Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Antara Cita-Cita, Realita, dan Tantangan

0
Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis MBG
Image: Chat GPT

BloggerBorneo.com – Pada tahun 2024, salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden mengusung program makan siang gratis sebagai bagian dari janji politik mereka.

Janji ini ternyata menjadi salah satu isu populer dalam kontestasi pemilu, dan pada akhirnya, pasangan tersebut berhasil memperoleh suara terbanyak.

Setelah dilantik, janji itu pun diwujudkan, meski mengalami perubahan nama menjadi Makan Bergizi Gratis (MBG).

Hiruk Pikuk Dibalik Program MBG

Sejak hari pertama program ini berjalan, hiruk-pikuk langsung terdengar dari berbagai penjuru. Ada yang mendukung penuh, ada pula yang mengkritik keras.

Kelompok yang pro menilai program MBG akan membantu meningkatkan gizi anak usia sekolah, sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru bagi penyedia katering dan memberdayakan UMKM lokal.

Bahkan, seorang Wakil Menteri berpendapat bahwa program ini berpotensi meningkatkan kemampuan akademik murid, seperti prestasi dalam matematika dan bahasa Inggris.

Namun, di sisi lain, berbagai masalah juga muncul. Media memberitakan tentang potensi pemborosan anggaran, banyaknya makanan yang tidak habis dimakan, hingga kasus keracunan makanan yang dialami murid di sejumlah daerah.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: benarkah program ini solusi jitu, atau justru menambah persoalan baru?

Menggali Akar Masalah: Mengapa Ada MBG?

Daripada sekadar memperdebatkan kelebihan dan kekurangan, mari kita mundur sejenak dan bertanya: mengapa ada MBG di sekolah?

Jawaban sederhananya: karena pemerintah ingin meningkatkan gizi anak-anak usia sekolah.

Namun, pertanyaan berikutnya justru lebih krusial: mengapa gizi anak-anak perlu ditingkatkan?

Data nasional menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia masih cukup tinggi.

Stunting adalah masalah gizi kronis yang berdampak pada tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun intelektual.

Maka, program MBG muncul sebagai intervensi untuk mengurangi masalah tersebut.

Tapi, mengapa gizi anak rendah? Bisa jadi karena di rumah mereka tidak terbiasa makan makanan bergizi.

Sebabnya beragam: mungkin makanan bergizi tidak tersedia, mungkin anak-anak tidak suka menu sehat, atau bisa juga karena keterbatasan ekonomi keluarga.

Tantangan Selera Anak Zaman Sekarang

Fenomena lain yang tidak boleh diabaikan adalah selera anak-anak masa kini.

Tidak bisa dipungkiri, banyak anak yang lebih memilih makanan cepat saji, jajanan viral, atau makanan instan daripada menu sehat yang disajikan pemerintah.

Maka, ketika program MBG hadir dengan menu yang sudah diuji gizi dan keamanannya, bukan berarti anak-anak otomatis akan menyukainya.

Jika banyak makanan MBG berakhir di tempat sampah, mungkin bukan sepenuhnya salah programnya, melainkan tantangan budaya makan generasi sekarang.

Anak-anak sudah terbiasa dengan makanan modern yang rasanya lebih “nendang”, meski kandungan gizinya rendah.

Sementara menu MBG, meskipun bergizi, mungkin terasa membosankan bagi mereka.

Faktor Ekonomi: Gizi Bukan Prioritas?

Masalah gizi anak juga erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga. Tidak semua orang tua mampu menyediakan makanan bergizi lengkap di rumah.

Ada yang lebih mendahulukan kebutuhan lain yang dianggap lebih mendesak, ada pula yang memang daya belinya lemah.

Selain itu, masih banyak orang tua yang belum paham sepenuhnya tentang pentingnya gizi seimbang.

Misalnya, ada yang merasa cukup dengan memberi anak nasi dan mie instan, padahal gizinya tidak memadai. Faktor pengetahuan ini sama pentingnya dengan faktor ekonomi.

Di sinilah muncul pertanyaan mendasar: apakah program MBG sekadar solusi instan, atau bagian dari strategi besar mengatasi masalah gizi di Indonesia?

Harapan dan Catatan Kritis

Terlepas dari berbagai pro dan kontra, kehadiran MBG menunjukkan perhatian serius pemerintah terhadap kualitas gizi anak bangsa.

Namun, agar program ini benar-benar bermanfaat, ada beberapa catatan penting:

  1. Kualitas dan Keamanan Pangan Harus Dijaga
    Kasus keracunan harus menjadi alarm agar pengawasan lebih ketat, baik dari segi bahan baku, proses memasak, maupun distribusi makanan.

  2. Perlu Edukasi Gizi Sejak Dini
    Anak-anak perlu dibiasakan mencintai makanan sehat. Tanpa edukasi, makanan bergizi yang disajikan akan tetap dianggap “tidak enak”.

  3. Libatkan Orang Tua dan Masyarakat
    Program ini sebaiknya tidak hanya berhenti di sekolah, tetapi juga mengajak orang tua agar menerapkan pola makan bergizi di rumah.

  4. Kajian Data yang Akurat
    Penting untuk memastikan bahwa program MBG benar-benar didasari kebutuhan riil anak-anak Indonesia, bukan semata-mata sebagai janji politik.

Penutup

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah langkah besar yang lahir dari niat baik: memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing.

Namun, realisasi di lapangan tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Ada masalah anggaran, selera anak, distribusi makanan, hingga faktor sosial ekonomi keluarga yang harus dipecahkan.

Jika anak-anak Indonesia sudah tercukupi gizinya sejak dari rumah, mungkin program MBG tidak akan terlalu diperlukan.

Tetapi faktanya, gizi masih menjadi persoalan serius bangsa ini.

Maka, selama program ini dijalankan dengan evaluasi berkelanjutan, pengawasan ketat, dan edukasi gizi yang menyeluruh, MBG bisa menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia. (SK)

Catatan:

Tulisan diatas merupakan bentuk pengembangan intisari dari status yang dibuat oleh salah seorang Guru SMA Negeri 5 Pontianak Bapak Sukardi yang diunggah melalui laman media sosialnya.

Link Status: https://web.facebook.com/sukardi.hz/posts/pfbid0iWjoSPidN5fELRy7qqBvJ9cAinMxsTgcy3e8a6LHDbRUgKTfKLSPn9jKt2HRzvQTl

Advertisement