Melihat sistem perpolitikan kita saat ini, terkadang saya hanya bisa tertawa dalam hati. Rasanya aneh juga, seorang bakal calon pasangan kepala daerah beserta wakilnya harus mendatangi partai-partai yang membuka “lowongan” untuk menjadi calon kepala dan wakil kepala daerah. Dengan membawa map-map berisikan data-data administrasi dirinya, sambil berharap-harap cemas apakah bisa lolos seleksi atau tidak, para bakal calon tersebut tampak memasuki ruang pendaftaran yang telah disediakan. Jadi teringat masa dulu dimana saya sedang sibuk-sibuknya mengurus administrasi untuk pendaftaran masuk perguruan tinggi, sepertinya apa yang saya lakukan hampir sama dengan apa yang mereka lakukan sekarang. 🙂
Jika ditanya mengenai seluk beluk perpolitikan, memang saya bukanlah seorang ahli tata negara atau apalah istilahnya. Hanya saja, sebagai seseorang yang diberi akal dan kemampuan untuk berpikir, terkadang muncul beberapa pertanyaan dalam diri saya mengenai sistem perpolitikan di negara ini. Jikalau dulu negara kita hanya memiliki 3 partai besar, sejak orde reformasi jumlah tersebut mengembang sampai belasan bahkan puluhan. Berbagai tokoh politik Indonesia yang merasa memiliki massa dan kekuatan berlomba-lomba untuk dapat mendirikan sebuah partai dengan satu tujuan yaitu berharap dapat menjadi orang nomor satu di negeri ini. Benar-benar menyedihkan…
Belum lagi disaat-saat mendekati waktu pemilihan, muncul lagi sebuah istilah baru yaitu PARTAI KOALISI yang merupakan gabungan dari beberapa partai untuk dapat menyatukan seluruh suara yang dimiliki. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa jika partai koalisi tersebut menang maka calon yang diusung oleh partai mayoritas akan menjadi pemegang tampuk pemerintahan tertinggi dimana untuk posisi-posisi dibawahnya seperti wakil, staf ahli, menteri, dan lain sebagainya akan diisi oleh partai-partai minoritas yang menjadi bagian dari koalisi tersebut.
Apabila kita ingin berbicara mengenai kebijakan yang akan diambil pemerintah berkuasa, tentunya partai mayoritas memiliki suara dominan dalam menentukan. Jika ada salah satu diantara bagian dari koalisi menentang kebijakan tersebut, meskipun kebijakan tersebut akan merugikan rakyat nantinya, maka partai tersebut akan langsung dicap sebagai PEMBANGKANG dan konsekuensi terburuknya adalah dikeluarkannya partai tersebut dari koalisi. Kalau mau lihat contoh konkretnya seperti apa, masih ingat kan waktu harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dinaikkan beberapa waktu lalu. Coba perhatikan partai-partai koalisi mana yang menentang adanya kebijakan tersebut, yang pasti jika pada saat itu kebijakan ini tidak berhasil dijalankan maka kemungkinan besar partai-partai tersebut akan langsung didepak dari koalisi dan berbuntut pada penggantian beberapa menteri didalamnya. Namun karena berhubung “jalan tengah” sudah diperoleh maka untuk sementara ini posisi mereka aman terkendali. Hehehehe…
Jadi, kembali ke judul diatas bahwa sebenarnya para kepala-kepala daerah harus sangat berterimakasih kepada partai yang telah mengusungnya selama ini. Kalau tidak ada partai, mana bisa mereka menjadi kepala daerah nantinya. Benar ngga?. Dan untuk imbal baliknya ya itu kembali lagi kepada kesepakatan awalnya seperti apa. Mungkin untuk saat ini negara kita telah dianggap maju karena melakukan pemilihan secara langsung, cuma maksudnya langsung disini adalah kita langsung mencoblos ke Tempat Pemilihan Suara (TPS) yang telah disediakan. Sedangkan untuk calon-calon yang bakal dipilih, memang sistem pemilihannya langsung juga cuma langsung dipilih oleh partai-partai mayoritas. Hehehehe… Kalau begitu apa bedanya dulu dan sekarang, toh kita juga tidak terlalu kenal dengan calon terpilihnya. Meskipun ada seorang tokoh yang cukup dikenal dan kita anggap bagus jika memimpin nantinya, belum tentu juga partai-partai besar akan menggandeng mereka. Jadi, jangan salahkan rakyat jika mereka harus mengambil pilihan netral alias golput. Bener ngga???. (DW)
Sumber Gambar:
- http://news.okezone.com/read/2011/04/19/339/447524/politikus-pindah-partai-perlu-diatur-uu
- http://www.pdk.or.id/2012/04/20/korupsi-kepala-daerah-cermin-kegagalan-kaderisasi-partai/