Kisah Nyata Dokter Neurolog Merawat Pasien HIV AIDS Anak Berusia 14 Tahun
BloggerBorneo.com – Secara personal, disini saya berusaha untuk menyebarkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kondisi para penderita HIV AIDS di Indonesia yang jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya. Dan diantara para penderita yang pernah dirawat, umumnya mereka adalah kaum homo atau istilah kerennya disebut sebagai gay.
Sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai GP pada tahun 97, saya sudah mulai ikut bergabung dengan POKDISUS HIV RSCM. Saat itu saya masih muda belia, namun mulai aktif mengunjungi pasien-pasien HIV/AIDS di beberapa Rumah Sakit (RS) di Jakarta. Waktu itu belum banyak RS yang punya kapasitas menangani pasien full blown AIDS, karena memang waktu itu universal precautions belum dipopulerkan.
Saya masih ingat pada saat itu ada sekitar 79 pasien full blown AIDS yang dirawat di beberapa RS di Jakarta, dan in fact, kesemuanya pria dan KESEMUANYA GAY. Now they are all passed away.
Tahun-tahun berikutnya, HIV/AIDS menjadi SEMAKIN BIASA, walaupun sudah dibentuk badan penanggulangan yang bersifat nasional (WOW!!!). Korban #TragediLGBT ini justru semakin meluas, sampai kalangan anak-anak pun kena.
Saya ingat, saya pernah menangani seorang pasien anak berumur 14 tahun yang mengidap Meningitis Kriptokokus HIV. Almarhum ini berprofesi sebagai pelacur anak yang menyaru sebagai joki 3 in 1 di salah satu kawasan jalan protokol di Jakarta. Kisahnya memilukan pastinya, sebab dia menjadi joki dengan meninggalkan sekolah demi cari uang untuk bantu dapur Sang Emak.
Dalam perjalanannya sebagai joki, dia kemudian ditawarkan untuk dijadikan objek seksual om-om yang mengambilnya sebagai joki dengan imbalan 50 ribu sampai 100 ribu untuk sekali “sodok”.
Dengarlah katanya waktu saya tanya bagaimana rasanya?
“Pertamanya sakit banget, Tante. Tapi lama-lama biasa kok. Yang penting bawa pulang uang buat emak.”
Dia berakhir sore-sore sekitar jam 5 sore, ditemani suster ruangan dan saya. Tak ada emak yang menunggu, apalagi om-om yang kerap “memakainya”. Semoga Allah menerimanya di sana dengan suka cita dan tempat kembali yang indah, Aamiin. Dan semoga Allah melaknat si om-om (sinting) yang tak puas dengan istri dan perempuan sampai harus cari anak-anak untuk melampiaskan nafsu bejat durjana, Aamiin.
Cerita selanjutnya adalah biasa. Kemudian banyak yang kena full blown AIDS PARA PRIA BERISTRI YANG ENTAH KENAPA KEMUDIAN MENGUBAH DENGAN SADAR ORIENTASI PENISNYA KE ANUS LELAKI LAIN (Maaf vulgar)!
Mereka datang silih berganti ke tempat praktek maupun ruang rawat, dan meninggal silih berganti juga. Sekitar sampai 5 tahun lalu, pengidap full blown AIDS akibat #TragediLGBT ini masih berada dalam kelompok umur 18-35 tahun (yang saya rawat), sekali dua ada yang di atas 40 tahun. Dan baru sekali merawat yang berusia 56 tahun, mungkin sekitar 8 atau 9 tahun lalu? Riwayatnya serupa, pria beristri yang mencoba bertualang pada sesama jenisnya, entah untuk apa (Gue belum mau tau deh kayaknya.
Tapi sejak 2 tahun terakhir, #TragediLGBT ini makin meluas pada kelompok umur yang lebih tua (mangga sejawat yang punya pengalaman di-share juga, supaya fakta makin terbuka). Dalam 2 tahun terakhir, sudah beberapa kali saya merawat AKI-AKI dengan Meningitis TB Related-HIV dan Toksoensefalitis HIV dan berakhir tentu dengan kegagalan multi organ.
Usia di atas 60. Riwayat adalah “berpacaran” dengan anak muda 20 sampai 30 tahunan (entah untuk apa juga, sebab saya pikir di umur 60, mestinya juga sudah tidak mudah untuk “dihidupkan” ya?).
Dan saya juga sudah merawat “korban” para aki-aki ini, pria-pria muda beristri, umur 30 tahunan, sebagian besar dengan Toksoensefalitis HIV. Riwayatnya, mereka ditawarkan sejumlah uang oleh para aki-aki “keblinger” yang kebanyakan uang dan sudah bosan perempuan (mungkin ya, ini opini saya pribadi) untuk mencoba seks “brutal” yang berujung kematian itu. Dan selalu kisahnya ya sama. Saat sakit dan sekarat, yang mendampingi adalah para istri, baik si aki-aki yang didampingi nini-nini, dan anak muda yang didampingi istri (terkadang balitanya juga dibawa). Saya belum pernah bertemu “mereka²” yang kalau kontrol didampingi “pacar-pacarnya”.
Sampai saat ini saya, dan saya kira banyak teman sejawat terutama bidang Internis, Saraf, dan Kulit & Kelamin, masih terus menerima dan merawat pasien-pasien dengan full blown AIDS yang latar belakangnya adalah pelaku penyimpangan perilaku seksual.
Saya tidak mengatakan bahwa hubungan heteroseksual murni tidak berisiko menularkan HIV, tapi fakta yang saya temui di lapangan, yang terbanyak masih pelaku penyimpangan perilaku seksual.
Saya kira sudah cukup alasan bagi kita semua untuk mengakhiri #TragediLGBT. Kita harus berusaha sekuat-kuat kita, dengan segala sumber dan kekuatan yang kita miliki, untuk menyelamatkan spesies Homo Sapiens dari kepunahan dengan menghentikan penyimpangan perilaku seksual. Harus banyak aspek yang kita gali dan kita perbaiki, dan terutama adalah aspek komunikasi efektif dalam keluarga, daya tahan lingkungan dan rukun tetangga, serta perlindungan hukum dari pemerintah yang berwenang.
Mari jangan pernah putus asa menyuarakan yang benar dan baik untuk kemanusiaan, dengan segala halangan dan rintangan.
Sumber Tulisan: