Evakuasi Juliana Marins di Rinjani dan Tantangan Nyata Operasi SAR yang Tak Banyak Dipahami Publik
Evakuasi jenazah pendaki Brasil di Gunung Rinjani menuai kritik. Namun benarkah tim SAR lambat? Inilah penjelasan faktual tentang risiko, tantangan, dan realitas lapangan yang tak diketahui publik.
BloggerBorneo.com – Proses evakuasi jenazah pendaki asal Brasil, Juliana Marins (27), yang jatuh ke jurang sedalam 600 meter di Gunung Rinjani, Lombok, menyita perhatian publik.
Setelah lima hari pencarian intensif sejak Sabtu (20/6/2025), tim SAR akhirnya berhasil mengevakuasi korban pada Rabu (25/6/2025).
Proses Evakuasi Juliana Marins
Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul gelombang kritik tajam di media sosial. Tim SAR dianggap lambat dan tidak kompeten.
Beberapa komentar bahkan menyerukan pembubaran lembaga SAR yang terlibat, termasuk Basarnas, BPBD, dan relawan independen.
Ungkapan-ungkapan ini, menurut Yat Lessie, relawan SAR aktif sejak dekade 1970-an, sangat tidak adil dan mengabaikan kompleksitas medan serta risiko yang dihadapi petugas penyelamat.
SAR: Antara Risiko Eksternal dan Bahaya Internal
Operasi SAR bukan sekadar aksi cepat tanggap. Ia adalah gabungan antara pengetahuan teknis, kesiapan fisik dan mental, hingga kerja tim yang solid. Bahaya yang dihadapi terbagi dua: eksternal dan internal.
Bahaya eksternal mencakup cuaca ekstrem, ketinggian, medan curam, dan kondisi alam yang tak bisa diprediksi. Sedangkan bahaya internal datang dari kesiapan individu: pengetahuan, stamina, keterampilan, hingga peralatan dan kondisi fisik.
“Alam bukan medan yang bisa ditaklukkan. Melawan hukum alam berarti mengundang fatalitas, bukan hanya bagi korban, tapi juga tim penyelamat,” ujar Yat.
Fakta Lapangan: Rinjani Tidak Mudah Ditaklukkan
Gunung Rinjani memiliki karakteristik ekstrem. Jalur menuju lokasi korban saja membutuhkan perjalanan sembilan jam dari Pos Sembalun, membawa peralatan berat lebih dari 20 kg per orang.
Jurang sedalam 600 meter yang harus dituruni, setara dengan lima kali tinggi Monas, menghadirkan tantangan teknis dan fisik luar biasa.
Evakuasi menggunakan teknik repelling dan lifting manual, tanpa bantuan helikopter karena kondisi cuaca buruk dan medan yang tidak memungkinkan. Tali kernmantle yang digunakan harus disambung, dan perpindahan antar tali menjadi momen paling kritis dalam misi tersebut.
Total beban evakuasi mencapai lebih dari 560 kg, ditarik perlahan bergantian. Proses ini berlangsung hingga 12 jam. Tidak ada ruang untuk kelengahan, dan tentu tidak ada waktu untuk “berleha-leha”, seperti tudingan yang beredar di media sosial.
Operasi SAR Salak: Pencarian Bagai Mencari Jarum dalam Jerami
Di saat bersamaan, operasi SAR juga berlangsung di Gunung Salak, Bogor. Seorang pria berusia 60 tahun, Ayon, dilaporkan hilang. Setelah dua hari pencarian dengan metode grid sweeping, korban ditemukan di tebing curam sedalam 60 meter, dalam kondisi meninggal dunia.
Evakuasi dilakukan dengan metode lowering, menurunkan jenazah menyusuri aliran air. Kejadian ini kembali menegaskan bahwa bahaya besar justru kerap mengintai saat proses turun gunung.
“Selalu ada hukum ketidakpastian di alam bebas. Bahkan pendaki berpengalaman pun bisa celaka karena satu momen lengah,” tulis Yat.
Kritik Tak Berdasar dan Seruan untuk Edukasi Publik
Yat menyayangkan munculnya komentar sinis dari netizen yang belum pernah mengalami langsung medan operasi SAR. Ia mengundang publik untuk sesekali terjun langsung dalam misi SAR, agar bisa merasakan keringat, lelah, dan risiko nyata yang dihadapi para relawan.
“Operasi SAR bukan hasil tontonan film India, yang semuanya tampak mudah dan dramatis. Ini medan nyata, penuh lumpur, pasir, batu, dan angin badai. Dan kami bukan superhero,” tegasnya.
Catatan untuk Pemerintah dan Pendaki
Yat juga mengingatkan Kementerian Pariwisata agar lebih selektif dalam membuka akses wisata alam ekstrem. Setiap kawasan memiliki daya dukung atau carrying capacity yang perlu dijaga. Sementara bagi para pendaki amatiran, pesan tegas disampaikan:
“Jangan jadikan gunung sebagai taman bermain. Persiapan, pelatihan, dan pengalaman adalah keharusan. Setiap kecerobohan bisa membuat satu negara ikut repot.”
Penutup
“Setiap kali saya pamit pada istri untuk turun ke lapangan SAR, saya cium keningnya. Ia hanya diam, dengan mata berkaca-kaca. Karena ia tahu, saya bukan pergi ke mall, tapi ke medan penuh ketidakpastian,” tulis Yat di akhir tulisannya.
Misi kemanusiaan adalah panggilan jiwa. Dan tim SAR Indonesia, baik yang profesional maupun relawan, telah membuktikan komitmennya—meski tanpa imbalan, tanpa tepuk tangan.
Avignam Jagat Samagram. Selamatlah seluruh isi bumi.
Sumber: Yat Lessie – Relawan SAR Sejak 1970-an