Video itu berada di posisi paling atas timeline, saat aku baru saja membuka akun fb. ‘Start di Line 8, Finish Nomor Satu’. Begitu capture yang ditulis oleh si pengunggah video.
Awalnya aku agak malas mengklik video tersebut karena mood lagi buruk setelah mengetahui Timnas Indonesia U-19 kalah adu pinalti melawan Malaysia, di Semifinal AFF U-19. “Ah, selalu Malaysia jadi mimpi buruk Timnas Garuda!” Aku menggerutu. “Di Final Piala AFF 2010 kalah sama Malaysia. Sea Games 2011, kalah lagi sama Malaysia.” Tapi karena rasa penasaran, akhirnya ku-klik juga video tersebut.
Ternyata video itu menayangkan hasil dari Kejuaraan Dunia Lari 100 meter U-20, di Finlandia. Yang menarik, satu dari delapan peserta lomba, berasal dari Indonesia. Pemuda itu mengenakan kostum lari warna putih dan celana merah. Di dadanya tertulis; M. Zohri.
M. Zohri berada di line nomor 8. Paling ujung, sebelah kanan. Setahuku, dalam olahraga sprint, line 8 bukanlah line favorit juara. Bisa dibilang, itu adalah lintasan bagi peserta non-unggulan. Sisi tengah-lah yang menjadi lintasan peserta favorit juara. Usain Bolt, pelari tercepat dari Jamaika, selalu ditempatkan di line tengah saat berlomba.
Apa keuntungannya?
Peserta yang berada di lintasan tengah, akan bisa melirik lawan kanan-kirinya. Jadi dia bisa mengukur seberapa cepat lawan berlari. Pun, bidikan kamera, biasanya akan tertuju pada pelari di lintasan tengah. Peserta favorit gitu, loh. Dan di perlombaan yang diikuti M. Zohri itu, lintasan tengah diisi oleh duo sprinter asal Amerika Serikat; Anthony Schwartz dan Eric Harrison. Dua pelari inilah unggulannya.
Maka, ketika letusan pistol berbunyi tanda lomba dimulai, tak ada yang menyangka bahwa M. Zohri, melesat di sisi paling kanan lintasan. Berlari sejajar dengan peserta unggulan. Bahkan dua komentator baru menyebut nama M. Zohri saat seluruh peserta hampir menyentuh garis finish.
Hingga … Saat garis finish berhasil dilewati para sprinter dengan waktu hampir bersamaan, kudengar salah satu komentator berucap dengan nada ragu,
“I think Zohri take the first place.”
Seluruh peserta menatap layar di sisi stadion, menanti pengumuman. Nafas mereka tersengal. Satu-dua terlihat memegangi lutut.
Sampai, sekitar sepuluh detik kemudian, layar pengumuman menempatkan nama M. Zohri di urutan teratas. Seketika M. Zohri berlari dengan senyum merekah. Sampai pada satu titik, di tengah lintasan itu dia bersujud syukur. Kamera wartawan mengabadikan momen saat Zohri meletakkan kening di tanah. Selebrasi yang sangat jarang terlihat di kejuaraan atletik.
“Oh, surprise! Zohri is the new world champions.” Komentator laki-laki berteriak semangat.
Komentator satu lagi, perempuan, menimpali tak kalah semangat, “Incredible! Him start in line eight.”
Kamera lalu berganti menyuting Anthony Schwartz dan Eric Harrison. Nampak jelas dari mimik wajah duo pelari asal Negeri Paman Sam, bahwa mereka tak percaya hal ini terjadi. Pelari unggulan dikalahkan oleh pelari di lintasan paling ujung. Mereka geleng-geleng kepala. Seperti mimpi saja, tak menyangka mereka hanya mampu menempati juara kedua dan ketiga saja.
Setelah itu, di layar handphone, kulihat Anthony Schwartz dan Eric Harrison berlari di sisi lapangan dan mengambil bendera Amerika Serikat yang diberikan oleh crew, masing-masing satu. Kemudian mereka berfoto dengan membentangkan bendera tersebut. Sedangkan sang juara, M. Zohri, berlari ke arah penonton, sendirian, dia terlihat kebingungan berlari di sisi –yang nanti aku tahu bahwa ternyata dia bingung mencari bendera merah putih untuk dibentangkan di punggungnya–.
Tak ada yang memberinya sang saka merah putih. Sampai saat wartawan memanggilnya untuk berfoto bersama juara kedua dan ketiga, M. Zohri tak memegang bendera tanah airnya. Pemuda hitam manis itu akhirnya berfoto di tengah. Tanpa bendera. Diapit oleh dua pelari yang membentangkan bendera Amerika Serikat.
Entah, mengapa tak ada bendera Indonesia yang disiapkan panitia untuk selebrasi kemenangan M. Zohri? Tapi besar kemungkinan, panitia tidak menduga bahwa kejuaraan ini akan dimenangkan oleh pelari asal Indonesia.
