Dampak Panjang Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Dihapus

Sekolah dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan formal yang menjadi dasar pendidikan bagi anak, tempat dimana penanaman nilai-nilai karakter dan pengetahuan dasar pada anak dimulai dengan rentang usia 6-12 tahun.

Anak usia SD (6-12 tahun) disebut sebagai masa anak-anak (midle childhood). Pada masa inilah disebut sebagai usia matang bagi anak-anak untuk belajar. Hal ini dikarenakan anak-anak menginginkan untuk menguasai kecakapan-kecakapan baru yang diberikan oleh guru di sekolah.

Masuk SD menjadi satu tanda permulaan periode bersekolah dimana sikap anak terhadap keluarga tidak lagi egosentris melainkan objektif dan empiris terhadap dunia luar. Jadi dapat disimpulkan bahwa telah ada sikap intelektualitas sehingga masa ini disebut periode intelektual “(Fatmaridha, 2019:91).

Oleh karena itu sekolah dasar (SD) sebagai wahana dialektika anak berperan vital untuk tumbuh kembang anak yang mesti ditunjang sarana prasana memadai, lingkungan kondusif, tenaga pendidik yang cukup dan berkompeten.

Jumlah Sekolah Menurut BPS

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pada tahun ajaran 2022/2023 jumlah Sekolah Dasar (SD) di Indonesia sebanyak 148.975 unit, Madrasah Ibtidaiyah (MI) 26.503 unit. Sekolah Menengah Pertama (SMP) tercatat sebanyak 41.986 unit, Madrasah Tsanawiyah (MTs) 19.150 unit.

Selanjutnya, Sekolah Menengah Atas (SMA) terdapat sebanyak 14.236 unit, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 14.265 unit hingga Madrasah Aliyah (MA) berjumlah sebanyak 9.827 unit.

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan sekolah di Indonesia paling banyak berasal dari jenjang SD sederajat. Jika melihat jumlah SD yang tersebar di seluruh Indonesia dengan  lokasi dari perkotaan hingga menyentuh pedalaman.

Melihat kondisi ini tentu saja pemerintah sebagai penyelenggara proses pendidikan harus mampu menyiapkan infrastruktur  memadai dan proporsional terutama SDM sebagai tenaga pendidik untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional.

Namun faktanya, dalam pemenuhan jumlah tenaga pendidik secara merata masih menjadi permasalahan krusial dan momok menakutkan dinegeri ini. Masih banyak terdapat sekolah dasar terutama diwilayah terpencil/pedalaman kekurangan guru.

Indonesia Kekurangan 1 Juta Guru

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memprediksi sekolah di Indonesia kekurangan 1 juta guru setiap tahun sepanjang kurun 2020-2024. Angkanya ditaksir terus meningkat seiring tahun.

Berdasarkan data Kemendikbud, tahun 2020 terdapat 72.976 guru pensiun. Jumlah tersebut menyumbang kekurangan guru yang angkanya mencapai 1.020.921 orang. Angka ini kemudian naik pada 2021, dengan kekurangan guru diprediksi mencapai 1.090.678 orang dan jumlah yang pensiun 69.757 orang.

Tahun 2022 kekurangan guru menjadi 1.167.802 orang, dengan jumlah yang pensiun 77.124 orang. Kemudian tahun 2023 kekurangan guru naik lagi menjadi 1.242.997 orang, dengan jumlah yang pensiun 75.195 orang. Dan tahun 2024 kekurangan guru diprediksi hingga 1.312.759 orang dengan jumlah yang pensiun 69.762 orang.

Mengacu pada angka kekurangan guru tersebut jika dihubungkan dengan data yang dirilis  badan pusat statistik (BPS) SD merupakan jenjang sekolah terbanyak maka secara hipotesis kekurangan guru tersebut paling banyak terjadi pada jenjang SD. Ironi, SD yang semestinya menjadi lahan subur untuk tunas muda bangsa berubah bak lahan tandus yang tidak subur.

Dampak Panjang SPG Dihapus

Sekolah Pendidikan Guru (SPG) merupakan sekolah menengah kejuruan sederajat SLTA yang mendidik calon-calon guru untuk memenuhi kebutuhan pengajar di sekolah-sekolah yang didirikan baik pemerintah maupun yayasan.

Dahulu diminati masyarakat sehingga harus melewati tahap seleksi masuk yang cukup ketat  dan terjangkau di kalangan ekonomi menengah kebawah. Selain itu, lulusan Sekolah Pendidikan Guru juga mudah diserap dalam dunia kerja/karier dengan mengisi formasi guru SD yang tersebar hingga kepelosok negeri kala itu.

Dengan basic yang ditempa selama 3 tahun dibidang keguruan, serta berada pada usia ideal (15-18 tahun) untuk menyerap ilmu pengetahun dan pembentukan kepribadian kompetensi lulusan Sekolah Pendidikan Guru tidak diragukan lagi dalam menjadi tenaga pendidik ditingkat sekolah dasar.

