Ibrahim Vatih, Pendiri Pesantren Penghasil Santri Hafal Al-Quran dan Jago Internet Marketing

Image: Sintesa.Net

Pesantren Sintesa, sudah cukup lama Blogger Borneo mendengar nama yang sepertinya sudah cukup terkenal dan menjadi bahan pembicaraan beberapa sahabat yang notabene kesehariannya memiliki aktivitas menjadi seorang internet marketer di Indonesia.

Hanya saja untuk menuliskan secara lengkap mengenai keberadaan pesantren ini rasanya Blogger Borneo belum berani melakukannya dikarenakan sampai detik ini belum pernah sekalipun datang bersilaturahim langsung untuk melihat dengan mata kepala sendiri mengenai seperti apa aktivitas yang dijalankan selama ini.

Pesantren Sintesa

Alhamdulillah di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini Blogger Borneo secara tidak sengaja membaca sebuah tulisan yang ditulis oleh Iqrok Wahyu Perdana, S.Kom dan disebarkan oleh salah seorang pengguna Facebook bernama Rina Marinnisa.

Melihat tulisan ini Blogger Borneo langsung tertarik untuk membacanya karena berisikan satu cerita mengenai seorang pemuda yang meskipun usianya baru 21 tahun sudah bisa memberi makan 100 orang secara gratis di pondok pesantrennya.

Penasaran dengan sosok muda tersebut??? Dialah Ibrahim Vatih, pendiri Pesantren Sintesa.

Kisah Asal Mula Berdiri

Dalam tulisan yang diberi judul “Al-Hafidz Memberi Makan 100 Orang Setiap Hari dengan Berkah Qur’an?”, Iqrok menceritakan bagaimana seorang Ibrahim Vatih Al-Hafidz dalam kehidupannya di usia belia sudah diberikan keberkahan ilmu dan rizki oleh Allah SWT.

Dengan bermodalkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, setiap bulannya Ibrahim Vatih mampu menghidupi para santri yang ingin belajar di pesantrennya tanpa perlu membayar biaya pendaftaran sepeserpun.

Kira-kira apa yang membuat Ibrahim Vatih mampu melakukan hal seperti ini? Mari terus simak kisah perjalanan hidupnya dibawah ini…

Memang jika dilihat sepintas, tidak ada yang tampak spesial dari sosok seorang Ibrahim Vatih Al-Hafidz. Usianya masuk cukup muda yaitu 21 tahun.

Dibandingkan dengan kawan sebayanya, Vatih juga tidak jauh berbeda, tetaplah  generasi milenial yang hobi bermain game dan travelling.

Akan tetapi dibalik usia mudanya tersebut, ternyata Vatih sudah memiliki jiwa yang cukup dewasa. Kedewasaan berpikirnya secara jelas ditunjukkannya ketika Vatih memutuskan untuk menikah di usia belia.

Kisah berdirinya Pesantren Sintesa bermula ketika sekitar 3 tahun yang lalu Vatih membuat keputusan penting dalam hidupnya.

Setelah melalui perjalanan pengembarannya ke beberapa kota dan sempat menetap di Jogjakarta, akhirnya Vatih memutuskan untuk kembali ke Magetan.

Disini Ibrahim Vatih kemudian merintis sebuah pondok internet marketing yang dinamakan SINTESA (Sinergi Terpadu Santri).

Workshop Digital Marketing untuk Lembaga Pendidikan 2024

Para Santri Pesantren Sintesa
Image: Sintesa.Net

Pendaftaran Gratis, Biaya Hidup Dijamin

Bersama Hijaukan Generasi Indonesia, tulisan ini secara jelas dapat dilihat di halaman website resmi Pesantren Sintesa.

Sesuai dengan misinya yaitu melakukan reboisasi terhadap generasi muda Indonesia, Pesantren Sintesa menerapkan konsep pembelajaran yang seimbang antara dunia dan akhirat.

