Menjadi Imam Bukanlah Waktu untuk Murojaah Hafalan

Image: Antara.Com

“Waktu menjadi imam sholat berjamaah, bukanlah waktu untuk memurojaah hafalan Al-Quranmu.”
Potongan video tausiyah dari Ustadz Firanda Andirja tersebut lewat di halaman media sosialku kemarin malam.

Tausiah berlanjut dengan cerita pengalaman pribadi beliau ketika menjadi makmum sholat di suatu masjid. Saat itu beliau diimami oleh seorang pemuda.

Seusai membaca Al-Fatihah pada rokaat pertama, imam membaca surat Al-Mulk. Dan di rokaat kedua membaca surat Al-Qolam. Sholat berakhir dengan durasi waktu yang lama.

Selesai sholat, Ustadz Firanda bertanya kepada salah satu takmir. Apakah setiap mengimami, si imam tadi selalu pakai surat-surat panjang?

“Itulah, Ustadz,” jawab takmir masjid. “Saya sebenarnya bingung, karena banyak jamaah yang mengeluh sholatnya terlalu lama kalau beliau yang mengimami. Bahkan ada beberapa jamaah langsung balik badan, pulang, ketika tahu beliau akan jadi imam sholat.

Saya sendiri tidak enak kalau menegur beliau lagi. Soalnya dahulu pernah kami sarankan supaya bacaannya agak pendek saja, beliau menjawab alasan baca surat panjang supaya sekalian murojaah hafalan.”

Ustadz Firanda refleks menggelengkan kepala.

“Saat diberi kesempatan menjadi imam, maka sebenarnya kita itu sedang sholat untuk kepentingan jamaah yang bermakmum kepada kita. Bukan malah menjadikan kesempatan untuk memurojaah hafalan yang kita miliki. Kecuali memang kita sholat di lingkungan pondok pesantren tahfidz. Itu boleh, karena jamaah bisa sekalian murojaah hafalannya. Seumpama kita salah baca, bisa dikoreksi jamaah. Tapi kalau di masjid umum, kita baca surat panjang lalu lupa ayatnya, siapa yang akan mengoreksi?” tutup Doktor lulusan Univertas Madinah tersebut.

Aku tiba-tiba teringat ceramahnya Syeikh Ali Jaber, sebelum beliau wafat. Beliau bercerita pengalaman saat periode awal kedatangannya di Indonesia.

Suatu hari Syeikh Ali Jaber diminta untuk menjadi imam sholat Maghrib. Beliau menerima tawaran itu. Majulah Syeikh ke sajadah khusus imam.

Ketika itu Syeikh Ali masih terbawa oleh kebiasaan sholat di lingkungan Kejaraan Arab Saudi. Maka, di rokaat pertama, setelah membaca Al-Fatihah beliau membaca Surat Ar-Rahman sampai habis. Rokaat kedua membaca Surat Al-Waqiah juga sampai tamat.

Setelah salam, beliau berbalik badan ke arah jamaah. Dan beliau langsung terkejut karena jamaahnya tinggal dua shof. Padahal perasaan tadi banyak sekali yang ikut sholat jamaah, lebih dari tiga shof. Nanti beliau tahu kalau jamaah banyak yang membatalkan sholat karena dianggap terlalu lama.

“Dari kejadian itu, saya belajar banyak hal. Bahwa saya tidak boleh egois saat menjadi imam,” ucap Syeikh Ali Jaber. “

Akhirnya, saya tidak lagi memilih surat panjang waktu mengimami sholat. Karena kondisi jamaah itu berbeda-beda. Mungkin ada di antara mereka yang sedang terburu-buru untuk kembali bekerja, ada juga yang fisiknya tidak kuat berdiri lama.”

Ceramah beliau ditutup dengan kalimat yang jenaka tapi juga cukup menyentil.

“Jadi imam di Indonesia ini, janganlah panjang-panjang surat yang dibaca. Bila perlu surat Al-Ikhlas dibagi dua, jamaah pasti senang.”

Keh keh keh.

Video tausiyah itu seperti menjewer online telingaku. Karena jujur, aku adalah orang yang suka menjadikan kesempatan mengimami sholat di masjid sebagai sarana memurojaah hafalan.

Dan memang, rasanya lebih nyaman murojaah hafalan Quran –terutama ayat-ayat panjang—ketika aku jadi imam. Ternyata selama ini aku salah.

Aku sendiri pernah ditegur istri, “Bi, tadi aku denger salah satu jamaah perempuan menggerutu. Lama banget sholatnya kalau Pak Fitrah yang mengimami.”

Saat itu aku baru pulang dari menjadi imam sholat Isya’ di masjid. Pada rokaat pertama, aku baca surat Al-Fajr (30 ayat). Di rokaat kedua sengaja memilih surat Al-Ikhlas, supaya ‘nebus’ waktu rokaat pertama. Itu pun masih ada yang menggerutu.

Tapi inilah manusia. Kadang kita lupa tujuan menjadi imam sholat adalah mewakili kepentingan makmum. Bukan untuk gagah-gagahan, merasa hafalannya paling banyak dan bacaannya paling bagus, hingga melupakan kondisi jamaahnya.

Muadz bin Jabal, seorang sahabat Nabi, pernah ditegur Rasulullah setelah ada jamaah yang lapor kalau Muadz selalu membaca ayat yang panjang saat mengimami sholat hingga terlalu lama selesainya.

Kemudian Rasulullah memanggil Muadz dan bersabda, “Wahai, janganlah engkau membuat orang membenci agama ini. Saat menjadi imam, maka pendekkanlah bacaan sholat, karena di belakangmu ada orang tua, orang yang lemah fisiknya dan ada pula yang memiliki urusan lain.”

Menurut Gus Baha, hadits ini unik. Karena Rasulullah melarang imam membaca surat panjang, tapi tidak pernah ada hadits yang melarang imam memendekkan bacaan surat.

Bahkan ketika beliau mendengar laporan ada salah satu sahabat yang selalu membaca surat Al-Ikhlas di setiap sholat, dan beliau mengetahui alasan sahabat tersebut suka surat Al-Ikhlas karena di dalam surat itu disebutkan seluruh keutamaan sifat-Nya Allah, lalu Nabi pun bersabda,

“Berbahagialah, karena Allah pun menyukaimu seperti engkau menyukai membaca surat Al-Ikhlas.”
Dari sini, bisa diambil dua kesimpulan. Pertama, agama Islam tidak dihadirkan untuk menyulitkan pemeluknya. Kedua, bahwa meskipun suratnya pendek dan mudah dihafal namun bila dibaca dengan dilandasi niat serta alasan yang baik, maka itu pun disukai Allah.

Jadi, penunjukan imam sholat sebenarnya harus melalui seleksi yang ketat. Bukan cuma yang bagus bacaan dan banyak hafalannya, tetapi juga lihat bagaimana kepekaannya terhadap kondisi makmum yang ia pimpin.

Sebab, konsekuensi dari pemilihan imam yang salah ini tidak main-main; dia akan berpotensi membuat orang lain membenci agama Islam.

****

Indramayu, 28 Maret 2024

Fitrah Ilhami

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Don`t copy text!