Hari Berkabung Daerah, Peringatan Peristiwa Berdarah Mandor Kalimantan Barat
Peristiwa mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam yang pernah terjadi di Kalimantan Barat, terjadi pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor Kabupaten Landak. Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat menjadi korban dalam tragedi berdarah ini.
BloggerBorneo.com – Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang dibunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.
Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak.
Hari Berkabung Daerah
Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Khatulistiwa.
Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa Cap Kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu-pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, maupun Dayak) mereka tidak ingin terjadi pemberontak-pemberontak terdapat di Kalimantan Barat.
Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu.
Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang.
Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.
Alur Kronologis
Masuknya tentara pendudukan Jepang bulan Juni tahun 1942 di Kalbar, ditandai dengan tindak kekerasan perampasan, perampokan, pemerkosaan, dan penindasan rakyat.
Hingga akhirnya seluruh raja, suku, pemuka masyarakat dan panembahan di Kalbar berkumpul dan bermusyawarah bagaimana menangani tentara pendudukan Jepang yang bertindak semena-mena.
Namun, musyawarah tersebut tercium oleh Jepang karena ada mata-mata Jepang yang juga orang Indonesia ikut dalam musyawarah itu.
Jepang tambah curiga ketika datang dua orang utusan dari Banjarmasin yakni dr Soesilo dan Malay Wei.
Secara diam-diam kedua tokoh tersebut menyampaikan berita bahwa akan ada gerakan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang sekitar bulan Januari 1944.
Sialnya, rencana pemberontakan tersebut diketahui oleh tentara pendudukan Jepang sehingga mulailah terjadi penangkapan. Pembunuhan besar-besaran terjadi pada tanggal 20 Rokoegatsu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944.
Di suatu siang kendaraan truk tertutup kain terpal berhenti di depan Istana Raja Mempawah. Serdadu bersepatu selutut dan topi yang berjumbai ke belakang serta pinggang yang digelayuti “samurai” turun terburu-buru menuju Istana.

Dengan alasan mengajak berunding, serdadu “Dai Nippon” itupun menciduk Raja Mempawah. Kemudian menangkap pula Panangian Harahap dan Gusti Djafar, teman baik sang Raja.
Mereka bertiga dengan tangan terikat diberi sungkup kepala terbuat dari bakul pandan, lalu digiring ke atas truk yang sudah menunggu dari tadi.
Serdadu yang lain dengan cekatan menempeli istana dan rumah kedua sahabat raja dengan plakat bertuliskan huruf kanji.
Bunyinya “Warui Hito” yang artinya orang jahat. Ternyata saat itu tak cuma di rumah itu saja yang ditempeli.
Banyak sekali rumah-rumah di wilayah Kalbar yang di atas pintunya tertempel “Warui Hito”. Kalau sudah begitu, penghuninya tak akan kedatangan tamu lagi, karena sudah dicap jahat.
Masyarakat umum pun tak berani bertandang ke situ. Sebab mereka tahu betul, jika berani mendekat apalagi bertamu, berarti tak lama lagi rumahnya bakal ditempeli dan dirinya disungkupi untuk dinaikkan ke atas truk pula.
Mandor Bersimbah Darah
Sehingga terjadilah apa yang dikenal dengan “Oto Sungkup”. Mereka ditangkap dengan disungkup bakul, dibawa ke tempat pembantaian yang sekarang dinamakan Makam Juang Mandor.
Setibanya di Mandor, mereka yang ditangkap diturunkan dari truk dan disuruh menggali sendiri lubang tempat mereka bakal dikuburkan.
Setelah lubang tersedia barulah Tentara Jepang dengan tanpa perikemanusiaan menyiksa dan memancung satu per satu leher korban dengan pedang samurainya.
Sehingga terjadilah peristiwa yang dikenal dengan “Mandor Bersimbah Darah”. Sungguh mengenaskan, badan yang terkubur terpisah dari kepala.
Kisah pembantaian sadis Makam Juang Mandor terus berlanjut hingga tahun 1945, tentara pendudukan Jepang tak kenal kompromi terus menangkap dan membunuh rakyat Kalbar yang dianggap pembangkang dengan dalih ingin mendirikan negara Borneo Barat dari penjajahan.
