Jemari itu tak lagi lentik, terasa beda saat pertama kali disentuh kala malam pertama. Kulitnya bersisik dan berkerut, karena getir kehidupan. Guratan bekas parutan pun membuatnya bertambah kasar. Tak jarang jemari itu basah, menahan kristal-kristal bening yang menggenang di telaga mata. Pedih. Teringat pedasnya kata-kata yang pernah menusuk hati.
Kala keheningan malam menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta, kemudian perlahan dikecupnya sang kakanda dengan mesra.
Indah. Sungguh teramat indah Al Qur’an melukiskannya, “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”
Adakah yang lebih indah dari rasa kasih sayang diantara kedua insan yang berlainan jenis dalam sebuah ikatan pernikahan? Ia adalah sebuah mitsaqan ghalidza (perjanjian yang kuat), karenanya yang haram menjadi halal, maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian dan kebebasan pun menjadi sebuah tanggung jawab. Dua hati yang berserakan akhirnya bertautan. Ibadah, hanya itu yang dijadikan alasan.
Keindahan cinta dalam sebuah mahligai pernikahan adalah harapan penghuninya. Cinta akan membuat seseorang lebih mengutamakan yang dicintainya, sehingga seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan seorang suami tentu akan mengutamakan perlindungan dan pemberian nafkah kepada istri tercinta.
Cinta memang dapat berbentuk kecupan sayang, kehangatan, dan perhatian. Namun bunga cinta tetaplah membutuhkan pupuk agar selalu bersemi indah. Karenanya, segala kekurangan akan menumbuhkan kebesaran jiwa. Bahkan airmata yang mengalir itu pun adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena IA telah memberikan pasangan hidup yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya.
Lalu, masihkah kehangatan itu nyata seiring bertambahnya usia pernikahan?
Aaah…
Kadang kita sebagai suami lebih sering bersikap dzalim. Kesibukan tiada henti, rutinitas yang selalu dijumpai, lebih menjadi ‘istri’ daripada makna istri itu sendiri. Masihkah ada curahan kelembutan dari seorang qowwam yang teduh? Adakah belaian kasih sayang yang begitu hangat seperti kala pertama kedua hati bersatu?
Saat-saat awal pernikahan, duhai sungguh romantis. Rona mata penuh makna cinta terpancar saat saling berpandangan, kedua tangan saling bergandengan, hingga jemari tersulam mesra. Tak lupa bibir melantunkan seuntai nada
…Sambutlah tanganku ini / Belailah dengan mesra / Kasihmu hanya untukku / Hingga akhir nanti…
Sungguh membuat iri mata yang memandang.
Malam dan siang silih berganti mewarnai hari. Susah senang hilang timbul bagaikan gelombang laut. Keluh dan bosan pun kadang menelusup. Hingga akhirnya lirik lagu cinta pun meredup.
…Sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan / Sepanjang jalan kenangan kupeluk dirimu mesra / Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu / Menambah nikmatnya malam syahdu…
Akhirnya kemesraan pun hanyalah sekedar kenangan.
Entahlah…
Entah kemana canda yang dahulu pernah membuat istri kita tertawa bahagia, ciuman di kening seraya berpesan “Baik-baik ya di rumah,” atau pun sekedar ucapan salam “Assalaamu alaykum ummi,” saat akan keluar rumah. Bahkan, lupa kapan terakhir tangan ini menyentuh, menggenggam mesra jemari istri tercinta. Padahal dosa-dosa akan berguguran dari sela-sela jemari saat kedua tangan disatukan.
Duhai Allah,
Airmata itu pernah tumpah, deras bercucuran. Luruh dalam isakan, menyayat kepedihan. Hanya karena enggan jemari ini bersentuhan. Ampuni diri yang dzalim ini yaa Allah. Sadarkan, sebelum saatnya harus beranjak pergi Jauh, dan tak akan pernah kembali.
Allahu a’lam bish-shawab.