One Piece Kita: Berlayar Bersama Republik Tanpa Penindasan

“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa… dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” - Pembukaan UUD 1945

Image: antaranews.com

BloggerBorneo.com – Di tengah deru zaman dan kabut ketidakpastian, generasi muda hari ini tumbuh bersama berbagai narasi populer: dari dongeng, komik, hingga anime.

Salah satunya adalah One Piece, kisah bajak laut fiksi karya Eiichiro Oda yang telah memikat hati jutaan orang di seluruh dunia.

Namun siapa sangka, di balik petualangan Monkey D. Luffy dan kru Topi Jeraminya, tersimpan nilai-nilai perjuangan yang sejatinya tak jauh dari semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan cita luhur berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Apa itu “One Piece” kita? Ia bukan sekadar harta karun, melainkan sebuah republik yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur—sebagaimana dicita-citakan oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan para pendiri bangsa.

Luffy tidak berlayar demi menaklukkan dunia. Ia berlayar untuk bebas. Baginya, menjadi Raja Bajak Laut berarti menjadi orang paling bebas di dunia.

Bukankah kebebasan yang dicari Luffy adalah refleksi dari semangat Proklamasi: kemerdekaan sebagai hak asasi, bukan belas kasihan dari kekuasaan.

Sebagaimana diungkap Bung Hatta dalam pidatonya, “Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi syarat untuk menjadi manusia seutuhnya”.

Kebebasan bagi Luffy tidak egoistik.

Ia memperjuangkan pula kemerdekaan orang lain: membebaskan penduduk Skypiea dari diktator Enel, membongkar tirani Enies Lobby, hingga menggulingkan kekuasaan korup Doflamingo di Dressrosa.

Ini sejalan dengan amanat UUD 1945 untuk menolak segala bentuk penjajahan dan penindasan.
Straw Hat Pirates adalah miniatur Indonesia: Nami si navigator cerdas, Zoro si samurai setia, Sanji si koki elegan, Chopper si dokter dari ras rusa, hingga Jinbe si manusia ikan.

Mereka berbeda latar, ras, dan keyakinan, namun bersatu dalam satu tekad: menjelajahi dunia dan menjaga satu sama lain.

Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah berkata, “Kebangsaan kita tak cukup disatukan oleh bendera, tapi oleh cinta dan kepedulian.”

Di atas kapal Thousand Sunny, cinta itu nyata. Bukan karena kesamaan, tapi karena komitmen untuk tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Seperti Indonesia, jika kapal ini ingin sampai ke tujuan, semua awak harus dihargai dan diberi ruang untuk berlayar bersama.

Dari awal hingga akhir, Luffy tidak pernah berkompromi dengan tirani. Ia melawan Pemerintah Dunia, Tenryuubito (bangsawan langit), dan para Shichibukai karena mereka mewakili sistem yang korup dan menindas.

Dalam konteks Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, dua proklamator kita dan para pendiri bangsa lainnya, juga melawan kekuasaan kolonial bukan karena benci bangsa lain, tapi karena cinta terhadap martabat manusia.

Bung Karno pernah menegaskan:

“Perjuangan melawan penjajahan adalah perjuangan melawan dehumanisasi.” Akademisi seperti Rocky Gerung menyebut Luffy sebagai “figur anti-oligarki yang konsisten: ia tidak tergoda menjadi bagian dari kekuasaan.” Ia menolak menjadi “penguasa” dan lebih memilih menjadi “pemimpin” — perbedaan yang besar dalam dunia yang dikendalikan elit.

Luffy juga tidak pernah memerintah dengan kekerasan. Ia justru dipercaya, dihormati, dan bahkan dipertaruhkan nyawanya oleh para kru karena ia setia, jujur, dan berani bertanggung jawab.

Sastrawan terkenal kita, Goenawan Mohamad pernah menulis: “Pemimpin besar bukan yang mengendalikan, tapi yang memberi ruang dan inspirasi.”

Ini kontras dengan banyak realitas hari ini, di mana kekuasaan sering dijadikan alat dominasi. Dalam semangat Proklamasi dan Pancasila, pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan penguasa atas rakyat.

Seperti Grand Line yang penuh badai, Indonesia pun menempuh perjalanan panjang menuju masyarakat adil dan makmur.

Dalam One Piece, setiap pulau yang disinggahi Luffy punya kisah sendiri: penderitaan, perlawanan, dan harapan. Begitu pula Indonesia: dari Aceh hingga Papua, setiap daerah punya “kisah” yang menanti untuk didengar dan disembuhkan.

Sejarawan Anhar Gonggong menegaskan, “Kemerdekaan bukan produk akhir, tetapi proses panjang yang terus diperjuangkan.” Maka jangan heran jika cita-cita Proklamasi belum sepenuhnya tercapai.

Tugas kita hari ini adalah meneruskan pelayaran, bukan menyerah pada apatisme.

One Piece bukan benda. Ia adalah ide, nilai, dan tujuan mulia. Dalam konteks kita berbangsa dan bernegara, ia adalah republik yang adil, bebas dari tirani, merdeka dalam pikiran dan perut, serta makmur tanpa ketimpangan.

Kita semua adalah awak kapal besar bernama Indonesia. Tak ada Luffy tunggal yang menyelamatkan.

Kita sendiri yang harus menjadi Luffy bagi sesama.

Bung Karno pernah mengingatkan, “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba…”

Tapi selama kita tidak berhenti berlayar, selama ada gotong royong dan keberanian moral, maka “One Piece” itu akan kita temukan — bukan di ujung dunia, tapi di dalam republik yang kita bangun bersama.
Indonesia adalah kapal besar.

Kita semua adalah awaknya. Tak perlu seragam, cukup setia dan tak saling meninggalkan. Seperti kru Topi Jerami, kita berlayar menuju cita-cita bersama: republik yang adil, merdeka, dan tak tertindas.

Karena One Piece itu bukan khayalan — itu masa depan yang bisa kita rebut, jika kita berani terus berlayar. (HP)

Artikel Lainnya

Comments are closed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

error: Content is protected !!