Secara garis besar, program-program yang telah diterapkan selama ini, antara lain:

  • Sholat Wajib 5 Waktu;
  • Tahfidz Al-Qur’an;
  • Dhuha Setiap Hari;
  • Puasa Sunah Senin-Kamis;
  • Dzikir Pagi-Petang;
  • Membangun Website;
  • SEO Marketing;
  • Social Media Marketing;
  • Optimasi Keyword;
  • Teknik Menulis yang Baik;
  • Mengasah Skill Backlink; dan
  • Program-Program Lainnya.

Untuk dapat mendaftar dan masuk menjadi keluarga besar Pesantren Sintesa, para calon santri harus melalui beberapa proses seleksi cukup ketat karena jumlah penerimaan tiap tahunnya hanya dibatasi maksimal 100 orang.

Baca Juga:  Kronologi Sejarah Palestina, Setelah Hancurnya Khilafah Islam

Selain tidak dikenakan biaya pendaftaran, nantinya selama berada di pesantren ini para santri akan tetap ditanggung penginapan, makan, dan minumnya sehari-hari.

Selain belajar internet marketing, para santri nantinya akan didorong untuk terus menambah hafalan Qur’an nya setiap hari.

Santri Pesantren Sintesa Sedang Diskusi
Image: BorneoChannel.Com

Karena Berkah Al-Qur’an

Blogger Borneo yakin kawan-kawan pasti akan bertanya-tanya bagaimana bisa sebuah pesantren menghidupi para santrinya yang dalam proses pendaftaran mau pembelajarannya sama sekali tidak dikenakan biaya bulanan alias gratis.

Sekarang coba dihitung berapa biaya operasional yang dibutuhkan setiap bulannya untuk menghidupi kurang lebih 100 orang santri ini?

Jika asumsinya per hari saja setiap orang membutuhkan anggaran 15 ribu, maka dalam satu bulan biaya yang harus dikeluarkan adalah 100 orang x 15 ribu x 30 hari = 45 juta. Wow… angka yang cukup lumayan besar. Darimanakah uang sebanyak ini berasal???

“Dari ALLAH”, demikian jawaban singkat dari Vatih. Dalam keseharian, sosok yang lebih sering dipanggil Gus Vatih oleh para santrinya ini selalu memberikan nasehat kepada para santrinya.

“Kesuksesan kalian di bidang internet marketing bukan karena kerja keras atau kepintaran kalian, bisa jadi karena sholat kalian, puasa kalian, dzikir kalian, dan hafalan Al-Qur’an kalian.” kalimat seperti ini tidak bosan-bosannya diucapkan oleh Ibrahim Vatih dalam setiap kesempatan.

Latar Belakang Ibrahim Vatih

Melihat sosok Ibrahim Vatih dan segala keberkahan yang diperolehnya dalam usia yang cukup muda tentu saja membuat siapa saja merasa penasaran untuk mengetahui lebih dalam mengenai profil pendidikan dan latar belakang keluarga yang melahirkan pemuda keren yang sangat langka kita jumpai seperti ini.

Secara gamblang, Iqrok menjelaskan Gus Vatih sebagai seorang sosok otak kanan yang berjiwa rebel (pemberontak). Bagamana tidak, ternyata Vatih bukanlah seorang lulusan Universitas manapun.

Bahkan SD pun tidak lulus alias keluar dengan hati lapang (dia sendiri memutuskan untuk tidak sekolah). Gus Vatih dan Gus Fathan (kakaknya) sudah berani minta berhenti sekolah ketika masih SD ke Ayah beliau berdua, Al-Ustadz Riyadh Rosyadi, Lc.

Padahal Abahnya sendiri adalah pencetus SDIT pertama di Magetan.