Aku menatap layar handphone sambil tersenyum.
“Mirip seperti yang dialami Rio Haryanto,” aku bergumam.
Ya, hal serupa pernah dialami Rio Haryanto. Mantan pembalap F1 asal Solo itu pernah berkisah: Dulu, saat race GP3 seri kedua di Turki tahun 2010, secara mengejutkan Rio Haryanto menjadi juara. Sebagaimana adat perayaan juara, panitia akan mengibarkan bendera negara dan memutar lagu kebangsaan asal pembalap yang finish di posisi pertama.
Anehnya, saat Rio Haryanto sudah naik podium, bendera Indonesia belum terpasang. Lagu Indonesia pun tak berkumandang. Lama sekali Rio menunggu prosesi perayaan kemenangannya.
Usut punya usut, ternyata panitia lomba tidak menyiapkan bendera Indonesia, juga tidak punya file lagu Indonesia Raya. Mereka tidak mengira ada pembalap Indonesia yang akan menjuarai balapan. Akhirnya, setelah lama dalam kebingungan, panitia terpaksa meminjam bendera pembalap asal Polandia (Putih-Merah), lalu membaliknya menjadi bendera Indonesia (Merah-Putih). Sedangkan untuk urusan lagu kebangsaan, panitia langsung download lagu Indonesia Raya lewat Youtube saat itu juga.
Beginilah rasanya jadi ‘Juara yang Tak Dirindukan’.
Kembali kutatap layar. Setelah beberapa lama, akhirnya M. Zohri mendapatkan sang saka merah putih. Entah dari mana. Lalu dengan wajah penuh kebahagiaan, M. Zohri berlari kembali menuju tengah lintasan dan mengangkat tinggi-tinggi bendera tersebut. Tak ada tepuk tangan meriah yang ia terima dari penonton. Tapi pemuda 18 tahun asal Lombok, NTB, itu nampak tak peduli. Terus berlari mengelilingi stadion Tampere, Finlandia, sambil mengibarkan Merah Putih.
“Ah, jadi penasaran sama pahlawan satu ini.”
Segera kubuka Google, memasukkan kata ‘M. Zohri Pelari’ di kolom search. Klik.
Aku tak bisa menahan rasa haru kala mendapati bahwa M. Zohri adalah anak yatim piatu. Ibunya meninggal saat ia masih SD, dan Ayahnya meninggal dunia setahun lalu, persis ketika ia sedang melakukan pemusatan latihan untuk menghadapai salah satu kejuaraan. Dengan berat hati, M. Zohri izin mengundurkan diri dari kejuaraan demi melihat jasad sang Ayah untuk terakhir kali.
Dan seketika aku terhenyak melihat tempat tinggal M. Zohri di Lombok. Hunian itu lebih pantas dikatakan gubuk daripada rumah. Lantainya hanya tanah, sedangkan dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Nampak dinding itu berlubang di sana-sini. Bahkan di beberapa sisi dinding ditutup pakai koran bekas. Atapnya banyak yang bolong.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana bila hujan lebat menghantam rumah tersebut? Kita juga akan miris melihat tempat tidurnya. Cuma dipan beralaskan tikar, tanpa kasur empuk. Kalau ada barang yang dianggap mewah, mungkin hanya lemari tak berpintu yang teronggok di sisi rumah. Berisi beberapa pakaian milik M. Zohri. Benar-benar memprihatinkan.
Di sana, di stadion Tampere, Finlandia, M. Zohri berlari dengan wajah kebingungan, mencari bendera merah putih untuk ia kibarkan tinggi-tinggi. Membuktikan pada dunia, bahwa negara ini ada. Negara ini layak diperhitungkan.
Sedangkan kami di sini, terpisah sepuluh ribu kilometer jarak darinya, belum juga berhenti saling sikut, saling olok, lantaran berbeda pandangan politik.
Di sana, dengan usia yang masih belia, 18 tahun, M. Zohri telah mampu mengharumkan nama bangsa. Benar-benar mengharumkan nama bangsa dalam makna sebenarnya.
Sedangkan kami di sini, yang lahir jauh lebih awal darinya, masih sibuk mainan tik-tok, bergaya aneh sambil diiringi lagu, “Emang lagi manjah, lagi pengen dimanjah, pengen berduaan dengan dirimu sajaaa… Emang lagi syantik, tapi bukan sok syantik. Syantik-Syantik gini hanya untuk dirimuuuu…!!!”
***
Surabaya, 13 Juli 2018
NB:
Terimakasih M. Zohri. Prestasimu bagai air dingin, membasahi tenggorokan yang lama dalam kehausan. Ada doa kami di setiap jengkal larimu. Maka, teruslah berprestasi. Demi kami. Demi negeri tercinta ini.