Dari Sebuah Kebijakan Menjadi Sebuah Ancaman
BloggerBorneo.com – Rido, bocah lucu dan mungil berusia 4 tahun ini terpaksa harus menjalani perawatan secara instensif di rumah sakit Pertamina karena seluruh tubuhnya mengalami luka bakar yang cukup serius akibat ledakan tabung gas 3 kilogram yang terjadi dirumahnya 24 maret silam.
Sebenarnya kasus ini tidak akan mencuat ke permukaan jika susi, ibu korban dengan nekatnya mendatangi istana merdeka untuk meminta pertanggungjawaban dari Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.
Rido merupakan salah satu diantara sekian banyak korban ledakan tabung gas yang belakangan ini kerap terjadi sebagai dampak dari kebijakan konversi dari minyak tanah ke tabung gas yang pada saat itu dicanangkan oleh Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla.
Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa jumlah korban ledakan tabung gas pada tahun 2010 sampai dengan bulan Juni kemarin telah mencapai 78 orang. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah korban ledakan tabung gas 2 tahun sebelumnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebijakan yang diambil pemerintah pasti akan memberikan dampak positif maupun negatif terhadap objek kebijakannya.
Sama halnya dengan kebijakan konversi ini yang diambil sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meringankan beban APBN dengan mengurangi satu pos pengeluaran berupa subsidi minyak tanah untuk masyarakat.
Lagipula jika dihitung perbandingan antara penggunaan bahan bakar minyak tanah dengan gas, maka akan diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan gas lebih hemat dan efisien.
Nah, masalah baru timbul ketika kebijakan tersebut mulai diterapkan.
Tidak tahu siapa yang bisa disalahkan dalam kasus ini, apakah pemerintah sebagai sang pembuat kebijakan ataukah pihak-pihak tertentu yang dengan adanya kebijakan ini malah mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Namun yang pasti, hampir setiap hari kita dengar sekarang pemberitaan mengenai jatuhnya korban jiwa akibat dari meledaknya tabung gas yang mereka gunakan.
Dan sebagian besar korban yang jatuh tersebut justru berasal dari masyarakat kecil dan miskin yang dengan kepolosannya terpaksa mengikuti kebijakan konversi ini.
Kurangnya sosialisasi terhadap cara penggunaan kompor menggunakan tabung gas menjadi salah satu faktor utama kenapa kejadian ini terus berulang.
Bahkan ada beberapa pihak yang menyatakan sosialisasi yang dilakukan sudah sangat terlambat, sudah berapa korban yang jatuh baru sosialisasi kembali gencar dilakukan.
Selain itu, adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kesempatan dengan membuat aksesoris-aksesoris yang tidak sesuai standar pabrik seperti tabung gas dengan bahan pembuat yang tipis maupun regulator beserta selangnya yang mudah bocor juga turut memicu kejadian ini akan kembali terjadi.
Sekali lagi pemerintah kalah cepat dengan para produsen aksesoris-aksesoris tersebut. Kenapa baru sekarang pemerintah menetapkan bahwa aksesoris-aksesoris yang digunakan harus sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Pemberian label Standar Nasional Indonesia (SNI) saat ini juga tidak akan bisa mengembalikan jiwa para korban yang telah menjadi korban sebelumnya.
Kenapa semua itu baru terpikirkan oleh pemerintah setelah begitu banyak orang yang meregang nyawa demi terlaksananya kebijakan ini? Kenapa tidak sejak awal semuanya diperhitungkan secara matang sehingga jatuhnya korban jiwa bisa dihindari.
Ya sudahlah, percuma juga kalau mau dibicarakan sekarang karena semuanya sudah terlambat. Kami hanya bisa berharap kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali, jangan sampai ada Rido-Rido lain yang menjadi korban. (DW)