Adanya pendidikan politik yang membangun kesadaran kritis ini akan menggerakkan segenap potensi dan energi kreatif generasi yang selama ini sudah terbukti melalui banyaknya komunitas kreatif dan gerakan kerelawanan yang memberikan solusi riil dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita sehari-hari.
Dalam setiap kesempatan perjalanan tugas menyusuri hutan, danau, sungai, laut, pantai dan pulau-pulau kecil di Kalimantan dan beberapa pelosok tanah air lainnya, selalu ada satu hal yang mengusik kalbu saya: apa lagi yang bisa disisakan kepada anak-anak saya dan generasi mereka?
Hutan semakin habis ditebang, sungai semakin kotor dan sarat polusi. Danau semakin dangkal dan keruh untuk tempat hidup dan berkembang biak bagi ikan-ikan di dalamnya.
Pantai yang indah dan di beberapa tempat jadi tempat penyu bertelur yang berguna dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut, tinggal menunggu waktu untuk menjadi pelabuhan tempat bersandar kapal-kapal besar demi alasan pembangunan ekonomi.
Pulau-pulau kecil semakin banyak yang dijarah, bahkan ada yang dikontrak/dijual pula ke pemilik modal asing. Setelah ladang minyak habis disedot, jalur gas bumi dijual dengan sangat murah ke luar negeri, dan konyolnya setelah diolah di negeri jiran, kita beli dengan harga yang berkali lipat mahalnya.
Di sisi lain, semakin banyak praktek tak sedap mengepung keseharian kita. Bertubi-tubi media mewartakan miskinnya sikap kenegarawanan para pemimpin dan politisi kita yang terus memperkaya diri, melakonkan kesombongan, kerakusan, ketamakan, seolah-olah kekayaan alam serta uang yang dipungut dari rakyat lewat pajak dan retribusi hanya milik nenek moyang mereka dan boleh mereka pakai sesuka hati mereka.
Terakhir yang kita saksikan adalah skandal mega korupsi dalam pembuatan KTP Elektronik yang merugikan negara sebesar 2,3 triliun rupiah.
Dalam banyak diskusi dengan teman sekolah, rekan-rekan di jaringan LSM, jurnalis dan kalangan kampus mengenai beragam isu strategis di Kalbar, dan dalam acara-acara silaturahim di lingkungan keluarga besar, saya menangkap kuat adanya kegelisahan, resah, kesal, kecewa, marah, dan prihatin terhadap berbagai situasi dan kondisi jalannya pembangunan dan pemerintahan, yang masih jauh dari amanah konsitusi dan cita-cita para pendiri republik ini.
Apakah ini mesti dibiarkan terus menerus? Diam adalah sebuah bentuk pembiaran. Membiarkan kezaliman dan kemungkaran menjadi sebuah kelaziman, adalah sebuah dosa besar tidak hanya dari sisi syariat agama, melainkan juga dari sisi etika sosial kehidupan kita.
Saya lalu teringat pula dengan nasehat Khalifah Ali bin Abi Thalib kepada para sahabatnya: Dosa terbesar adalah ketakutan. Rekreasi terbaik adalah bekerja. Musibah terbesar adalah keputusasaan. Keberanian terbesar adalah kesabaran.
Guru terbaik adalah pengalaman. Misteri terbesar adalah kematian. Kehormatan terbesar adalah kesetiaan. Karunia terbesar adalah anak saleh. Sumbangan terbesar adalah berpartisipasi. Modal terbesar adalah kemandirian.
Hadir dalam diskusi dengan rekan-rekan aktivis masyarakat sipil, anggota parlemen, jurnalis, penggiat industri kreatif, aktivis mahasiswa dan pemerhati isu-isu perkotaan dan pengembangan wilayah yang digagas oleh Masyarakat Independen (MI) pada Sabtu, 11 Maret 2017 di Kantin Komplek Rumah Melayu Pontianak, seolah memberikan jawaban dan formulanya atas semua kegelisahan ini.
