Minggu lalu, nilai tukar ditutup Rp. 12.299 per dollar Amerika Serikat, sedikit menguat dari hari sebelumnya yang menembus hingga Rp. 12.300. Rupiah berada pada titik terendah sejak November 2008 yang pernah menyentuh Rp 12.400-an. Dibandingkan dengan Mei 2013, sebelum pengumuman pengurangan stimulus di AS, rupiah telah terdepresiasi lebih dari 26 persen. Lalu, adakah hikmah di balik pelemahan rupiah dan bagaimana cara memanfaatkannya?
Rupiah mengalami posisi terkuat pada tahun 2011, yaitu Rp 8.400-an. Saat itu, pertumbuhan ekonomi mencapai puncak, yakni 6,5 persen. Neraca perdagangan konsisten surplus dalam jumlah cukup besar, tertinggi pada Agustus 2011 senilai 3,5 miliar dollar AS. Itulah masa kejayaan ekonomi kita selama 10 tahun terakhir.
Memasuki triwulan II di tahun 2012, neraca perdagangan mulai mengalami defisit dan berlanjut hingga hari ini. Pertumbuhan ekonomi juga terus terkoreksi. Tahun ini kita akan memiliki pertumbuhan ekonomi terburuk sejak 5 tahun terakhir. Di tengah suramnya data ekonomi, indeks pasar modal kita juga tengah mencoba untuk terus mendaki mencetak rekor demi rekor tertingginya, hingga berada pada level 5.200-an akibat derasnya modal asing yang masuk. Pada 2008, IHSG masih berada pada kisaran 2.500.
Jika disimpulkan, perekonomian domestic saat ini sedang merosot, tetapi ketergantungan kita pada likuiditas dan modal asing justru meningkat. Pelemahan nilai tukar mulai berarti, untuk setiap likuiditas asing yang masuk, kita harus ”membayar” lebih mahal. Nilai dan daya tawar perekonomian domestik kian merosot terhadap negara lain.
Akhir-akhir ini, pelemahan rupiah terjadi secara intensif. Alasannya bukan karena inflasi yang terjadi pada bulan November yang tinggi, sebesar 1,5 persen, sehingga mendorong inflasi tahunan menjadi 6,3 persen setelah kenaikan harga premium dan solar sekitar 30 persen. Dibandingkan dengan dampak kenaikan harga BBM sebelumnya, kali ini relatif ringan.
Bandingkan dengan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang telah mendorong inflasi sebesar 17 persen. Kenaikan harga BBM sebesar 33 persen pada tahun 2008 mendorong inflasi tahunan naik menjadi 11 persen. Kenaikan harga BBM 44 persen tahun lalu mendorong inflasi menjadi 8,3 persen.
Merosotnya nilai tukar lebih disebabkan oleh data neraca perdagangan Oktober yang hanya surplus 23,2 juta dollar AS. Padahal, ekspektasinya, surplus perdagangan bisa jauh lebih besar setelah kenaikan harga BBM. Seperlima dari total impor kita berupa produk minyak. Produk minyak dan gas menguasai hampir 45 persen impor bahan baku. Padahal, impor bahan baku merupakan 75 persen total impor. Kenaikan harga BBM tidak serta-merta menurunkan impor minyak.
Pada prinsipnya, rupiah bereaksi negatif karena relaksasi defisit transaksi berjalan belum terjadi. Defisit transaksi berjalan merupakan salah satu pekerjaan rumah paling penting bagi pemerintah setidaknya dalam enam bulan ke depan. Jika tak ada tanda-tanda perbaikan, bisa dipastikan nilai tukar tak kunjung menguat. Bahkan, pelemahan bisa berlanjut terkait dengan kenaikan suku bunga Amerika Serikat sekitar triwulan II pada tahun 2015.
Sudah sejak dua tahun terakhir, nilai ekspor berkisar 14 miliar hingga 15 miliar dollar AS. Padahal, pada 2011, ekspor pernah mencapai hingga 18 miliar dollar AS. Namun, ada ”hikmah terselubung” karena sejak dua tahun terakhir nilai ekspor produk manufaktur terus meningkat. Tahun ini, rata-rata ekspor produk manufaktur mencapai 9 miliar-10 miliar dollar AS. Adapun ekspor produk tambang terus menurun menjadi 3 miliar-4 miliar dollar AS.
Salah satu kelemahan penting industri manufaktur kita adalah asupan bahan baku impor yang terlalu tinggi. Salah satu langkah strategis yang harus segera diambil adalah membangun industri penghasil bahan baku di pasar domestik. Biasanya pasar tak tertarik sehingga pemerintah harus turun tangan, baik lewat mekanisme regulasi maupun alokasi anggaran.
Selain produk manufaktur, produk pertanian juga perlu didorong. Komoditas pertanian memiliki kelebihan tak perlu bahan baku impor. Sebut saja komoditas teh yang justru nilai ekspornya menurun dari sekitar 13 juta dollar AS pada 2010 menjadi sekitar 9 juta dollar AS pada akhir 2014. Ekspor cokelat dan rempah juga cenderung menurun. Demikian pula dengan produk laut seperti udang.
Penurunan kualitas pertumbuhan selama ini salah satu penyebab utamanya adalah peran sektor manufaktur, pertanian, dan perikanan yang justru mengecil. Rupanya ada korelasi kuat antara memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui basis produksi yang kokoh dan daya saing ekspor serta kesehatan neraca transaksi berjalan. (CW)