Perintis vs Pewaris, Ryu Kintaro Membuat Kedua Kata Ini Menjadi Perdebatan

Ketika video Ryu Kintaro, content creator berusia 10 tahun yang membicarakan tentang enaknya menjadi “perintis” itu viral, tak butuh waktu lama bagi orang-orang untuk ngecengin dia.

Image: facebook.com/AgusMagelangan

BloggerBorneo.com –  Setelah itu, videonya dipotong di mana-mana dan dijadikan sebagai bahan video meme dan di-react sebegitu rupa.

Perdebatan soal perintis vs pewaris menjadi sangat ramai.

Sebenarnya, agak susah mendefinisikan apa itu perintis dan apa itu pewaris dalam konteks rangkaian perdebatan terkait hal ini, sebab memang standar yang dipakai orang-orang akan selalu berbeda.

Btw, tolong buat yang pengin mengoreksi istilah pewaris agar minggir dulu. Iya, saya paham bahwa pewaris itu artinya mereka yang memberi warisan, sedangkan yang mendapat warisan itu namanya ahli waris, tapi saya sedang tidak ingin membahas itu.

Silakan kalian mlipir saja ke postingan berita berjudul “Lerai Perkelahian, Polisi di Sambas Kena Sabetan Samurai”, lalu kalian komentari “Samurai itu sebutan prajuritnya, kalau pedangnya namanya katana”)

Orang, semiskin apa pun, selama masih disekolahkan oleh orangtuanya, katanya belum layak disebut sebagai perintis.

Sementara anak orang tajir-melintir, selama ia membuka usaha dengan modal dari duit yang ia cari sendiri, bukan dari orang tuanya, ia merasa berhak untuk tidak disebut sebagai pewaris.

Perdebatan tentang siapa perintis dan siapa pewaris akan susah menemukan titik temunya.

Namun, memang harus ada batas yang jelas, dan bagi saya, batas paling ideal untuk membedakan perintis dan pewaris adalah satu hal: jaring pengaman.

Jaring pengaman ini bisa berupa banyak hal: ya uang, ya modal sosial, ya akses dan privilege keluarga.

Singkatnya, ketika seseorang membuka sebuah sebuah bisnis, dan tidak ada yang menjamin kehidupannya seandainya bisnisnya gagal, maka ia layak disebut perintis.

Sebaliknya, ketika seseorang membuka bisnis, dan ketika bisnisnya gagal, ada keluarganya yang siap memberikan suntikan dana, ada nama besar bapak dan ibunya yang akan membuatnya sangat mudah diterima seandainya ia melamar kerja, ada akses koneksi keluarganya yang memungkinkan dia untuk membuka bisnis lain dengan start yang lebih mapan, maka dia adalah pewaris, sungguhpun dia memulai bisnisnya dengan modal dari uangnya sendiri.

Kita boleh saja menyederhanakan batas dua hal ini menjadi miskin dan kaya, walau sejujurnya, saya tidak terlalu cocok.

Saya lebih cocok menyebutnya sebagai “balungan gedhe” dan “balungan cilik”, sayangnya saya tidak bisa menemukan padanan istilah ini dalam bahasa Indonesia, jadi saya sederhanakan saja menjadi miskin dan kaya.

Jaring pengaman tadi punya konsekuensi terhadap risiko bisnis yang sedang dirintis.

Orang miskin punya risiko tinggi saat membuka bisnis, sebab saat bisnisnya gagal, itu adalah jenis kegagalan total, sebab bisa jadi, modal yang ia gunakan adalah semua uang yang ia punya (yang mungkin sudah ia tabung bertahun-tahun), sebaliknya, orang kaya, pewaris, yang punya jaring pengaman, ia tak punya risiko sebesar itu.

Ketika satu bisnisnya gagal, itu hanya trial and error belaka, sebab jaring pengaman yang menyertainya memungkinkan dia untuk punya banyak kesempatan mencoba bisnis lainnya.

Lantas, di posisi mana Ryu Kintaro? Ini hal yang sangat mudah dijawab. Sangat jelas, dia adalah pewaris.

Dia orang kaya. Dia punya jaring pengaman yang kuat. Untuk sekelas Ryu bahkan sudah tidak layak disebut sebagai jaring pengaman, melainkan sudah selevel terpal pengaman.

Ryu Kintaro adalah anak dari Christoper Sebastion, CEO Makko Group. Kalian bisa cari tahu sendiri, sebesar apa orangtua Ryu.

Perlu diakui, Ryu adalah anak yang cerdas. Di usianya yang bahkan belum genap sepuluh tahun, dia sudah paham tentang perencanaan keuangan, dia sudah paham konsep manajemen bisnis.

Singkatnya, dia menggunakan akses pengetahuan dari keluarganya dengan sangat baik. Tidak banyak anak kecil seusianya yang bisa punya pemikiran seperti dia, bahkan walau orangtuanya sama-sama kaya.

