Selamat Tinggal Koran? Nasib Media Cetak di Tengah Gempuran Era Digital

Ulasan menarik tentang nasib media cetak di tengah dominasi media digital. Apakah koran akan punah? Simak tren, data, dan perubahan perilaku pembaca di era internet.

Image: Chat GPT

Workshop Digital Marketing untuk Lembaga Pendidikan 2024

BloggerBorneo.com – Pernahkah Anda menghitung, kapan terakhir kali menyentuh lembaran koran atau tabloid berita? Kalau Anda lahir di era 1980-an atau awal 90-an, mungkin masih punya kenangan membaca berita sambil menyeruput kopi pagi.

Tapi kini, mayoritas dari kita lebih sering mengandalkan ponsel atau laptop untuk membuka situs seperti Detik.com, Kompas.com, CNBC Indonesia, hingga Tirto.id — semua hanya sejauh jangkauan jari.

Nasib Media Cetak di Era Digital

Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara kita mengonsumsi informasi. Dari grup WhatsApp yang ramai dengan tautan berita (yang kadang clickbait), hingga feed Instagram dan Facebook yang menyuguhkan potongan headline menggoda — kita dihadapkan pada tsunami informasi.

Namun, di balik kemudahan itu, hadir pula tantangan untuk memilah: mana berita asli, mana hoaks, mana gosip tanpa dasar, dan mana fakta yang bisa dipercaya.

Ramalan yang Semakin Mendekati Kenyataan

Seorang penulis dan jurnalis ternama, Phillip Meyer, dalam bukunya The Vanishing Newspaper, pernah meramalkan bahwa koran cetak terakhir akan terbit pada April 2040.

Ramalan ini tidak muncul begitu saja — ia melihat tanda-tanda awal dari migrasi besar-besaran dunia berita ke ranah digital, dan fakta bahwa publik kini lebih memilih informasi yang cepat, praktis, dan real-time.

Dulu, membaca surat kabar adalah rutinitas pagi yang dilakukan hampir semua kalangan. Informasi nasional, daerah, hingga lowongan kerja bisa ditemukan di sana.

Bahkan rubrik iklan menjadi tempat yang strategis untuk menjual barang atau mencari jasa. Namun, kini era itu telah tergantikan oleh marketplace digital dan platform online yang jauh lebih instan dan interaktif.

Sebagai contoh, saat menjual atau menyewakan properti, memasang iklan di marketplace online kini jauh lebih efektif. Asalkan judul menarik, foto berkualitas, dan informasi lengkap, respons bisa datang dalam hitungan menit.

Dalam satu jam, bisa saja ada puluhan klik, belasan penawar, dan satu yang benar-benar serius hingga terjadi transaksi. Cepat, murah, dan efisien — tiga kata kunci yang menjadi mimpi buruk bagi bisnis media cetak.

Generasi Internet: Informasi di Ujung Jari

Sejak internet hadir dan perlahan merambah ke setiap sudut kehidupan, semuanya berubah. Munculnya komputer, smartphone, dan gadget lainnya bukan hanya merevolusi cara komunikasi, tetapi juga cara kita mengakses informasi. Tidak lagi terbatas pada halaman kertas, berita kini melompat keluar dari layar dalam sekejap.

Ribuan media cetak di seluruh dunia mulai bertransformasi menjadi media digital. Awalnya, mereka mencoba mempertahankan dua kaki: satu di dunia cetak, satu di dunia digital. Tapi kenyataan berkata lain.

Persaingan ketat, biaya produksi tinggi, serta perubahan perilaku pembaca membuat banyak dari mereka harus melepaskan edisi cetaknya.

Di Pontianak, misalnya, siapa yang masih rutin membaca Pontianak Post, Tribun Pontianak, atau Suara Pemred dalam bentuk fisik?

Bahkan Equator dan Borneo Tribun telah lebih dulu undur diri. Oplah turun drastis, iklan cetak berkurang, dan pembaca beralih ke versi digital atau sosial media.

Angka Tak Pernah Bohong

Sebuah survei dari Nielsen Media Research menunjukkan bahwa sejak 2005 hingga kuartal III 2009, konsumsi koran di sembilan kota besar di Indonesia menurun drastis dari 28% menjadi hanya 18%.

Konsumsi majalah dan tabloid juga mengalami penurunan tajam. Data ini menjadi cermin nyata betapa sulitnya media cetak bertahan di era digital.

Dan tren itu terus berlanjut. Di tahun 2025 ini, bisa jadi hanya sekitar 10% masyarakat yang masih membaca koran fisik. Sementara sisanya — 90% — beralih ke berita digital melalui smartphone, tablet, dan komputer.

Bahkan anak-anak usia 10 tahun sudah mulai mengakses berita online, dan generasi muda usia 15-19 tahun menjadi pengguna internet paling aktif.

Dua Sisi Mata Uang

Tentu, media cetak dan digital masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Media cetak punya keunggulan dalam sisi kredibilitas dan keterbatasan distribusi informasi (sehingga lebih mudah dikendalikan dan tidak mudah dipalsukan).

Tapi mereka juga tertinggal dalam kecepatan, biaya produksi, dan jangkauan pembaca.

Sebaliknya, media digital memungkinkan berita disampaikan secara instan, biaya lebih murah, dan jangkauannya global.

Tapi ancamannya adalah banjir informasi tanpa filter, penyebaran hoaks, serta hilangnya akurasi dan kualitas jurnalisme yang selama ini dijaga ketat oleh media cetak.

Akankah Media Cetak Benar-Benar Punah?

Pertanyaan besarnya adalah: apakah media cetak akan benar-benar punah?

Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi satu hal yang pasti: mereka harus beradaptasi. Perubahan adalah keniscayaan, dan sejarah membuktikan bahwa yang mampu bertahan bukanlah yang paling kuat, tetapi yang paling adaptif.

Idealnya, media cetak dan digital bisa saling melengkapi. Media cetak tetap hadir untuk segmen khusus yang lebih menyukai bentuk fisik dan menikmati ritual membaca secara perlahan. Sementara media digital melayani kehausan informasi yang cepat dan dinamis dari generasi sekarang.

Membaca, Bukan Sekadar Mengkonsumsi

Baik dalam bentuk cetak maupun digital, harapan kita tetap sama — informasi yang disajikan harus memberikan dampak positif, mendidik, dan mencerdaskan. Karena membaca seharusnya bukan sekadar mengonsumsi, melainkan juga mengolah dan memahami.

Mungkin suatu hari nanti, suara lembaran koran yang dibuka akan tinggal kenangan. Tapi semangat jurnalisme yang jujur, tajam, dan mendalam — semoga tetap abadi, dalam bentuk apa pun ia hadir. (DW)

Artikel Lainnya

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

error: Content is protected !!