Runtuhnya Demokrasi Kita?
"L’État c’est moi", (Negara adalah Saya). Bagi Louis XIV dia adalah negara, dan perkataannya adalah hukum. Raja Perancis itu hendak mengatakan bahwa "Melawan saya adalah sama dengan melawan negara". Maka kritik kepadanya sama dengan makar kepada negara.
Hal itu tak berpunggung badan dengan pasal makar (aanslag) yang termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita, yang diatur dalam Bab I, Buku II. Tak dapat dipungkiri bahwa isi aturan pidana tersebut berasal dari negaranya (Perancis), dan diadopsi oleh Belanda, kemudian Indonesia dengan asas konkordansinya.
Ketentuan pasal makar (termasuk pemberontakan) di dalamnya merupakan pasal kolonial. Itu jelas merupakan bentangan fakta, dan hingga hari ini belum dapat diperbaiki dengan disahkannya KUHP kita yang baru. Banyak tokoh tersandung aturan tersebut sejak dulu (orde kolonialisme), pasca dan transisi kemerdekaan, hingga hari ini untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Pasal ini begitu berbahaya, sebab seringkali dimanfaatkan rezim untuk menumbangkan hadang rintang perlawanan. Sebut saja Sultan Hamid II dari Pontianak. Delapan tahun lalu saya sempat meneliti kasusnya dalam tesis pascasarjana. Saya menganulir tuduhan tersebut. Untuk selanjutnya, banyak tokoh lain turut dikenakan pasal tersebut. Pun hari ini, absolutisme dalam rezim kekuasaannya (Louis XIV) dulu, tampak berhasil dipraktikkan penguasa.
Penahanan Tokoh Oposisi
Sejumlah tokoh oposisi, ditangkap, ditahan, dan dijebloskan ke penjara karena menjadi tersangka makar. Dugaannya subyektif, permulaan pelaksanaan itu melalui pelaksanaan niat atau kehendak, belum tentu pelaksanaan kejahatan. Melalui tangan penegak hukum, penguasa pilar eksekutif itu memborgol kemerdekaan berkumpul dan pendapat. Sedangkan rumusan delik dalam ketentuan-ketentuan yang termuat dalam aturan itu, secara teoretik dan asas hukum pidana sangat layak untuk diperdebatkan hingga dipertentangkan.
Pilpres kemarin sudah usai, namun banyak persoalan yang tersisa dengan meninggalkan kerusakan tatanan kenegaraan. Memang, rezim hari ini tak menyatakan secara langsung bahwa dirinya adalah negara, namun beberapa tindakannya satu periodik kepemimpinan yang lalu, seakan meniru prinsip gaya dan kepemimpinan-pemerintahan Louis.
Dia semacam hendak membuktikan kebenaran. Kebenaran bahwa rakyat tak punya kekuatan apa-apa, karena tak langsung menguasai perangkat kebijakan. Seakan layak dan boleh dipermainkan, semua kebijakan itu tak sekadar tergantung kepentingan elit, melainkan yang utama adalah para pedagang kelas kakap, para pemain besar, pula dengan keuntungan yang besar.
Meski demikian, pemerintah tampak malu-malu. Lagi-lagi mereka berdalih semua demi keamanan dan stabilitas negara. Sedangkan urgensi pesta demokrasi adalah keterpilihan kepala negara maupun legislatif dengan jujur dan adil. Beberapa hari lalu kita dipertontonkan adegan kekerasan di jalanan. Aksi massa menuntut keadilan atas keputusan KPU yang memenangkan salah satu paslon capres dan cawapres menimbulkan reaksi keras sebagian masyarakat maupun oposisi.
Aksi Massa Lazim dalam Demokrasi
Dalam demokrasi, reaksi dengan melakukan aksi massa (demonstrasi) lazim adanya. Sedangkan dalam menguji independensi lembaga Yudikatif, Mahkamah Konstitusi juga merupakan salah satu pilihan konstitusional dalam menguji sengketa pemilu. Namun, konsekuensi logis dari perangkat yang telah tersedia adalah kebenaran, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan.
Tak sedikit masyarakat menilai sebagian lembaga-lembaga tinggi negara itu tidak merdeka. Disinyalir, ada tekanan besar petahana dalam mempengaruhi hasil proses pemilihan hingga keputusan, pun putusan hukum. Sehingga itu semua dianggap membungkam kran demokrasi yang ada. Abuse of Power jelas menghancurkan demokrasi kita. Apalagi pilar-pilar demokrasi kita hari ini ditopang kekuatan baru interaksi masyarakat bernama dunia maya. Semua informasi demikian cepat mengalir. Ini ancaman, bagi beberapa kalangan pemerintah yang ingin menyembunyikan fakta buruk perilakunya.
Tindakan pemblokiran terhadap akses sosial media beberapa hari ini juga dikecam oleh masyarakat Indonesia. Blokir terhadap akses tersebut dianggap tak layak dan tak tepat waktu. Di sisi lain informasi tengah cepat dan padat, semua memberitakan isu hasil pemilihan dan reaksi terhadapnya.
Menutup Akses Informasi, Bentuk Menyalahkan Rakyat?
Di tengah berlangsungnya aksi massa yang masif, tersebar berita-berita (video) penembakan terhadap aksi massa dan kerusuhan. Kabarnya banyak kematian akibat upaya pengamanan massa aksi (yang sepatutnya) damai. Pemerintah tak terlihat berempati dengan kejadian tersebut, bahkan menyalahkan suara rakyat, kemudian menutup akses informasi cepat seperti media sosial. Tindakan proteksi yang dilakukan itu begitu angkuh, sombong, dan unjuk kekuasaan. Sedangkan legislatif yang ada, tak bergeming, diam, tak banyak peran yang bisa dilakukan.
Pers kita, yang dianggap sebagai pilar keempat demokrasi kita, tak ubah alat kekuasaan. Tak ada pemberitaan krusial, akibat “people power”, tak ada pemberitaan puncak klimaks demonstrasi kemarin. Negara kita bagaikan mati, bila empat pilar demokrasi kita tak efektif berfungsi. Bangsa ini bagaikan tumbang, bila hak berpendapat, berkumpul dan berserikat pun dibungkam. Sedangkan hak-hak itu menjadi dasar dari konstitusi kita.
Demokrasi kita telah mati?
Salam,
Pontianak, 25.05.2019. AD.