Penyakit yang dialami oleh Muhammad Zulfikar ini dalam ilmu kedokteran disebut dengan “Aspixia Neonatal”. Dalam kegiatan belajar, Fikar harus menggunakan laptop, sehingga kemana-mana selalu membawa peralatan tersebut. Saya kenal dengan Fikar ketika bertugas di kota Semarang tahun 2006-2008, saat itu anak sulung saya harus pindah dari Makassar dan melanjutkan kelas 3 SMP-nya di SMP Al Azhar Banyumanik Semarang.
Walaupun hanya bisa mengenalnya dalam waktu yang cukup singkat yaitu sekitar 1 tahun, Fikar merupakan sahabat anak saya yang paling akrab. Fikar suka menginap di tempat tinggal saya, begitu juga sebaliknya anak saya suka menginap di rumah Fikar. Tadinya saya heran, mengapa anak sulung saya mau berteman dengan seorang anak penyandang disabilitas.
Anak saya sangat perhatian terhadap Fikar, selalu membantu segala sesuatu yang secara fisik sulit dilakukan sendiri oleh Fikar. Sering berdiskusi mengenai program komputer, kebetulan anak saya dikarunai pengetahuan dan kemampuan lebih penguasaan beberapa program komputer sejak kecil. Saya sendiri sulit berkomunikasi dengan cara berbicara langsung dengan Fikar, tapi anehnya kalau anak saya sangat mengerti segala sesuatu yang diucapkan oleh Fikar.
Pertengahan tahun 2007 setamat SMP, Fikar mengikuti orang tuanya yang berprofesi sebagai dokter ke Qatar dan melanjutkan SMA-nya di sana, sedangkan anak sulung saya melanjukan ke SMAN 3 Semarang. Beruntung buat Fikar, sistem pendidikan di Qatar mengikuti sistem di USA, di mana pendidikan dasar hanya sampai kelas 11, sehingga cukup 2 tahun saja Fikar menamatkan SMAnya di Qatar.
Setamat dari SMA, Fikar melanjutkan kuliah di Qatar University mengambil jurusan Hubungan Internasional. Karena prestasinya yang luar biasa, Fikar mendapatkan beasiswa penuh. Dalam waktu kurang dari 4 tahun, Fikar dapat menyelesaikan study S1nya dengan predikat nyaris sempurna, yaitu IPK 3,93!
Selama tinggal di Qatar, jika ada kesempatan liburan ke Indonesia Fikar menyempatkan berkunjung dan bertemu dengan anak saya, waktu masih di Semarang maupun di Bandung. Fikar dikenalkan dengan teman-teman anak saya (teman SMA di Semarang dan teman kuliah di ITB Bandung), dan hebatnyanya Fikar sangat mudah akrab.
Setamat S1 di Qatar, Fikar langsung melanjutkan study S2-nya dibidang hubungan internasional ke Universitas Manchester di England. Ketika anak sulung saya tahun 2015 baru menamatkan S1-nya di Teknik Informatika-ITB, Fikar telah menamatkan S-2nya di Universitas Manchester. Fikar adalah penulis produktif, terutama masalah hubungan dunia arab (timur tengah) dengan negara-negara lain, juga penulis yang memotivasi kaum disabilitas. Hingga kini Fikar merupakan penulis yang cukup terpandang di Eropa dan merupakan kontributor tetap di harian “The Huttington Post” dan beberapa media lainnya.
Sekarang di usianya yang memasuki 24 tahun, Fikar sedang menempuh jenjang pendidikan tertinggi S3 bidang ilmu politik di universitas Manchester, England. Fikar telah membuktikan bahwa disabilitas bukanlah halangan untuk meraih mimpi dan cita-citanya. Bravo Fikar!