Namun, sekali lagi, itu tak mengubah fakta bahwa dia seorang pewaris.

Benar bahwa ia mengklaim memulai usahanya dengan modal yang ia dapat dari adsense Youtube dan endorse. Namun seperti yang sudah saya bilang di awal, ia punya terpal pengaman yang sangat solid.

Lagipula, banyak video Ryu yang viewsnya banyak itu adalah video soal kekayaan: jualan ricebowl dan susu tapi pakai Lexus, tidur berbantal tumpukan duit, bagi-bagi hadiah, sidak pabrik garmen milik orangtuanya, dll.

Hal-hal itulah yang membuat dirinya sebenarnya tidak punya legitimasi untuk berbicara seolah ia seorang perintis. Ketika seorang “pewaris” mencoba menjadi “perintis”, ada ketidakpantasan di sana.

Saat Ryu “dihajar” di media sosial setelah video wawancaranya itu viral, banyak yang mengatakan bahwa mereka para pembully Ryu sebenarnya hanya iri. Sebagian lain mengatakan bahwa orang-orang memang punya kecenderungan untuk membenci orang kaya.

Saya tidak sepakat dengan hal itu, menurut saya lebih tepat jika mengatakan orang-orang bukannya iri atau membenci orang kaya, melainkan membenci mereka yang tidak menempatkan diri pada posisinya, sebab “kebencian” jenis itu juga bisa muncul kepada orang miskin yang berlagak seperti orang kaya.

(Kita membenci perempuan miskin yang selalu ingin dijemput pakai mobil, juga membenci lelaki kere tetapi rokoknya kenceng dan doyan ngeslot. Akui saja.)

Sejujurnya, saya bisa memahami kemangkelan orang-orang pada apa yang diucapkan oleh Ryu, walau sebenarnya agak tak pantas juga kemangkelan itu ditujukan kepada anak berusia 10 tahun.

Status “perintis” bagi banyak orang miskin tanpa privilege dan tanpa jaring pengaman adalah satu-satunya kebanggaan hidup yang mungkin masih mereka miliki.

Kebanggaan itu seringkali dipendam, sangat lama, sebab memang belum layak dipamerkan jika mereka belum sukses.

Pada kemungkinan terburuk, kebanggaan berwujud “status sebagai perintis” itu bahkan hanya akan terkubur begitu saja tanpa pernah bisa dipamerkan sebab kesuksesan yang dinantikan ternyata tak kunjung datang walau sudah diusahakan sampai berdarah-darah dan terberak-berak.

Orang miskin, dengan segala kepayahannya, pertaruhan hidup-matinya, kelaparannya, kehinaan sosialnya, selalu punya mimpi untuk bisa sukses kelak entah kapan.

Kesuksesan yang akan “marem” untuk ia banggakan sebab ia seorang perintis. Diakui sebagai from zero to hero.

Dan pengakuan itu adalah hak prerogatif untuk mereka orang sukses yang memang pernah miskin. Bukan orang sukses yang mengaku pernah miskin.

Singkatnya, status perintis adalah “kemewahan” yang masih tersisa pada mereka orang-orang yang memang benar-benar miskin.

Masuk akal jika netizen, yang memang sebagian besar miskin, marah besar saat satu-satunya kemewahan yang mereka miliki itu masih saja diganggu dan diklaim oleh orang yang tidak “berhak” memilikinya.

Mungkin ini agak konyol, tetapi berkaca dari kehebohan soal Ryu ini, tampaknya memang sebaiknya orang-orang kaya, atau setidaknya orang yang belum pernah merasakan hidup miskin, jangan terlalu hobi mengaku miskin hanya untuk membumbui cerita kesuksesannya.

Saya paham bahwa kisah kesuksesan tanpa dibumbui cerita kemiskinan dan keterpurukan akan terasa kurang dramatis dan kurang heroik.

Namun, tak bisakah merelakan heroisme itu untuk mereka orang-orang miskin yang sukses, yang memang lebih pantas mendapatkannya? Anggap saja itu harga yang harus dibayar untuk tidak tidak perlu merasakan kepayahan karena kemiskinan.

Selamanya, para perintis miskin yang berhasil sukses akan selalu layak mendapatkan apresiasi yang jauh lebih besar ketimbang orang kaya yang sukses.

Tidak elok jika kita memberikan apresiasi yang sama terhadap dua pemain Winning Eleven yang sama-sama menyelesaikan Master League, ketika pemain pertama mengawali musim memakai Real Madrid era Los Galacticos dengan pemain-pemain dahsyat seperti Zidane, Figo, Beckham, Raul, sampai Ronaldo, sementara pemain kedua mengawali musimnya menggunakan Mertoyudan FC dengan pemain-pemain antah-berantah seperti Espimas, Ximeles, Ordaz, Minanda, dan Castolo.

Dan itulah salah satu bentuk keadilan kepantasan.

Penulis: Agus Mulyadi

Artikel Lainnya

Comments are closed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

error: Content is protected !!