Regulasi Pengajuan Sertifikat Halal melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
Dalam tulisan ini saya tidak adakan membahas tentang logo atau urgensi sertifikasi halal, tentang urgensi sertifikasi halal cukup saya jelaskan secara detail dalam video yang bisa dilihat pada bagian akhir tulisan ini.
Regulasi Pengajuan Sertifikasi Halal
Sebelum adanya UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), sertifikat berjalan secara volunteer, MUI bersama LPPOM MUI berinisiatif untuk menerbitkan fatwa dan acuan dalam produk halal.
Pelaku usaha juga berinisiatif untuk melengkapi produk mereka dengan sertifikat halal. Dalam hal ini pemerintah tidak terlibat secara khusus dalam urusan sertifikasi halal ini.
Oktober 2014, dengan ditandatangani oleh Presiden SBY, UU JPH itu disahkan. Dalam UU tersebut pemerintah dengan perangkatnya ikut terlibat (atau katakanlah: mengambil alih) pengurusan sertifikasi halal melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Dengan aturan ini, proses audit halal tidak lagi terpusat di LPPOM MUI karena pemerintah dengan perangkat hukumnya bisa menggerakkan banyak pihak agar terlibat dalam proses produk halal ini. Di antara perubahan yang terjadi setelah UU tersebut adalah:
- Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang berasal dari pemerintah ataupun swasta yang bertugas untuk melakukan audit terhadap produk yang diajukan. LPH ini disertifikasi oleh BPJPH dan harus memenuhi syarat di antaranya adalah memiliki laboratorium atau memiliki kerjasama dengan laboratorium.
- Auditor Halal, para ahli yang berasal dari bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi atau farmasi yang sebelumnya dilatih dan disertifikasi oleh BPJPH.
- Penyelia Halal, para ahli dari berbagai bidang (agama-sains) yang bertugas untuk mengawasi, mengkoordinasi dan memberi saran bagi pelaku usaha dalam proses produksinya. Penyelia halal diajukan oleh pelaku usaha, dilatih dan disertifikasi oleh BPJPH. Posisinya mirip seperti DPS di Lembaga Keuangan Syariah.
MUI Tetap Terlibat
MUI tetap terlibat dalam penetapan fatwa bagi setiap produk yang telah diaudit. Setelah produk yang diajukan ke BPJPH itu diaudit oleh LPH yang ditunjuk, seluruh berkas disampaikan ke MUI untuk kemudian ditetapkan fatwa halalnya untuk kemudian dikembalikan ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halalnya.
Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2021 memberikan satu mekanisme baru dalam sertifikasi halal, yaitu mekanisme self declare yang khusus untuk usaha mikro dan kecil.
Dengan mekanisme ini para pelaku usaha tidak perlu untuk melakukan uji lab ke LPH, namun cukup dengan pernyataan pribadi terkait bahan, proses dan komitmen produk halal, kemudian didampingi dan diverifikasi oleh para Pendamping PPH yang telah dilatih oleh BPJPH sampai proses pengajuan sertifikasi.
Mekanisme ini disubsidi oleh pemerintah sehingga pelaku UMK tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal, bahkan mereka dibantu untuk bisa mencapai standar yang telah ditetapkan.
Rekrutmen Pendamping PPH
Targetnya, 10 juta UMK tersertifikasi halal pada tahun 2024 yang didampingi oleh 100 ribu orang Pendamping PPH.
UU JPH disahkan tahun 2014, namun butuh waktu yang cukup lama agar UU tersebut benar-benar berjalan. Setidaknya hingga hari ini pembangunan infrastruktur dan SDM yang membantu dalam proses sertifikasi halal masih terus dikejar.
UIN Bandung sendiri kini sedang menunggu visitasi dari BPJPH untuk sertifikasi LPH dan Laboratorium Penguji Halal, saya juga ikut terlibat di Lembaga Pendamping PPH yang melakukan pelatihan bagi para Pendamping PPH yang akan turun ke UMK.
Dengan banyaknya pihak yang terlibat serta ragam sertifikasi dan pelatihan yang dilakukan oleh BPJPH beserta perangkatnya, diharapkan tujuan dan manfaat dari sertifikasi halal bisa mencakup wilayah yang lebih luas.
Tak lama lagi, logo halal tidak hanya terlihat di produk yang ada di toko, namun juga akan tertempel di gerobak bakso dan cilok langganan. (ADV)
Comments are closed.