Setiap tanggal 10 November, Bangsa Indonesia memperingati hari pahlawan nasional untuk mengenang jasa para pejuang kemerdekaan. Sejarah singkat hari pahlawan berawal dari pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, antara pejuang Indonesia melawan tentara sekutu Inggris yang berstatus sebagai pemenang Perang Dunia II.
Perang mempertahankan kemerdekaan tersebut menjadi simbol perjuangan Indonesia karena merupakan salah satu pertempuran besar yang pernah terjadi dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia.
Hari Pahlawan 10 November
Mengingat semangat juang para pahlawan saat itu, melalui Keppres Nomor 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan dan Kota Surabaya dikenang sebagai Kota Pahlawan.
Secara terminologi pahlawan adalah mereka yang berjuang membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sederhananya, pahlawan merupakan sebutan bagi mereka yang berjasa bagi bangsa dan negara.
Atas jasa perjuangan tersebut kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh negara melalui keputusan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 20/2009.
Sedangkan secara etimologi kata pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta “phala” yang bermakna hasil, atau seseorang yang berpahala yang perbuatannya berhasil bagi kepentingan orang banyak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Berdasarkan definisi diatas, kata pahlawan tidak semata dinisbatkan kepada mereka yang berjuang pada masa kemerdekaan atau bertempur melawan penjajah. Namun memiliki arti luas yakni seseorang dengan niat tulus memperjuangkan kebenaran serta mengabdikan diri untuk memberi manfaat kepada orang lain dengan keteguhan prinsip/nilai tanpa mengharapkan imbalan.
Hal ini sejalan dengan nilai-nilai kepahlawanan yang diterbitkan media kearsipan nasional tahun 2014, bahwa pahlawan harus memiliki nilai rela berkorban, mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi, pantang mundur, cinta tanah air dan ikhlas tanpa pamrih.
Selain itu, pahlawan juga harus memiliki pengaruh terhadap tingkah laku orang lain atau pengaruh sosial yang meliputi pengaruh pada emosi (kharismatik) sehingga dapat menggerakkan orang lain, pengaruh pada pemikiran (reformis) dan pengaruh pada perilaku (teladan).
Pahlawan tidak dibatasi dimensi ruang dan waktu tertentu, kehadirannya dibutuhkan sepanjang hayat kehidupan manusia sebagai penegak kebenaran, pembeda antara haq dan batil serta penebar kebaikan.
Bahkan dalam perspektif agama nilai-nilai kepahlawanan juga dianjurkan, contohnya dalam islam Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadistnya mengatakan “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain”.
Sebuah anjuran yang mengandung arti pengabdian dan kebermanfaatan, indikator penentu derajat seseorang dimata orang lain maupun dihadapan tuhan yang maha esa. Karena seperti halnya pahlawan, seseorang yang senantiasa bermanfaat bagi sesama pasti akan bernilai sebanding dengan pengorbanannya.
Jadi kesempatan menjadi seorang pahlawan terbuka bagi siapa saja selama seseorang tersebut komitmen untuk menciptakan tatanan kehidupan yang baik, kukuh arus pemikiran dengan nilai kebenaran dan menjadi teladan yang menginspirasi orang lain.
Kita Adalah Pahlawan
Nilai kepahlawanan yang mengandung unsur perjuangan, pengorbanan dan pengabdian yang ikhlas patut ditapaki jejaknya dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Karena setiap kita pasti memiliki profesi yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam sendi kehidupan.
Tanpa kita sadari sebetulnya setiap kita juga dapat disebut pahlawan selama orientasi mengabdikan diri sesuai dengan semangat yang ditebar oleh para pahlawan.
Ciri khas utama perilaku pahlawan adalah ikhlas tanpa pamrih, melakukan perjuangan atas dasar ingin mengabdikan diri untuk orang lain, bangsa dan negara. Atau dalam islam meluruskan niat melakukan amal sholeh mengharap ridho yang maha kuasa.
Jadi tidak semata berorientasi materi belaka. Meskipun fitrah kehidupan manusia tidak bisa lepas dari materi tetapi materi bukan menjadi satu-satunya tujuan dalam mengabdi.
Jika mengulik kisah kepahlawanan tokoh bangsa masa lalu, kita menemukan bagaimana sosok KH. Ahmad Dahlan bersama sang istri rela menjual perlengkapan rumah tangga milik pribadi demi membayar gaji guru pada saat merintis Muhammadiyah.
Kesederhanaan H. Agus Salim yang hidup dirumah kontrakan bersama keluarga dan rela berjualan minyak tanah sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa rasa malu ia menjualnya dengan cara mengecer, meski pada saat itu dia sudah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan perwakilan tetap Indonesia di PBB.
Selanjutnya, Panglima Besar Jenderal Sudirman yang rela meninggalkan anak yang masih kecil, serta dalam kondisi sakit berat bertempur dalam perang gerilya dan kisah inspiratif lainnya.
Hikmah dari kisah diatas hendaknya kita merenungi prinsip hidup dan kegigihan para pahlawan pada profesi masing-masing.
Seperti contoh menjadi pendidik yang berkarakter dan menjadi teladan di masyarakat, pengusaha yang jujur, aparatur sipil dan pejabat yang amanah, aparat penegak hukum yang adil dan bersih, pelopor atau penggerak yang menciptakan karya di bidang sosial, pendidikan dan lain-lain sebagai solusi masalah kehidupan sosial masyarakat.
Tanpa semata mengharapkan hasil untuk kehidupan yang hedonistik (berfoya-foya), sehingga kehilangan arah yang dampaknya menghalalkan segala cara memanfaatkan profesi.
Pahlawan Masa Kini
Ditengah sekelumit permasalahan bangsa, Indonesia membutuhkan generasi yang bermental pahlawan meskipun negara tidak dalam darurat perang fisik.
Karena saat ini sejatinya kita sedang perang pemikiran menjaga eksistensi budaya bangsa, melawan hawa nafsu, menjaga karakter anak bangsa, perang melawan narkoba, perang melawan ketidakadilan, perang menjaga kedaulatan ekonomi atas sumber daya alam dan perang melawan korupsi.
Untuk itu dibutuhkan pahlawan masa kini sebagai penyelamat atau win-win solusi. Yakni mereka yang sanggup bekerja dengan niat untuk kemajuan bangsa, mampu mengelola hawa nafsu dan memiliki prinsip yang teguh untuk tunduk pada aturan hukum.
Semua itu tentunya harus dimulai pada diri setiap individu masing-masing yang dipupuk dengan rasa tanggung jawab kepada tuhan yang maha esa atau takut dosa yang kelak pasti akan dipertanggungjawabkan.
Penulis: Muhammad Azmi (Guru SMP Negeri 3 Parindu, Kab. Sanggau)
Comments are closed.