereka berkreasi. Maka di rumah ada yang menerima jahitan, ada yang membuat jajanan dan kue, ada yang ngajari ngaji dan ada pula yang memberi les private komputer.
Saya berharap semua istri saya punya sifat:
- Alimah (Berilmu),
- Zahidah (Sederhana),
- Abidah (Ahli Ibadah),
- Murabbiyah (Pendidik),
- Khaddimah (Berkhidmad), dan
- Daiyah (Pendakwah Wanita).
Wah kok tinggi sekali harapannya. Tapi namanya berharap, berusaha dan berdoa. Tidak ada salahnya.
Keempat istri saya tinggal berdekatan. Tapi tidak satu rumah. Walaupun demikian jaraknya bisa dijangkau jalan kaki. Karena memang tidak seharusnya serumah. Setiap wanita pasti ingin punya ‘privacy’ sendiri-sendiri. Pengin ‘we time’. Maksudnya dia dengan saya tentu saja.
Oya, saya punya sebuah mobil tua. Saya beli mobil ini agak “ngrekoso” juga. Berat. Tapi harus saya beli. Kenapa? Untuk gagah gagahan? Tentu tidak.
Saya wajib memberikan kendaraan yang baik buat istri-istri saya. Minimal tidak kehujanan. Apalagi ada diantara mereka yang tidak bisa naik motor. Kalau keluar, harus bergilir tentu saja. Mobilnya satu. Tidak cukup jika keempatnya bareng.
Apa yang melatarbelakangi saya menikah banyak? Jawabnya ya sama dengan apa latar belakang orang menikah satu. Itu saja. Tidak kurang dan tidak lebih.
Saya tidak mau memakai dalil agama walaupun itu ada. Karena selain saya tidak alim, saya takut dibilang modus. Takut dibilang “memperkosa” agama demi syahwat semata. Apalagi jika orang yang benci akan membuat dalil dalil sendiri yang “aneh” demi penolakan terhadap poligami, saya jadi sedih.
Apalagi jika ada yang mengatakan poligami karena “urusan selangkangan”. Weleh kok kasar bangets. Entah apa yang merasuki……mu.
Saya orang yang alhamdulillah tidak mengumbar nafsu syahwat. Selalu menundukkan pandangan sejak kecil, tidak pernah ber-ihtilat dengan lawan jenis, tidak pernah pacaran, tidak pernah nonton film apalagi konten porno.
Jika suatu saat aku menginginkan seseorang menjadi istri, meminta persetujuan yang bersangkutan, meminang pada walinya, menikah dengan sah, berkumpul sebagai suami istri, punya anak, apakah saya salah? Dan mengumbar hawa nafsu? Entahlah.
Kalau dibilang nafsu syahwat saya besar, bisa jadi.
Kalau tidak memiliki potensi syahwat yang besar, mana mungkin bisa menafkahi 4 istri dan tidak ada satupun yang komplain. Tapi saya tidak mengumbar sembarangan. Saya menyalurkan pada jalan halal. Jalan yang diijinkan Allah. Terus apakah itu perbuatan aneh?
Berbeda lho ‘nafsu syahwat besar’ dan ‘mengumbar nafsu syahwat’.
“Besar” adalah sebuah potensi. Sedangkan mengumbar adalah membiarkan tanpa kendali.
Salahkah?
Sudah deh…. Tidak usah membahas masalah salah atau benar.
Apakah istri saya rela di ”empat”kan? Tentu ada proses. Memang dulu yang paling sulit itu meyakinkan yang no 1 saat akan mencari yang kedua. Karena memang untuk memulai itu susah. Tapi alhamdulillah dengan banyak perjuangan dan doa, ijin pun keluar juga. Selanjutnya untuk yang ketiga dan keempat jauh lebih mudah. Cuma yang jelas nafkahnya lebih berat.
Saya menikahi semua istri saya dengan jahr. Terang-terangan. Bukan siri. Semua memakai walimah. Karena walimah ini sangat ditekankan walaupun hanya menyembelih seekor kambing. Semua memakai surat KUA. Karena saya tidak ingin mempersulit kelak anak saya mencari akte kelahiran. Bukankah untuk sekolah mulai PAUD diperlukan akte sekarang?
Apakah saya adil? Ya jelas saya berusaha adil. Sekuat tenaga. Bagaimana kita akan tahu “adil tidaknya” sebelum mencoba?
Kadang hati ini tidak bisa adil. Berubah ubah. Kadang lebih condong kepada nomer 1. Kadang no 2. Kadang no 3, 4. Berubah tergantung situasi terkini. Saya jadi sedih. Jangan-jangan nanti saya mendapat hukuman akibat hati yang spontan, “uncontrollable” dan tidak bisa dibohongi.