Aktivitas Online Santri Pesantren Sintesa
Image: Sintesa.Net

Diskusi dalam Keluarga

Meski bisa dianggap gila, demikian ungkapan yang diberikan oleh Iqrok ketika mengetahui Vatih minta berhenti sekolah di tingkatan SD, Abahnya justru menanggapinya dengan kepala dingin dan lebih mengutamakan dialog ketimbang harus meresponnya dengan emosi.

Ya mungkin kita akan langsung memarahi anak kita ketika mengetahui dirinya memutuskan untuk berhenti sekolah, tapi justru disinilah luar biasanya sosok seorang Ustadz Rosyadi.

Intinya setelah melakukan diskusi, Abahnya pun memberikan izin untuk tidak sekolah. Bahkan Beliau berujar bahwa sekolah tidak wajib. Yang wajib itu adalah menuntut ilmu.

Oleh karena itu, Ibrahim Vatih dan Fathan dibebaskan menuntu ilmu dimanapun dengan satu syarat, yaitu mereka harus menyelesaikan hafalan 30 juz terlebih dahulu dulu. Masya Allah…

Akhirnya kedua kakak beradik ini sepakat dengan persyaratan yang diajukan oleh Abahnya dan berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz dan mondok dengan sistem mulazamah (nginthili Ulama yang ingin mereka serap ilmunya). Sistem pendidikan salafus shalih yang mati di zaman ini.

Ibrahim Vatih Pendiri Pesantren Sintesa
Image: Sintesa.Net

Melihat kedua kakaknya lebih memilih jalur pendidikan independen dengan menjadikan pondok pesantren sebagai salah satu sumber mendapatkan ilmu, ketiga adik-adiknya juga pada akhirnya mengikuti jejak langkahnya.

Said, Umar, dan Hammad, ketiga adik beradik ini melengkapi status mereka berlima yaitu tidak mengikuti proses belajar mengajar secara resmi.

Meskipun kelimanya tidak sekolah, bukan berarti mereka bodoh. Yang terpenting sebenarnya adalah mereka semua telah hafidz 30 juz di usia yang cukup muda.

Baca Juga:  Zahir Internasional Menjalin Kerjasama Goes to Campus dengan President University

Sedangkan untuk pendidikan, mereka menempuh proses pembelajaran gaya bebas di luar ruangan sesuai hobi mereka masing-masing.

Dari belajar gaya bebas itulah mereka menemukan jalan rizkinya masing-masing. Yang bukan hanya cukup utk menafkahi keluarga, tapi juga utk membiayai perjuangan khidmat lil ummah.

Dan Alhamdulillah semuanya telah menikah di usia yang sangat muda (rata-rata 17 tahun).

Lah sekarang kita sewaktu umurnya 17 tahun sudah pada ngapain aja???

Penutup

Sekarang dari tulisan diatas, kesimpulan apa yang bisa diambil?. Mengutip dari apa yang telah dituliskan oleh Iqrok Wahyu Perdana, S.Kom, ada dua kesimpulan bisa diambil dari kisah perjalanan hidup seorang Ibrahim Vatih Al-Hafidz, antara lain:

Sekolah Formal Bukan Jaminan

Sekolah formal bukan jaminan kesuksesan di masa depan. Jangan takut anak kita tidak bisa makan jika seandainya nanti dia memilih tidak menempuh jalur pendidikan formal (tidak punya ijazah).

Tapi takutlah jika Anak kita tidak mengenal Allah, tidak cinta Allah, tidak percaya Allah itu Al-Kholiq, Al-Malik, dan Ar-Roziq (Allah Maha Pencipta, Allah Maha Pemelihara, dan Allah Maha Pemberi Rizki).

Tidak yakinkah Anda dengan jaminan Allah? Bahwa penghafal Qur’an itu Allah jamin rizkinya, bahkan disebut Ahlullah (keluarga Allah dari kalangan manusia). Jangan takut Anak kita menjadi faqir lantaran belajar Agama.

