Wacana DPR Versi Indonesia Idol: Antara Lucu, Serius, dan Membahayakan

Wacana syarat anggota DPR dengan kriteria ala audisi idol, mulai S2, TOEFL 500, good looking, hingga voting SMS. Sekilas terlihat keren, namun apakah justru bisa membahayakan demokrasi dan kehidupan rakyat? Simak opini lengkapnya di sini.

Image: Chat GPT

BloggerBorneo.com – Belakangan muncul wacana yang cukup heboh: anggota DPR harus memenuhi syarat layaknya audisi bakat.

Mulai dari minimal lulusan S2, skor TOEFL di atas 500, IPK 2,75, good looking, bisa Microsoft Office dan Canva, bebas korupsi, bahkan dipilih lewat sistem voting ala Indonesian Idol.

Wacana DPR Versi Indonesia Idol

Sepintas terdengar keren, modern, bahkan futuristik. Namun jika dicermati lebih dalam, wacana ini justru bisa menimbulkan efek samping serius bagi tatanan sosial, ekonomi, hingga hiburan rakyat.

Mari kita bahas satu per satu dengan kepala dingin tapi tetap dengan hati yang ringan.

S2 dan TOEFL 500: DPR atau Kursus Bahasa Inggris?

Mewajibkan anggota DPR berpendidikan S2 dan lancar berbahasa Inggris memang terdengar berkelas. Tetapi bayangkan jika rakyat harus ikut kursus bahasa Inggris dulu setiap kali ingin menyampaikan aspirasi.

Demo bisa bubar bukan karena gas air mata, tapi karena salah grammar. Lagi pula, S2 di negeri ini seringkali bisa dibeli di toko daring yang juga menjual pakan burung.

Kalau syarat ini diberlakukan, justru kita bisa mematikan industri “ijazah kilat” yang selama ini menopang ekonomi bawah tanah.

SKCK Bebas Korupsi: Media Krisis Hiburan

Ide agar semua calon anggota DPR harus bersih dari catatan kriminal memang mulia. Tetapi, apa jadinya media nasional tanpa berita korupsi?

Bayangkan koran pagi hanya berisi “Anggota DPR Hadir Rapat Tepat Waktu dan Tidak Tidur.” Itu bukan berita, itu fiksi ilmiah.

Lagi pula, rakyat sudah terlanjur menjadikan drama politik sebagai hiburan gratis. Tanpa skandal, negeri ini bisa terasa sepi.

Seleksi Ala Indonesian Idol: Demokrasi atau Kuis SMS?

Memilih DPR lewat voting SMS memang terdengar demokratis. Tapi risikonya, yang lolos bukanlah mereka yang punya visi misi, melainkan yang pandai menyanyi dangdut atau joget TikTok.

Rapat paripurna bisa berubah jadi konser musik. Apalagi biaya SMS tidak murah—rakyat bisa nombok demi mendukung “idola” politiknya. Demokrasi akhirnya terancam berubah menjadi kuis berhadiah pulsa.

Larangan Baliho, Kaos, dan Amplop: UMKM Sakral yang Terancam

Kalau baliho dan kaos kampanye dilarang, bagaimana nasib tukang sablon, percetakan, hingga sopir truk pengangkut spanduk? Lima tahunan sekali mereka mendapat rezeki besar dari proyek politik.

Menghapus tradisi ini sama saja membunuh UMKM paling sakral di Indonesia. Bahkan amplop serangan fajar pun bisa dianggap sebagai bentuk “BLT instan”—subsidi langsung tanpa APBN. Efisien, meski tentu saja ilegal.

Good Looking, IPK 2,75, Bisa Canva: DPR atau Audisi Miss Universe?

Membayangkan DPR diisi orang-orang good looking dengan IPK sempurna memang menyenangkan. Namun jangan-jangan mereka lebih sibuk mendebatkan template Canva ketimbang pasal undang-undang.

Lagi pula, politisi besar banyak yang lahir dari IPK nyaris koma. Itu bukan kelemahan, melainkan skill bertahan hidup: titip absen, mencontek, atau menyuap dosen—semua merupakan bekal politik tingkat tinggi.

Public Speaking Wajib: Lalu dari Mana Meme Lucu Berasal?

Jika semua anggota DPR pandai bicara, siapa yang akan bikin blunder legendaris seperti “rakyat tolol sedunia”? Ingat, humor politik sering lahir dari kesalahan ucap. Tanpa itu, warganet bisa kehilangan sumber meme nasional.

Tanpa Staf Khusus: Nepotisme Tergusur

Melarang DPR punya staf khusus berarti menghapus ladang nafkah bagi anak, ponakan, hingga ipar yang selama ini menempel di kursi kekuasaan.

Nepotisme adalah “kearifan lokal” yang sudah mendarah daging. Kalau semua kerjaan dikerjakan sendiri, DPR bisa benar-benar produktif—dan itu justru mengkhawatirkan.

DPR Mahir Bela Diri: Jalanan Jadi Arena MMA

Bayangkan jika semua anggota DPR belajar silat atau karate. Ketika ada rakyat yang menghadang, alih-alih berdialog, bisa-bisa langsung di-smackdown. Jalanan ibu kota berubah jadi arena MMA gratis.

Tinggal di Rusun DPR: Big Brother Versi Politik

Wacana agar anggota DPR tinggal di rusun biar tak kena macet justru berpotensi menciptakan reality show paling heboh.

Kamera tersembunyi bisa menyiarkan drama harian mereka: rebutan lauk di kulkas, ngutang di warung, hingga perselingkuhan ala sinetron. Ini tontonan yang bahkan lebih seru dari sidang paripurna.

Tanpa Rapat Hotel: Vendor Politik Terancam

Melarang rapat di hotel bintang lima berarti merampas kesempatan vendor katering, florist, dan sound system untuk ikut menikmati kue demokrasi.

Selain itu, bagaimana anggota DPR bisa memahami penderitaan rakyat kalau tidak dibandingkan dengan jacuzzi hotel?

Tes Konsentrasi: Hilangnya Simulasi Ekonomi Digital

Jika DPR benar-benar fokus, mereka tidak lagi tidur atau main judi online saat sidang. Padahal, tidur bisa dianggap bentuk meditasi politik, sementara judi online bisa dimaknai sebagai riset ekonomi digital.

Jangan buru-buru menyalahkan, mungkin itu eksperimen kebijakan.

Penutup: DPR Seperti Sekarang Lebih Aman

Jika semua wacana ini diterapkan, DPR bisa berubah menjadi lembaga yang profesional, rapi, bersih, dan efisien.

Itu berbahaya, karena rakyat akan kaget dan stres harus ikut serius. Tidak ada lagi drama, tidak ada lagi meme, tidak ada lagi hiburan politik murah meriah.

Mungkin memang lebih baik biarkan DPR tetap seperti sekarang: campuran akademisi setengah jadi, kriminal setengah pensiun, artis setengah redup, dan pengusaha setengah bangkrut.

Dari kombinasi itulah lahir cerita-cerita ajaib yang selalu berhasil membuat rakyat tertawa sekaligus geleng-geleng kepala setiap hari. (DW)

Artikel Lainnya

Comments are closed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

error: Content is protected !!