Pembunuh Itu Bernama Media

Media televisi, entah sudah berapa lama Blogger Borneo menghindarkan dua kata ini dari pandangan si kecil yang saat ini telah berusia 5 tahun lebih.

Kondisi tayangan beberapa media televisi yang dianggap ekstrim untuk saat ini menjadi alasan utama kenapa Blogger Borneo pada akhirnya menutup akses munculnya siaran-siaran media di layar televisi.

Sadar akan kemungkinan terjadinya proses “cuci otak” dari tayangan-tayangan yang mengandung unsur kekerasan, pembodohan, dan eksploitasi s3ks secara perlahan namun pasti membuat Blogger Borneo harus berupaya maksimal mencari sumber-sumber tontonan yang lebih sehat dan sesuai dengan tingkatan anak seusianya.

Ya apalagi kalau bukan mengunduh film-film pendek via YouTube yang nantinya akan disimpan dalam flashdisk atau membelinya secara online dalam bentuk DVD.

Secara tidak sengaja, baru-baru ini Blogger Borneo membaca sebuah status dari salah seorang pengguna facebook bernama Nailah Assagaf terkait dengan kondisi media saat ini. Dalam statusnya yang berjudul “Pembunuh Itu Bernama Media” tersebut, Nailah menceritakan bagaimana tayangan-tayangan ekstrim dari layar televisi bisa memberikan efek negatif terhadap anak.

Blogger Borneo yakin diantara kawan-kawan pasti ada yang merasa penasaran dengan isi statusnya seperti apa, oleh karena itu berikut kutipannya:

Teringat saya, akan sebuah tayangan episode Nanny 911. Menarik. Karena waktu itu, diangkat tema tentang efek bermain games kekerasan pada anak. Diambil sample kelompok A dan B. Rentang usia 8 – 9 tahun.

Kelompok A, diajak bermain games kekerasan, selama kurang lebih 1 jam. Tanpa jeda. Setelah selesai bermain games tersebut, anak anak kelompok A, disuguhi berita kekerasan (ditayangan digambarkan sekelompok demonstran, polisi memukuli para demonstran, diinjak dan diseret, dipukul dengan pentungan dll).

Pada saat yang bersamaan pula, kelompok B, anak anak yang tidak dikasih kesempatan bermain games, dikasih tontonan yang sama dengan kelompok A.

Apa yang terjadi..? Masing masing anak diruangan tersebut, terhubung jantung mereka dengan semacam alat penghitung detak jantung.. Anak anak kelompok B, yang tidak bermain games, menunjukkan detak jantung yang meningkat. Perlahan detak jantung mereka menunjukkan grafik naik..

Apa yang terjadi dengan kelompok A, yang habis bermain games kekerasan.. Detak jantung mereka Sama Sekali Tidak mengalami kenaikan. Stabil, tidak terlihat ada keterkejutan yang berarti.

Suprised.

Itulah efek sebuah games berkonten kekerasan. Anak anak itu ‘mati rasa’. Mereka menatap melihat kekerasan di depan mereka sebagai hal biasa. Tak ada keterkejutan yang berarti.

Dan miris hati saya, membaca berita yang beredar akhir akhir ini..

Seorang siswa kelas 1 SD di Makassar merenggang nyawa dihabisi kakak kelas nya yang duduk di kelas 3 sd. Omigot, kelas 3 SD udah kefikiran membunuh? Saya kelas 3 SD masih asik main bekel, bentengan, anak kelas 3 SD sekarang berfikir menghabisi nyawa temannya..

Next story, bocah 7 tahun, nekad menceburkan temannya sendiri, di danau buatan Summercon Bekasi. Awalnya si bocah berniat untuk membuat teman nya pingsan (saja), gara gara apakah si bocah sampai berfikiran seperti itu..? Ternyata hanya karena si teman punya hutang 1000 perak pada si pelaku. *nafas sebentar

Di Balikpapan, seorang anak berusia 8 tahun, dibunuh kakak kelas nya yang duduk dibangku kelas 6 sd. Perkara sepele. Si kakak kelas tega membunuh adik kelas nya yang masih kecil itu hanya karena si adik kelas sering memanggil nama orangtua pelaku dengan nama panggilannya.. *ya Allah ituh mah dulu kita sering panggil panggilan nama Bapak ke teman sendiri.. But do we have to kill our friend because of that?

Dan masih banyak kasus kekerasan serta pembunuhan lainnya yang pelaku nya masih belia..

Ada apa dengan negeri ku..?
Ada apa dengan masa kanak kanak mereka..?

Mungkin yang perlu kita telaah? Ada apa dengan tontonan mereka..?

Seingat saya, jaman kecil dulu, saya SD di era tahun 90 an. Waktu itu tv swasta baru TPI. Isi nya masih bernuansa Edukasi. Sesuai namanya Televisi Pendidikan.
Tak lama munculah RCTI. Saya gemetar menonton serial tour of duty, sebuah serial perang. Sinetron? Belum sehoror sekarang. Saya bisa membayangkan bagaimana dengan adik adik kita yang disuguhi adegan demi adegan kekerasan. Membunuh buat mereka bagai sebuah solusi. Reka adegan yang malah memberi contoh serta ide. Semua terpampang jelas di mata polos mereka. Input pada syaraf otak mereka dijejali rekonstruksi kisah pembunuhan. Kisah kekerasan fisik, kisah bullying dan kekerasan verbal. Mereka bocah kecil si peniru ulung..

Save our Children,
Save their eyes,
Save their Soul.

Matikan TV.