Namun takutlah meninggalkan mereka sedang mereka dalam keadaan lemah iman.

Semua Anak Bisa Menghafal Al Qur’an

Kisah ini sekaligus membantah anggapan sebagian kalangan bahwa menghafal Qur’an hanya cocok untuk anak-anak dominan otak kiri. Yang mereka memang dilahirkan dengan keunggulan berpikir linier, terstruktur, dan lain sebagainya.

Kalangan tersebut menilai bahwa anak-anak dominan otak kanan tidak cocok menghafal Qur’an karena daya pikir dominannya adalah kreatif, imajinatif dan lateral.

Tidakkah Anda yakin dengan firman Allah bahwa Al-Qur’an ini telah dimudahkan untuk dihafal. Hanya saja tidak semua orang bisa menghafalnya karena 3 faktor, antara lain: Azzam (Tekad), Istiqomah, dan Do’a.

Catatan:

Tulisan ini tentu bukan ditujukan untuk menyerang pendidikan formal. Jalur pendidikan formal dan informal adalah pilihan. Semua orang berhak sukses dengan jalur yang dia pilih. Ada juga Hafidz Qur’an yang sukses dengan menempuh jalur pendidikan formal. Seperti Muzammil Hasballah, pemuda Hafidz ganteng yang gratis kuliah di ITB dengan beasiswa jalur Hafidz/prestasi.

Belajar dari keluarga para penghafal Qur’an ustadz Riyadh Rosyadi. Ada 3 kesamaan yg kami temui diantara mereka berkat menghafal Qur’an:

  1. Dewasa: Mereka, para huffadz itu mampu tampil dengan kematangan dan kedewasaan dini, melebihi pemuda seusianya.
  2. Cerdas: Mereka, para huffadz itu sangat cerdas dalam mempelajari sesuatu. Memiliki kemampuan berpikir dan akselerasi proses belajar diatas rata-rata. Seolah-olah Allah bukakan seluruh pintu ilmu pengetahuan yang mereka butuhkan.
  3. Rizki: Mereka, para huffadz itu sudah mandiri mengais maisyah (nafkah) sejak muda. Seolah-olah Allah bukakan keberkahan rizki dari langit dan bumi untuk berkhidmat pada mereka.

Setelah Anda membaca tulisan ini, apa yang Anda pikirkan?

Tidak inginkah putra-putri Anda menjadi seorang Hafidz Qur’an?

Bekalilah putra-putri Anda tercinta dengan bekal terbaik di dunia dan akhirat. Al-Qur’an Al-Karim.

Keterangan:

Mohon berkenan menyebarkan tulisan ini. Semoga Allah membalas kebaikan Anda dengan dijadikannya keluarga kita menjadi keluarga Haamilal Qur’an. Jazakallah Khoiron Katsiro.

Referensi:

  • https://www.facebook.com/rina.marinnisa/posts/1693587017422561

Tanggapan dan Klarifikasi

Ditulis oleh Ahmad F Fauza

Menyebarkan kabar kebaikan itu tentu bagus, tapi bagaimana jika kabar yang disebar itu tidak benar alias ‘hoaks’?

Baca Juga:  Rute Penerbangan Baru Wings Air Pontianak ke Palangkaraya dan Semarang PP

Sebelumnya saya mohon maaf karena terpaksa harus menulis klarifikasi ini.

Saya menemukan tulisan viral (sebagaimana yang tercantum di gambar) di Facebook dan juga grup WhatsApp dimana tulisan ini menyangkut tentang keluarga besar saya.

Saya pribadi pernah beberapa kali berinteraksi dengan pembuat tulisan tersebut karena memang sudah ada pertemanan di aplikasi Facebook. Akan tetapi setelah saya hubungi beliau mengenai tulisan tersebut, tidak ada respon dari beliau sehingga akhirnya saya menulis tulisan ini.

