Pontianak Bukan “Kuntilanak” Bagian 1
Jika seseorang tak paham bumi itu bulat, dia akan katakan bahwa bumi itu datar. Sama macam semut bersikeras bahwa dia berjalan di sebuah dataran yang dia tak paham bahwa pijakannya adalah bola.
“Kita serius. Lokasinya sedang kami survei,” katanya kepada sejumlah awak media di Kantor Gubernur Kalbar, Senin – 16 Januari 2017. Kartius berkeinginan Tugu Kuntilanak dibangun di tepian Sungai Kapuas dekat Jembatan Kapuas I. “Kita bikin menara setinggi 100 meter. Jadi wisatawan bisa melihat Kota Pontianak dari atas, tidak perlu keliling-keliling”, Ujar Kartius. (Rakyat Kalbar, Selasa – 17 Januari 2017).
Kata kawan saya Tengku M. Dhani Iqbal (dari Langkat), kosmologi itu luas, kalau seseorang tak paham bumi itu bulat, dia akan katakan bahwa bumi itu datar. Sama macam semut bersikeras bahwa dia berjalan di sebuah dataran yang dia tak paham bahwa pijakannya adalah bola. Pramoedya Ananta Toer berkata sejalan; “semakin sedikit pengetahuan seseorang terhadap suatu realitas, maka semakin banyaklah mitos yang mengisi kesadarannya akan realitas itu.” Saya kira kalimat itu jika dianalogikan mungkin relevan dengan pemberitaan atau issue santer sepekan ini tentang Kartius, Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (DISPORAPAR) Provinsi Kalimantan Barat, yang “ngotot” ingin membangun “Patung Kuntilanak” di Kota Pontianak.
Menurut saya, ide atau gagasan membangun Patung Kuntilanak di Kota Pontianak ini sungguh gila. Interpretasi “Pontianak” di Kota ini jelas bukan hantu kuntilanak seperti mitos atau cerita rakyat di Indonesia. Barangkali memang di Negara tetangga kita Malaysia, kosakata “Pontianak” dijadikan persamaan untuk menyebut “Kuntilanak” di Indonesia. Terurai dengan penjelasan bahwa ia sebagai sosok seorang hantu perempuan, berambut panjang, dengan punggung bolong dan bersimbah darah atau kepala terpaku, atau sebagai macam lainnya. Entahlah, bagaimana sosok sebenarnya.
Namun cerita itu hanya mitos atau tahayul, saya tegaskan sekali lagi, itu mitos. Adakah yang pernah jumpa dengan Kuntilanak secara nyata? Saya kira Kartius sebagai pelontar kabar ini pun tak pernah berjumpa dengannya. Atau, Kartius cuma membuat joke untuk menaikkan popularitasnya sebagai Pejabat Publik? Berbeda barangkali, dengan Dedi Mulyadi sang Bupati Purwakarta yang katanya sudah menikahi Nyi Roro Kidul. Wallahu’alam. Semoga hanya sebuah imajinasi liar. Dan imajinasi semacam itu jelas tak dapat dibenarkan secara rasional di Pontianak, yang notabene sejarahnya adalah masyarakat yang beradat dan beradab. Tak pernah mengagungkan mitologi.
Pontianak, Melayu, dan Islam
Ditilik dari sisi sejarah, Kota ‘Panas’ ini bermula dari peluru meriam yang ditembakkan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie pada 1771 Masehi. Peluru yang jatuh di antara tiga ruas persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak itu kemudian menjadi batas teritorial Pontianak. Syarif kemudian menjadi pendiri sekaligus Sultan Pertama Kesultanan Qadriyah Pontianak yang berada di tepi barat Pulau Borneo atau Kalimantan.
Di bawah Kesultanan Pontianak, kemajuan pemerintahan dalam berbagai aspek berkembang dalam rezim masing-masing Sultan. Pontianak berkembang menjadi pusat perdagangan, pemerintahan, dan peradaban di Kalimantan Barat. Dalam berbagai naskah sejarah, perjalanan panjang Pontianak menunjukkan suatu peradaban yang di dalamnya termasuk peradaban intelektualitas, gagasan modernisasi, strategi perdagangan, pemerintahan, dan politik.
Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie adalah anak dari seorang pendakwah Islam (Ahlusunnah Wal Jama’ah) asal negeri Tarim di Hadramaut-Yaman Selatan, yang bernama Habib Husein Al-Qadrie. Habib Husein Al-Qadrie dan ketiga kawannya menyebar dakwah Islam di Kepulauan Melayu (The Malay Archipelago) atau Nusantara. Konon kabarnya, dia adalah keturunan dari ahlul bait, yaitu darah terdekat dari Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
BACA JUGA: PONTIANAK BUKAN “KUNTILANAK” BAGIAN 2
Sejak Syarif Abdurrahman Al-Qadrie menemukan tanah khatulistiwa pada 1771 M, kemudian tahun itu menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pontianak. Pada 1778 M gelarnya sebagai Sultan ditabalkan, hingga kekuasaan Kesultanan tersebut dipegang oleh generasi ketujuhnya, Sultan Hamid II (Sang Perancang Lambang Negara RI, Garuda Pancasila) pada 1945. Pada masa Sultan Hamid II ini, Pontianak – Kalimantan Barat bergabung dan menjadi Indonesia.