Diskusi yang digagas MI ini menyimpulkan dan merekomendasikan bahwa harus ada gerakan bersama menyelamatkan generasi dengan cara terlibat dan mengambil peran dalam proses politik formal.
Peserta diskusi MI ini juga menegaskan keterlibatan generasi sekarang harus mengusung nilai-nilai dan cara-cara baru yang harus berbeda dari praktek politik hari ini, yang serba transaksional dan menyebabkan biaya politik menjadi sangat mahal.
Akibatnya, politik dikuasai oleh segelintir elit yang hanya memiliki kekuatan finansial, namun minim gagasan dan narasi besar oleh para politisi mengenai arah dan kualitas pembangunan daerah yang lebih berkemajuan dan berkeadilan.
Diskusi juga menegaskan bahwa nilai dan prinsip gerakan politik yang dilakukan MI harus memberikan pendidikan politik yang menjangkau masyarakat hingga ke akar rumput dan basis, memahami betul apa masalah dan kebutuhan riil masyarakat dan bersama warga memperjuangkan solusinya.
Munculnya kaum muda yang memiliki kesadaran kritis sebagai buah dari pendidikan politik yang diusulkan MI tentunya memberikan harapan dan optimisme bagi masa depan perpolitikan kita yang lebih mandiri, lebih peduli dengan persoalan-persoalan riil di masyarakat, dan ditopang oleh solidaritas sosial yang kuat.
Kita patut menaruh harapan dalam proses pemilu legislatif yang akan datang, akan muncul para caleg yang berasal dari mereka yang sudah terbukti dan teruji kemampuan mengatasi beragam masalah di lapangan dan sudah selesai dengan urusan domestik masing-masing, sehingga ketika mereka mengisi formasi di parlemen dan pemerintahan benar-benar mendahulukan dan mengutamakan kepentingan publik.
Dalam beberapa seri diskusi MI sebelumnya, saya merasakan betul kekuatan kolektif kaum muda di dalam diri para penggiat MI ini. Dalam interaksi ini saya menyimak betul betapa dahsyat semangat dan motivasi rekan-rekan di MI yang sarat energi sosial, subur dengan ide-ide kreatif.
Ideologinya juga saya suka: mandiri, berbagi, peduli. Yang makin membuat saya sangat kuat mengapresiasi adalah semangat yang militan ini tetap diikuti oleh karakter rendah hati untuk saling menguatkan di antara sesama para penggiatnya.
Nuansa dan suasana beberapa pertemuan dan diskusi di MI mengalirkan kehangatan dan keakraban yang nyaman: walaupun baru bertemu dan kenal, namun serasa sudah akrab satu dasawarsa.
Sepulang dari diskusi Sabtu kemarin, saya berketetapan hati untuk menyambut baik rekomendasi dan kesimpulan MI ini: untuk bergerak bersama, mengalirkan yang tersumbat, menggerakkan yang diam, merangkul yang masih ragu, guna mewariskan generasi yang lebih baik, lebih adil, lebih bermartabat, lebih hangat dalam pelukan kehangatan hubungan antar sesama tanpa sekat strata sosial-ekonomi, tidak alergi dengan afiliasi politik yang beragam, mensyukuri keberagaman dalam etnisitas dan keyakinan sebagai sumber inspirasi, dengan semangat saling memberdayakan dan saling menguatkan.
Ini semua dilakukan demi terwujudnya generasi yang terus menularkan spirit berbagi, tak lelah mengasah kepedulian terhadap sesama dan alam semesta raya, generasi yang tegak berdiri, mandiri di atas kakinya sendiri.
Batin saya menggelora: sikap-sikap inilah yang dulu didamba para revolusioner sejati dan dalam kisah-kisah pengikut para nabi. Tabik.
Pontianak, 19 Maret 2017
Kalimantan Regional Leader WWF-Indonesia
Peminat Kajian Sosial-Kemasyarakatan dan Pembangunan Wilayah