Tetapi saya merasa plong ketika mendapat penjelasan ustadz, bahwa adil yang dituntut itu hanya urusan nafkah dan menginap. Bukan urusan hati. Karena yang membolak-balik hati adalah Allah.
Pak Ustadz yang saya sering bertanya agama sangat dalam ilmu agamanya. Urusan hukum poligami di luar kepala.
Sayangnya Pak Ustadz itu tidak (belum) poligami.
Tapi demikianlah, hidup adalah pilihan. Poligami atau tidak adalah pilihan. Yang tidak boleh adalah saling mengecam. Saling menghujat.
Apakah keluarga kami tidak pernah bertengkar?
Ya pernah lah.
Sama seperti keluarga monogami bertengkar. Kadang urusan nafkah, kadang salah faham, kadang rasa cemburu. Itu wajar. Asal ada solusi.
Istri saya no 3 pernah menumpahkan makanan di meja makan gegara saya yang seharusnya giliran bermalam di tempatnya, pulang terlalu malam. Dan celakanya, sore tadi saya masih sempat makan di istri no 2.
Karena capek saya langsung tidur. Tidak sempat makan. Maka dini hari saat mau sholat malam saya melihat makanan yang sudah disiapkan sejak sore kemarin dan tidak saya makan itu sudah numplek 180 derajad. Dan saya tahu bener siapa pelakunya.
Masuk ke kamar, saya melihat dia tenggelam dalam tangisnya di tahajud yang sunyi. Entah menangis karena ibadah atau menangis marah kepada saya, nggak jelas.
Segera saya bersihkan makanan itu. Dan aku buatkan mie godog telur rawit kesukaannya. Sambil aku buatkan dua gelas kopi susu kesukaan kami. Aku hidangkan di sebelahnya ketika dia sudah selesai sholat.
“Stop, nggak usah merayu” katanya ketus.
“Makan saja di rumah mbak Jamilah, masakannya pasti jauh lebih enak” katanya sengit.
“Wah jangan gitu, nanti adinda sakit lho, belum makan”
Saya segera menyuapinya dengan mie. Karena saya tahu kebiasaannya yang tidak akan makan sebelum saya makan. Pasti malam ini dia tidur dalam lapar. Jahadnya aku.
Walaupun dengan manyun, dia makan juga mie dari saya. Saya terus menyuap sampai habis. Biyungalah saya tidak dibagi. Padahal biasanya dia ngalah dengan saya.
“Kapok, saya makan sendiri” katanya.
“Wah iya…. Benar-benar nggak dikasih saya”
Kemudian kami minum. Walaupun ada dua gelas tapi kami terbiasa minum dalam satu gelas yang sama. Dan dia sudah melupakan nasinya yang dikebruk di meja makan tadi.
“Gimana, sekarang atau sesudah sholat subuh nih?” bisikku lirih, beberapa milimeter dari telinganya.
“Apa sih” dia melemparkan bantal itu padaku sambil tersipu.
Pernah ada kejadian yang lucu. Kedua anak kami bertengkar di ujung gang. Nggak tahu urusan apa.
Seorang tetangga memberitahuku.
Dari jauh aku dengar suaranya,
“Aku bilangkan sama ummiku” kata Zaenal.
“Aku juga akan bilangkan sama ibuku, bahwa kamu nakal. Biar kamu dicubit” kata Ali tak kalah sengit.
“Kalau begitu, aku bilangkan sama abiku” kata Zaenal lagi.
Tinggallah kini Ali yang bingung, karena abinya sama dengan abi Zaenal. Ya aku ini. Aku sampai ke tempat itu. Kedua anakku aku rangkul. Kubelikan permen di warung ning Sijah. Dalam waktu singkat mereka sudah baikan.
Keduanya aku antar ke rumah ibunya masing masing. Tapi aku tidak bisa berlama-lama di situ. Karena kebetulan hari ini aku tidak pada giliran ibunya Zaenal maupun Ali.
Aku berbahagia beristri empat. Walaupun kehidupan kami sederhana. Aku berharap semua istri berbahagia menjadi istri-istri saya. Sebagaimana pilihan dan konsekuensi yang telah mereka ambil dan putuskan bertahun silam. Berbahagia sebagaimana yang lain. Dalam naungan agama yang sempurna.
Aku ingin bersamanya sampai ajal menjemput. Dan kelak akan bisa bersama sama sampai jannah-Nya. (HMY)
Sumber:
- https://pilarbangsanews.com/2020/05/12/cerpen-istri-istriku-nikmatnya-beristri-empat/