Sejak awal, intelektualitas di Pontianak sudah terpatri secara nyata. Banyak wilayah atau sebuah entitas yang mengadopsi gagasan-gagasan intelektual Pontianak. Indonesia, misalnya, yang mengadopsi kerangka pondasi pengadilan agamanya dari Mahkamah Syariah Kesultanan Pontianak (Sultan, Pahlawan dan Hakim, 2011, Henri Chambert-Loir). Gagasan-gagasan semacam itu adalah bagian dari khazanah besar kebudayaan Melayu dan sejarah Islam di Indonesia. Pontianak sebagai pintu gerbang Kalimantan Barat (Ibu Kota Provinsi) memiliki beban intelektualitas dalam perkembangan peradabannya.
Dalam periode yang panjang, bentuk Pemerintahan Pontianak adalah Kesultanan dengan sistem pemerintahan aristokrasi absolut Islam. Ini menegaskan bahwa identitas Pontianak adalah Melayu Islam. Sebab, pancang pertama bangunan yang dialaskan di bandar negeri adalah tiang fondasi Masjid. Hari ini Masjid itu bernama Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Itulah bangunan pertama di Pontianak. Letak masjid ini berdekatan dengan Istana Qadriyah, yang tak jauh dari simpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di sebelah utara negeri Pontianak, terdapat Tugu Khatulistiwa yang berada tepat di garis lintang nol derajat bumi, yang juga berdekatan dengan makam para Sultan-sultan Pontianak.
Sejak dulu Pontianak adalah ‘tanahnya’ Orang Melayu, merupakan tanah yang kunjung diberikan Allah SWT atas keberkahan dan limpahan rahmat-Nya. Mengapa? Sejak dulu Pontianak adalah Kota lintas perdagangan dan perjumpaan peradaban. Transaksi kelangsungan hidup manusia, melewati teritori ini dalam damai dan berdampingan. Ada Dayak bersinggah ke sini membeli ikan, Cina menjual dagangan. Jawa menyeberang pulau, beranak dan bermukim bertahun-tahun. Orang Sumatera dan Bugis dari Sulawesi membuka lahan perkebunan.
BACA JUGA: PONTIANAK BUKAN “KUNTILANAK” BAGIAN 3
Semua tak lantas membuat Orang Pontianak menjadi eksklusif dan menentang pluralitas yang ada di Indonesia. Bahkan bertahun-tahun yang terjadi adalah pribumi di Kota Pontianak sangat inklusif dan dapat menempatkan diri dengan baik di tengah keberagaman itu. Namun, kadang, hasil dari proses akulturasi dan perkawinan silang berbagai budaya menerabas identitas yang ada.
Pontianak adalah kotanya orang Melayu, kita berbahasa Melayu di sini, di samping bahasa resmi Indonesia. Apa identitas Melayu? Melayu syarat akan Syari’at. Seperti orang tua kami bilang “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah.” Artinya adalah hidup Orang “Melayu” Pontianak bersanggah pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Penerapan hidup itu berlangsung tak singkat, tapi ratusan tahun. Orang Pontianak selalu berhasil mengaplikasikannya. Orang Pontianak tak melandaskan hal yang irrasionil dalam hidupnya, tak melandaskan mitos dan tahayyul dalam hidupnya.
Di tengah laju modernitas, orang Pontianak masih tetap mampu melakukannya. Kita tengok bagaimana acara adat pernikahannya, tak pernah lepas dari nilai-nilai Islam. Tak ada agenda resmi apapun yang tak lepas dari pembacaan Kalam atau Firman Allah dalam Kitabullah. Adat berHadrah – Barzanji yang tak luput dari lontaran syukur karena Rabb-Nya. Pun sikap, tindak tanduk yang mengikuti Sunnah Baginda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Saya kira begitupula orang Jawa, Dayak, Cina, Bugis, Sumatera yang sudah lama merantau dan memiliki keturunan di sini mengikuti pola dan menghargai di mana tempatnya berpijak. Semua saling menghargai dalam waktu berabad-abad silam. Mereka paham bahwa Orang Pontianak tak memberhalakan Patung. Perlu kita ingat kembali bahwa ketika Sultan Syarif Abdurrahman menemukan tanah Pontianak, bangunan pertama kali yang dibangun adalah Masjid, bukan Patung, apalagi Patung Mitologi semacam Kuntilanak. (BERSAMBUNG)
Penulis: Anshari Dimyati (Ketua Yayasan Sultan Hamid II)