Risalah Mulia Seorang Ibunda
Hatinya perih setiap kali adegan itu terjadi. Kelebat jeritan rintih menyeruak dari relung jiwa wanita muda tersebut, "Ia anakku, bukan anak perempuan itu!!!" Pedih, batinnya menjerit.
Adinda Dimana…
Gelap masih menyelimuti lelap, bergelayut manja di pelupuk mata. Pulas, karena lelah lembur seharian mengalahkan dingin yang menelusup dari celah dinding. Hening, diselingi dengkuran halus yang silih berganti mengisi sunyi.
“Uwaaa… uwaaa…,” tangisan si kecil memecah sepi. Kaget! Mata mengerjap, perasaan pun masih mengawang. Aah, si kecil ngompol rupanya. Popoknya sudah basah, pingin diganti.
“Ma… ma… si kecil ngompol nih,” berbisik perlahan, sambil tangan membangunkan istri yang tampak sangat lelah.
Uwaaa… uwaaa… lebih kencang. “Ma, bangun dong digantiin dulu tuh popoknya!” Lebih keras. Sedikit menggeliat, alhamdulillah… akhirnya bangun juga,
“Bibik…!!!” Lho???
*****
Terlalu lama tinggal di Perumahan Mertua Indah kadang membuat sebuah keluarga susah mandiri. Dari suami selaku kepala rumah tangga yang kadang sulit mengambil keputusan sendiri, atau istri yang tidak terlatih. Seiring bergulirnya waktu, syukurlah rezeki semakin bertambah, akhirnya ngontrak rumah. Gak terlalu besar, tapi cukup untuk sebuah pasangan muda.
Kebahagiaan pun semakin bertambah, si kecil lahir di sela-sela kesibukan kita yang sama-sama bekerja. Kesibukan istri di sebuah perusahaan swasta pun berganti dengan rutinitas seorang ibu muda. Cuti melahirkan selesai, ia balik lagi dengan kesibukan rapat dan kerja, maklum wanita karir.
“Pa, cari pembantu ya, masa’ setiap hari harus nitip anak ke ibu,” pintanya suatu saat.
Seorang perempuan berumur, yang selalu berjilbab panjang warna pudar itu akhirnya menetap di rumah.
“Bik, bisa tuh kerja dengan baju panjang seperti itu?” tanya istriku sangsi, di suatu hari. “Insya Allah bisa Non,” sahutnya sopan.
Entahlah, mungkin karena sikapnya yang penuh santun, atau pekerjaan yang selalu beres membuat kami betah memperkerjakannya di rumah. Istriku pun senang, lalu semakin larut waktu demi waktu dengan kesibukan mengejar impian.
*****
Uwaaa… uwaaa… Kembali tangisan si kecil membuyarkan lamunanku, aah… dinda, dimanakah kau berada?
Kesibukan siang malam melarutkan kewajibanmu, duhai adinda. Entah apa yang engkau kejar, status atau kedudukan-kah? Rasanya sudah cukup rezeki dari gajiku selama ini, entahlah, mungkin kau akan malu dengan status ibu rumah tangga karena dirimu adalah seorang sarjana. Lulus dengan IPK tertinggi, pujian karena ketekunan dan kepintaran membuatmu semakin melupakan risalah mulia sebagai wanita.
Bukan… bukan aku melarang, karena syariat pun membolehkan. Tapi tidakkah kau merasakan hausnya kasih sayang buah hati kita akan peluk cium seorang ibunda? Tidakkah kau ingin menjadikan dirimu madrasah sehingga kelak dari keluarga kita akan lahir jundullah? Betapa ku butuh dirimu dinda, marilah bersama mengayuh bahtera.
*****
“Mama pulang…!!!” teriak si kecil sambil berlari memeluk tubuh mamanya. Tampak binar kerinduan yang membuncah di mata, sambil tak lupa menagih oleh-oleh yang entah keberapa kali selalu diterimanya. Tak lama boneka Winnie The Pooh-pun dipeluknya, “Ma kasih ma…” hanya sesaat, dan dengan langkah kecilnya kencang berlari ke dapur dengan raut wajah gembira.
“Bibik, dibeliin mama boneka!!!” teriaknya, sambil bergelayut manja. Tak lama bibir mungil itu bercerita dengan logat cadelnya tentang beruang madu dan sahabat-sahabatnya, berceloteh penuh semangat diselingi tawa kecilnya. Begitu mesra.
Deg!!!
Dari balik pintu sepasang mata memandang dengan sedih, tanpa sadar mata yang selalu penuh semangat saat memimpin rapat itu pun berkaca-kaca. Hatinya perih setiap kali adegan itu terjadi. Kelebat jeritan rintih menyeruak dari relung jiwa wanita muda tersebut, “Ia anakku, bukan anak perempuan itu!!!”
Pedih, batinnya menjerit.
Tubuh yang selalu bergelora mengejar impian itu mendadak ringkih, jiwa goncang, dan berbalik menatapku yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan. Wajah penuh airmata, melunturkan make-up yang selalu setia menghiasinya. Kupapah istriku tanpa berkata apa-apa. Mungkinkah do’a yang selama ini terhatur kepada-Nya akan segera terjawab?
*****
Uwaaa… uwaaa…
Lho, dinda di mana? Aaah… ternyata ia belum juga berubah, buruk sangka. Apakah aku lupa kalau ia kembali ada rapat kerja?
Uwaaa… uwaaa… lebih kencang. Duh dinda, dimanakah kau berada?
Terdengar langkah tergopoh-gopoh menghampiri, “Cup… cup sayang. Ini mama, Nak. Maaf ya tadi lagi sholat malam.”
Ia membungkuk, lalu mengangkat si kecil yang tadi terbangun karena mimpi ke dalam dekapannya, memeluk dengan selimut kasih sayang, menepuk-nepuk lembut punggungnya hingga si kecil pun kembali terlelap.
Aku menatapnya dengan bahagia, ia pun tersenyum di balik mukena, dan kulihat wajahnya begitu bercahaya.
Al-Hubb FiLLAH wa LiLLAH,
(Buat para dinda di seluruh dunia, bekerjalah, namun jangan lupakan risalah mulia)
Penulis: Ferry Hadary