Kisah Lahirnya Maha Karya Sahih Bukhary Hingga Wafatnya Sang Imam di Malam Idul Fitri
Penulis: Saief Alemdar
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari atau lebih dikenal sebagai Imam Bukhary menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk merampungkan maha karyanya “Al jami’ Al musnad Al sahih Al mukhtasar fi Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi” atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Sahih Bukhary.
Setelah rampung, karya itu diuji kelayakan dan kualitasnya oleh para ulama dan akademisi Hadis pada zaman itu, dan mereka semua mengatakan “Bagus”.
Kalau seandainya beliau dapat royalti dari karyanya itu, aku tidak tahu sudah berapa banyak uang yang beliau dapatkan. Selama 1000 tahun lebih dicetak ulang terus buku itu!
Suatu hari, seorang laki-laki bertanya kepada Imam Bukhary, “Siapakah orang paling keren di dunia dalam bidang hadis saat ini?”. Sang Imam menjawab, “Guru saya, Imam Aly Ben Madiny”.
Pergilah laki-laki itu menemui sang Imam dan mengatakan kepada Imam apa yang dikatakan oleh muridnya, Bukhary.
Imam Ben Madiny mengatakan, “La tusaddiqhu, huwa lam yura misluhu”, kira-kira begitu jawab Imam Ben Madiny yang artinya kira-kira lagi “Jangan percaya, Bukhary lah yang paling keren!”
Imam Ben Madiny menghargai muridnya, menghargai juniornya, tidak iri karena muridnya dan juniornya lebih keren. Karena, senior umur tidak selalu berarti senior ilmu.
Itu sedikit kisah tentang Imam Bukhary, pemilik Sahih Bukhari yang dianggap oleh para ilmuwan muslim sebagai kitab kedua paling otentik di muka bumi setelah AlQuran. Begitulah kehidupan beliau, tapi jarang kita ketahui bagaimana beliau meninggal.
Di akhir hayatnya, Imam Bukhari banyak mendapatkan perlakukan yang tidak baik dari para Wali pemerintah di kota-kota Transoxiana, seperti Samarkand, Bukhara dan Nishapur, karena berbagai sebab, salah satunya adalah karena beliau menolak untuk mengajar anak-anak pejabat itu di istana mereka.
Menurut Imam Bukhari, Ilmu itu mahal, kalau perlu ilmu datangi ulama, bukan ulama disuruh ke istana! Pada umur 62 tahun, Wali Nishapur mengeluarkan keputusan agar Imam Bukhari meninggalkan kota Nishapur, kalau sekarang istilahnya beliau di-PNG kan.
Sang Imam pergi pulang ke kampung halamannya di kota Bukhara. Sampai di Bukhara para masyarakat menyambut sang Imam dengan gegap gempita.
Bagaimana tidak, mereka menyambut seorang anak kampung yang pulang ke kampungnya setelah menjadi professor dan mengharumkan nama kampungnya.
Sambutan tersebut tidak disukai oleh Wali Bukhara, ditambah lagi surat dari Nishapur kepada Kepala pemerintah Bukhara untuk mengusir Imam Bukhari seperti sebelumnya diusir dari Nishapur.
Ketika Imam sedang istirahat di rumah, tiba-tiba utusan pemerintah Bukhara datang dan menyampaikan keputusan agar Imam segera keluar dari Bukhara, status berita keputusan “SEGERA”.
Akhirnya sang Imam dipaksa keluar, bahkan beliau tidak sempat beres-beres dan sang Imam pun keluar dari rumahnya menuju ke luar kota dan disana sang Imam mengelar tenda selama 3 hari dan tidak tahun mau pergi kemana.
Selama 3 hari itu sang Imam membereskan buku-bukunya dan merapikannya sehingga dapat diangkut oleh keledai yang beliau miliki.
Akhirnya sang Imam berjalan menuju ke Samarkand, namun tidak memasuki kota, beliau singgah di pinggiran kota di rumah seorang kerabatnya di sebuha desa bernama Kharnatak. Saat itu beliau ditemani oleh Ibrahim ibn Màqil, seorang Qadhi dan juga periwayat Hadis.
Dan memang sepertinya, Wali Nishapur tidak hanya mengusir Imam Bukhari, tetapi meminta kepada seluruh Interpol di wilayah di kota-kota Transoxiana untuk menetapkan Imam Bukhari sebagai seorang persona non-grata yang tidak boleh menetap disana.
Benarlah, baru beberapa waktu beliau singgah di rumah kerabatnya di pinggiran Samarkand, tentara pun datang mengusir sang Imam dengan status berita keputusan “SEGERA”!
Padahal malam itu adalah malam Idul Fitri, dan sang Imam berharap “segera” bisa besok hari setelah solat Ied misalnya. Ternyata malam itu sang Imam harus pergi. Sang Imam keluar rumah kerabatnya itu bersama dengan Ibrahim ibn Màqil.
Namun kondisi Imam tidaklah sedang baik-baik saja, beliau terlihat lelah dan rapuh akibat kondisi kesehatan, sehingga beliau berhenti di pinggir jalan dan beristirahat.
Beberapa saat beristirahat, sang Imam tertidur. Ketika Ibrahim ibn Màqil membangunkan sang Imam, ternyata ruh sang Imam telah pergi meninggalkan hiruk pikuk dunia dengan tenang menuju keharibaan Rabb-nya yang mencintainya.
Sang Imam meninggal di pinggir jalan pada malam Idul Fitri tahun 256 Hijriyah dengan status PNG dari kota ke kota, dan dimakamkan di desa Kharnatak yang hari ini dikenal dengan nama Xoʻja Ismoil.
Beliau meninggal pada umur 62 tahun, dan hingga saat ini setelah 1189 tahun, kita tidak pernah tahun siapa nama Wali Nishapur, Wali Bukhara ataupun Wali Samarkand, tetapi semua kita tahu Imam Bukhari dan karyanya menjadi best seller sepanjang masa. Rahimahullah… (CW)
Comments are closed.