Gontor: Santri Datang Tanpa Iklan
Kami berasal dari sebuah gampong yang terpencil. Utara dibatasi dengan Selat Malaka hanya dapat diakses dengan boat nelayan, ke timur perbukitan Guha Tujoh dan di barat perbukitan perbatasan Aceh Besar. Hanya bisa diakses dengan berjalan kaki, waktu itu belum ada jalan.
Awal Mula Mengenal
Untuk memasuki kampung kami dengan kendaraan hanya melalui Simpang Beutong setelah turun dari gunung Seulawah. Itupun jalan tidak beraspal, sebab di masa Orde Baru, PPP selalu menang sehingga tidak tersentuh pembangunan.
Kehidupan masyarakat sebagian bertani, lainnya menjadi nelayan. Keluarga kami banyak yang menjadi pedagang, turun temurun dari endatu yang datang ke Aceh untuk berdagang. Hanya sedikit saja yang menjadi aparat atau pegawai negeri, salah satunya abang dari Ayah.
Abuwa Kasim kami memanggilnya. Abuwa kepala sekolah, sering meminjamkan buku untuk kami baca.
Sekira tahun 1985, saat duduk di kelas V SD, saya membaca sebuah buku yang diterbitkan oleh Departemen Agama tentang pendidikan agama islam. Di dalam buku itu juga ada bab pengenalan beberapa pesantren di Indonesia.
Saya tertarik membaca. Di dalam hati, terkesan dengan dua pesantren yang ada di dalam buku, yaitu Pesantren Gontor dan Tebuireng. Dua-dua di Jawa Timur.
Saya sampaikan kepada Abusyiek, bahwa saya tertarik untuk bersekolah ke sana. Abusyiek senang hatinya, dengan tegas menjawab, “jak u Guntur mantong”. Ke Gontor saja. Rupanya kakek yang pernah bertugas ke Kalimantan dan Madura, pernah mendengar tentang Gontor yang disebutnya sebagai Guntur.
Kemudian saya sampaikan kepada Ayah dan Mamak, juga disambut dengan senang hati. Ayah mengingatkan, bahwa perlu menabung untuk pergi bersama. Saya pun semakin semangat membantu orang tua dalam usaha.
Keluarga kemudian mendapat informasi bahwa ada santri Gontor di Sigli. Kamipun ke sana menginap, dan belajar selama beberapa hari tentang Gontor. Keluarga ini membantu kami seperti bagian dari keluarga sendiri. Dari awal saya menjadi semangat dan terkesan dengan kekompakan keluarga santri ini.
Perjalanan Panjang
Sejak awal kami mengenal Gontor dengan mencari informasi sendiri. Tidak ada selebaran apapun tentang Gontor waktu itu. Akhirnya pada tahun 1986, beberapa keluarga di gampong bertekad ke Gontor. Ada yang tamat SMP dan SMA, seingat saya, hanya saya yang tamat SD.
Perjalanan susah dan panjang, setelah satu malam ke Medan, kami melanjutkan ke Jakarta, dua hari dua malam dengan bus ALS. Di Jalan ada berbagai cerita, penumpang turun untuk mendorong bus yang tidak sanggup mendaki, bahkan beberapa kali ganti ban dalam perjalanan karena kurang angin dan meletus.
Sesampai di Jakarta, melanjutkan lagi satu malam menuju Ponorogo. Sesampai di Ponorogo, melanjutkan dengan dengan trayek (L300), menuju Gontor.

Sesampai di sana, disambut oleh panitia santri baru. Dengan dibantu oleh senior sedaerah, akhirnya mulai belajar untuk persiapan ujian masuk. Ada tes bahasa Indonesia, berhitung, dan imla’, menulis dengan benar kata-kata bahasa Arab yang diucapkan, dan membaca Al Quran.
Tidak ketinggalan dengan psycho-test, di mana semua calon santri dipanggil satu-satu untuk dites supaya diketahui motivasi dan semangatnya untuk menuntut ilmu. Tahun itu, ada sekira 3500 calon santri untuk memperebutkan 800 kursi untuk kelulusan.
Semua ujian saya jawab dengan baik, namun pengetahuan imla’ saya sangat kurang. Saya tidak lulus pada tahun 1986.
Saat itu, Gontor hanya satu. Belum ada Gontor dua dan lainnya. Memang ada beberapa pondok yang didirikan oleh alumni dan guru Gontor, tetapi tidak ada hubungan dengan Gontor.
Dikenal Tanpa Iklan
Karena Gontor cuma satu, bertahun-tahun menjadi masalah. Ribuan orang datang ke Gontor tanpa diundang, tanpa iklan, tanpa ada selebaran dan spanduk untuk penerimaan santri baru. Yang lulus terbatas, sekira 800an, sisa yang ribuan lainnya sebagian besar tidak mau pulang ke kampung, tetap mau ke Gontor atau pesantren yang mirip Gontor.
Masa itu, Gontor tetap teguh tidak membuka cabang di mana-mana. Namun, merekomendasikan santri yang tidak lulus untuk masuk ke beberapa pesantren yang dikelola alumni.
Di kawasan Ponorogo ada pesantren Ngabar, Joresan, Arrisalah Slahung. Di Madura ada Al Amin Prenduan, di Jakarta ada Darunnajah dan sebagainya. Walaupun sudah belajar dalam penungguan di Pondok lain, tidak ada jaminan untuk lulus di Gontor. Banyak yang sampai mencoba berulang kali.

Comments are closed.