Entah kenapa, saya manusia paling parno dengan tv. Walau saya tahu, tayangan kekerasan pada anak bisa bermunculan lewat Kartun. Tapi tv adalah akses yang mudah buat mereka. Siapa di negeri ini yang tidak punya tv? Di kampung pelosok, di sebuah rumah reot pun kita akan mendapati ada nya si kotak ajaib bernama TV.

Dan anak anak negeri ini, menikmati masa pengasuhan dengan TV.
Apa tayangannya? Sinetron yang bernuansa sakarsme? Sinetron berbau Hedonisme, Matrealisme, bahkan Pacaran, pegangan Tangan, siapakah yang memberi citra indah itu jika bukan dari tayangan kanak kanak kita.. Tanpa dibarengi filter agama, tanpa arahan orangtua yang terlalu sibuk, mereka tumbuh seperti akar liar yang berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya nama mereka muncul di media, sebagai pesakitan.

Kasus kekerasan pada anak hanya sedikit dari sekian persen permasalah serius di negeri ini. Kekerasan verbal dari kasus anak muda, Pacaran, sampai free s3x, adalah contoh kanak kanak yang lost control. Kanak kanak penikmat TV dan tumbuh dalam pengasuhan TV.

Saya tidak menyalahkan TV. Saya tidak menjudge TV pembunuh di negeri ini, tapi lihatlah konten isi TV. Apakah otak anak anak kita bisa menyaring semua dengan bijaksana atau justru menjadikan TV sebagai tuntunan.

Be Wise

Yap, as parents, negeri ini sudah darurat kontrol. Anak anak sangat rentan dengan bahaya Napza (Narkotik, Psikotropika, dan zat adiktif lainnya). Ngeri. Ya, saya hanya bisa mengelus kepala anak anak saya.. Sambil membacakan doa yang diajarkan Rasulullah..

“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari Kejahatan dan Kecelakaan, dari Orang orang yang jahat, dan suka berbuat zalim “

Kita hidup pada masa akhir zaman. Rasulullah mengingatkan bahwa tanda tanda akhir zaman adalah Pembunuhan di mana mana. Perzinahan akan menjadi hal biasa (Astaghfirullah..), perempuan sibuk memamerkan auratnya, gempa bumi, kecelakaan dll, inilah fenomena itu. Inilah kita yang hidup pada masa diriwayatkan Rasul yang hidup beribu tahun silam..

Benteng itu Bernama Keluarga

Sekali lagi, mungkin saya lebih baik mengajak anak jalan jalan daripada membiarkan mereka di depan TV tanpa pengawasan. Saya terkejut ketika mendapati anak saya bercerita tentang tayangan yang habis ditonton di TV, “umi om nya jatuh dari kuda, om nya mati, om nya bla bla bla..”. Anak mampu melihat secara fisik, mendengar dengan baik segala dialog. Tapi tidak otak nya. Otak prefrontal conteks yang merupakan bagian otak yang mengontrol moral nilai, pengontrolan diri, dan pengambilan keputusan belum terbentuk dengan sempurna. Maka anak cenderung bertindak impulsif. Maka ada anak anak yang berdialog seperti orang dewasa, berpakaian seperti dewasa, tapi tidak kematangan berfikir dan emosionalnya.
Anak anak SD yang membunuh itu pun tidak sepenuhnya sadar akan konsekwensi perbuatannya. Mereka hanya meniru.

Sungguh disayangkan. Mencederai otak anak dengan input yang belum sesuai untuk usia nya.

Belajar dan Belajar.

Dampingi mereka wahai bunda, ayahanda.. Merekalah aset masa depan kita. Kita tentu tak mungkin 24 jam mendampingi mereka. Tapi kita bisa FIGHT memberi mereka imunitas kekebalan hati, imunitas iman dan penanaman nilai hidup yang tentu tidak akan bisa mereka serap semata dari TV.

Anak anak kita sudah cukup dijejali dengan retorika tanpa keteladanan. Anak anak kita butuh sentuhan cinta, bukan benda.

Ketika kasus pembunuhan pada anak berusia 9 tahun yang disertai dengan Pemerkosaan. Kita terhenyak. Ada rentetan kisah disana. Pembunuhan dan Pemerkosaan pada anak usia 9 tahun, maka si pelaku adalah pesakitan yang terpapar Pornografi sekian tahun. Ketika nafsu mendapat celah dan dibisiki syeitan durjana, maka manusia lebih hina dari hewan. Manusia menanggalkan kemanusiaannya.

Islam mengatur sedemikian baik. Hukum mati bagi mereka si pelaku biadab. Bahwa tindakan preventif untuk anak anak negeri ini harus diaktifkan. Agar kisah anak anak pelaku kekerasan lenyap dari negeri ini. Cukup sudah. Semoga ini yang terakhir.

Semoga kita, saya, anda mampu bergerak. Matikan TV. Filter tayangan dan yang masuk ke mata anak anak kita. Anak anak didik kita. Bekali dengan cinta dan cahaya. InsyaAllah, kita akan membaca lebih banyaak kisah prestasi anak anak negeri ini dibanding kisah yang saat ini saya, kita baca dan membuat bergidik dan beristighfar..

InsyaAllah.. Allahumma Aamiin..

Hanya sekedar ingin menjelaskan bahwa sebelum mempublish kembali status ini di BloggerBorneo.Com, Blogger Borneo telah meminta ijin dengan pembuat status tersebut yaitu Nailah Assagaf. Alhamdulillah Beliau memberi respon positif dengan memberikan ijin. Blogger Borneo berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin… (DW)

Sumber Referensi:

  • https://www.facebook.com/ilasyegaf/posts/10207217621150513
Artikel Lainnya
Leave A Reply

Your email address will not be published.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More