Kisah Gadis Kecil Penjaja Koran, Tetap Berprestasi Meski Waktu Belajar Terbagi

Akhirnya setelah menunggu kurang lebih setahun, tulisan ini baru bisa selesai dibuat. Sudah lama saya memperhatikan sosok gadis penjual koran ini yang setiap pagi selalu terlihat di salah satu sisi perempatan sei raya dalam menuju arah kota Pontianak.

Bersama dengan seorang sahabatnya, dia selalu terlihat semangat berkeliling kesana kemari menjajakan koran dagangannya. Dengan wajah polos dan penuh ramah dia tidak henti-hentinya menyapa para pengendara yang terus datang silih berganti seiring perputaran lampu pengatur lalu lintas.

Kisah Gadis Penjaja Koran

Dan bagiku sendiri, gadis ini telah menjadi “loper koran mobile” langganan saya setiap pagi ketika mengantar anak istri saya ke rumah orang tua di kawasan sungai raya dalam.

Rasa kagum saya terhadap gadis ini membuat tangan saya tergelitik untuk menulis sebuah kisah mengenai dirinya, apalagi ketika saya tahu bahwa sejak kelas satu SMP hingga sekarang dia selalu masuk rangking 2 besar di sekolahnya.

Ternyata meski sibuk berjualan koran setiap hari, gadis ini tidak lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar. Sungguh luar biasa…

Kebetulan pada hari ini saya memiliki waktu untuk sedikit melakukan interview dengan dirinya, jadi begitu dalam perjalanan pulang dari Menikmati Kembali Segarnya Udara Pagi di Car Free Day Area Pontianak saya menyempatkan diri untuk singgah ke persimpangan dimana gadis itu biasa berjualan.

Sebenarnya sejak beberapa bulan terakhir, gadis ini memang agak jarang terlihat menjajakan korannya lagi. Menurut info sahabatnya, sejak naik ke kelas 3 SMP dia tidak bisa berjualan pagi dikarenakan jadwal sekolahnya sekarang masuk pagi. Jadi hanya bisa berjualan koran pada hari minggu atau libur saja, selebihnya posisinya digantikan oleh seorang sahabatnya.

Namanya Mulyana, usia 15 tahun (kelahiran 1996), sudah 2 tahun menjadi penjual koran (sejak kelas VI SD), tujuan bekerja hanya karena ingin membantu orang tuanya, merupakan anak sulung dari enam bersaudara, dan sejak duduk di kelas satu SMP selalu memperoleh rangking 1 atau 2 hingga sekarang.

Demikian beberapa jawaban pendek dari pertanyaan ringan yang saya lontarkan kepadanya. Di sela-sela senggangnya bekerja dan belajar, dirinya selalu menyempatkan diri untuk mengasuh adik-adiknya dan belajar.

Dalam buah pikirannya terbersit satu cita-cita yang menurutku tidak terlalu muluk yaitu “Aku hanya ingin menjadi pegawai kantoran saja, bisa mendapat penghasilan dan sekaligus menolong orang tua”.

Kondisi ekonomi keluarganya yang kurang mampu menyebabkan dirinya tidak berani untuk bermimpi tinggi, asalkan cukup dan mampu membantu keluarga nantinya dirasa sudah cukup. Tidak ada cerita ingin menjadi pilot, perawat, pejabat, atau bahkan menjadi presiden.

Dari sini dapat diambil sebuah gambaran bahwa inilah kondisi negara kita yang sebenarnya. Disaat para wakil-wakil rakyat kita yang terhormat mampu untuk membeli mobil mewah senilai miliaran rupiah, ternyata masih banyak lagi anak-anak dibawah umur yang harus membanting tulangnya demi menghidupi diri dan keluarganya.

Kalau mereka tidak bekerja, mereka tidak dapat bersekolah. Kalau mereka tidak bekerja, mereka tidak dapat terus bertahan hidup. Kalau mereka tidak bekerja, mereka tidak akan dapat meraih semua impiannya selama ini. Satu nilai penting yang dapat dipetik disini adalah meski mereka terpaksa harus bekerja, mereka tetap bisa berprestasi. (DW)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Don`t copy text!