Namun pada awal era 90an pemerintah memutuskan untuk menutup Sekolah Pendidikan Guru dan menganggap mutu lulusan Sekolah Pendidikan Guru harus ditingkatkan dengan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Lahirnya UU Tentang Guru dan Dosen

Dikemudian hari keputusan itupun diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen yang mensyaratkan kualifikasi guru harus berpendidikan D-IV atau S1 disemua jenjang dengan tujuan mendorong peningkatan kualifikasi guru.

Dalam tinjauan akademis kebijakan tersebut tidak salah, karena semakin tinggi studi semakin tinggi pula kapasitas seseorang, apalagi ditingkat SMP dan SMA idealnya guru harus sarjana.  Tetapi hal itu tidak ikuti kajian akurat mengenai kuantitas guru dikemudian hari terutama jenjang SD.

Salah satu faktor penyebab kurangnya guru ditingkat SD hari ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah menutup Sekolah Pendidikan Guru tersebut. Dengan jumlah sebaran SD yang banyak sementara level studi untuk menjadi guru harus S1, satu sisi tidak diimbangi volume yang seimbang dari lulusan S1 jurusan PGSD dan rata-rata lulusan SPG masa lalu memasuki usia pensiun.

Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia melanjutkan studi hingga perguruan tinggi persentasenya masih rendah, jika kuliah pun belum tentu kebanyakanya mengambil jurusan PGSD. Ini seperti boomerang dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan guru SD.

Jika pemerintah tidak berpikir panjang menyiapkan formulasi yang tepat terkait permasalahan ini, bisa jadi  kedepan kekurangan guru jenjang SD akan semakin akut.

Solusi Hadir Tapi Tidak Efektif

Sejauh ini pemerintah memang telah menghadirkan solusi dengan mencetus pola perkuliahan jarak jauh untuk menyiapkan calon tenaga pendidik jenjang SD, namun hal itu tentu tidak efektif dari segi kapasitas dan cenderung seperti jalan pintas.

Melihat mekanisme perkuliahannya, karena diduga instan jadi terkesan seperti jalan pintas untuk menjadi/mencetak sarjana. Tidak ada unsur keadilan dengan mahasiswa yang kuliah dikampus reguler dari segi pola maupun metode perkuliahan.

Pola perkuliahan tampak tidak tersistem dengan baik terutama dari segi waktu dan dengan syarat harus terdaftar terlebih dahulu sebagai tenaga honorer disekolah sementara yang jadi mahasiswa berasal dari SMA atau SMK yang tidak ada basic keguruan.

Syarat wajib honorer tersebut pun bertentangan dengan semangat undang-undang guru dan dosen yang mengatakan jika seorang guru minimal harus S1 terlepas guru tersebut honorer atau ASN.

Hadirkan Kembali Jurusan Keguruan Dibawah Naungan SMK

Sebenarnya pemerintah sudah mulai harus melakukan kajian untuk menghadirkan kembali Sekolah Pendidikan Guru dalam bentuk jurusan keguruan dibawah naungan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hal ini guna menyiapkan calon guru masa depan yang memiliki kapasitas mumpuni dibidang keguruan dan untuk mengisi kekurangan guru SD.

Walaupun harus penyetaraan untuk jenjang S1 dengan mengikuti perkuliahan jarak jauh dengan syarat wajib harus menjadi tenaga honorer disekolah setidaknya lulusan SMK jurusan keguruan sudah memiliki basic menjadi seorang guru yang berkompeten karena telah ditempa selama 3 (tiga) tahun selama menempuh studi ditingkat SLTA.

Jadi tidak cenderung memaksakan keadaan yang tentunya dapat merugikan masyarakat dalam hal pelayanan untuk mendapatkan tenaga pendidik yang berkualitas.

Selain itu, sebaran SMK mampu menyentuh sampai ditingkat kecamatan, secara otomatis lulusannya akan tersebar dan pemerintah tidak akan kesulitan untuk mencari tenaga honorer yang akan ditempatkan mengisi kekurangan guru SD sampai ke pelosok negeri.

Selanjutnya kampus keguruan seperti FKIP dan IKIP akan terbantukan untuk memenuhi kuota mahasiswa, karena lulusan SMK jurusan keguruan jika ingin melanjutkan studi di kampus reguler sedikit banyak akan memilih kampus keguruan sebagai destinasi dengan dalih pendidikan yang linier.

Bahkan apabila jurusan SMK tersebut diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) sekalipun, beban negara tidak terlalu berat  untuk membayar gaji seperti halnya gaji ASN lulusan S1 dengan golongan IIIa karena status ASN sederajat SLTA hanya golongan IIa yang notabene gaji pokoknya lebih rendah.

Sudah semestinya semangat ingin menghadirkan pendidikan berkualitas untuk masyarakat Indonesia harus seiring sejalan dengan pola untuk menciptakan dan mempersiapkan  tenaga pendidik yang berkualitas pula.

Penulis: Muhammad Azmi (Guru SMP Negeri 3 Parindu, Kabupaten Sanggau)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Don`t copy text!