Inilah pentingnya melakukan klarifikasi jika kita menyebarkan informasi penting, walaupun niatnya memang baik. Akan tetapi jika informasinya salah tetap saja menjadi suatu kebohongan publik dan bisa menimbulkan keresahan.

Ada “beberapa” kesalahan informasi didalam tulisan tersebut yang saya rasa cukup mengganggu, karena pertama beliau yang menulis tidak melakukan klarifikasi terhadap keluarga kami padahal beliau mengesankan sangat mengenal kami secara akrab dan kedua data-data yang disebutkan berulang-ulang adalah tidak valid sehingga kesannya seperti “sok tahu” tentang keluarga kami.

  1. Dari judulnya disebut bahwa Vatih (adik saya) disebut al-Hafidz padahal beliau tidak memiliki gelar tersebut.
  2. Masih di judulnya, santri kami yang bermukim dan makan setiap hari di sini jumlahnya sekitar 40-an orang. Masih jauh dari angka 100 yang nampak fenomenal itu.
  3. Tertulis di situ siapapun bisa masuk sini gratis. Padahal untuk bisa diterima di sini perlu ada beberapa persyaratan yang tidak mungkin semua orang bisa memenuhi.
  4. Mengulang kesalahan sebelumnya, tertulis lagi hitung-hitungan biaya makan 100 orang padahal itu hanya asumsi.
  5. Tertulis di situ bahwa kami (saya dan adik-adik saya) adalah tidak lulus SD, bahkan ditulis juga nama saya di situ. Padahal kami punya ijazah SD. Di yayasan yang dikelola keluarga kami ada SDIT dan semua adik-adik saya adalah alumni sini (kecuali saya yang dulu lulus MI di Pesantren Temboro).
  6. Yang pertama kali minta berhenti sekolah adalah saya dan waktu itu saya sudah kelas XI (2 SMA). Orangtua saya juga tidak langsung setuju melainkan melalui diskusi panjang dengan saya pada waktu itu. Setelah akhirnya orangtua setuju, barulah adik-adik saya yang SUDAH LULUS SD berhenti dari sekolah.
  7. Tertulis bahwa saya dan adik-adik telah hafizh 30 juz. Padahal yang benar-benar AL-HAFIZH hanya Hammad. Said juga pernah selesai 30 juz tapi kurang tahu sekarang kabarnya gimana. Saya hanya pernah menghafal sekitar 17-an juz, Vatih juga setahu saya belum al-Hafizh, apalagi Umar yang juga masih di bawah saya.
  8. Tertulis kami menikah di usia 17 tahun. Yang benar adalah saya, Vatih, Said, & Umar menikah di usia 19 tahun. Sedangkan Hammad menikah di usia 18 tahun.
  9. Mengenai informasi yang lebih valid dan akurat mengenai kehidupan keluarga kami sudah ditulis ke dalam buku oleh istri saya yang berjudul “Menantimu di Ujung Rindu”. Di buku tersebut diceritakan juga kisah-kisah saya dan adik-adik saya serta orang tua kami. Bisa langsung cek ke akun Instagram istri saya @riri.abdillah.
  10. Tertulis abah saya bergelar Lc, padahal tidak.

Kurang lebih itu klarifikasi yang perlu saya sampaikan. Saya paham bahwa niatnya adalah baik dalam menulis tulisan ini, akan tetapi ternyata ada kesalahan fatal yang harus dikoreksi.

Saya pribadi merasa bukanlah orang yang hebat luar biasa. Adik-adik saya pun juga bukan seperti orang yang digambarkan dalam tulisan tersebut. Intinya kami semua sama seperti orang-orang pada umumnya yang masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya.

Untuk melengkapi klarifikasi ini, berikut saya cantumkan juga tulisan asalnya yang sudah viral tersebut.

Jika Anda tidak suka Hoaks, silahkan bantu share/sebarkan.

Artikel Lainnya
Leave A Reply

Your email address will not be published.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More