BloggerBorneo.com – Kata orang kalau udah kiyai minta, berat urusannya. Kalau melawan, bisa kualat. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!

Dalam dunia fikih, para ulama biasa berdebat soal apakah air dua kulah itu suci mutlak, atau berubah hukumnya jika kemasukan bangkai cicak yang pura-pura tenggelam demi dramatis.

Tapi di sebuah aula hotel di Jakarta, pada Kamis, 29 Jumadal Ula 1447 H / 20 November 2025, para pengurus Syuriyah PBNU justru sedang membahas perkara yang lebih panas dari perdebatan air musta’mal.

Apakah seorang Ketua Umum PBNU masih memenuhi syarat kemakruhan organisasi, atau sudah masuk kategori “wajib ditertibkan demi hifzhul jamaah”.

Dari 53 pengurus, 37 hadir. Jumlah yang cukup untuk membuat satu shaf shalat berjamaah yang lurus, meski beberapa mungkin shaf hatinya sedang oleng oleh kabar datangnya narasumber yang dianggap punya aroma jaringan Zionisme Internasional.

Rapat memandang tindakan itu tidak hanya melanggar nilai Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, tapi juga bertentangan dengan Muqaddimah Qanun Asasi.

Dalam istilah fikih, ini bukan sekadar khilaf kecil, tapi sudah masuk kategori makruh tahrimi yang bikin guru-guru pesantren mendadak meninggikan alis.

Apalagi kejadian itu berlangsung di tengah praktik genosida yang dikecam dunia internasional.

Ibarat orang sedang bertayammum karena darurat debu, malah ada yang tiba-tiba mandi besar di atas bukit pasir sambil melambaikan tangan ke drone.

Tak etis, tak kontekstual, dan tak selaras dengan maqashid organisasi yang ingin menenangkan umat, bukan menambah kegelisahan. Masalah semakin pedas ketika rapat masuk ke topik tata kelola keuangan.

Para ulama Syuriyah yang biasanya berdiskusi soal akad mudharabah mendadak berubah seperti auditor fikih, menemukan indikasi pelanggaran hukum syara’, aturan perundang-undangan, hingga pasal 97–99 ART.

Jika ini bab muamalah, bahasa kitab kuningnya adalah, akadnya fasad, berkahnya luntur, dan risikonya bisa membahayakan eksistensi badan hukum.

Kalau dalam fikih ibadah, ini setara dengan imam shalat yang ketahuan menghadap kiblat 15 derajat melenceng sambil tetap ngotot bilang “yang penting niatnya lurus.”

Melihat semua ‘illat tadi, Syuriyah tidak langsung memukul palu. Mereka mengikuti adab fikih. Bila kemaslahatan umum dipertaruhkan, maka keputusan diserahkan kepada ulil amri minkum.

Maka Rais Aam bersama dua Wakil Rais Aam bermusyawarah, lalu keluarlah fatwa organisasi yang membuat banyak Kiai spontan menghela napas panjang layaknya habis membaca bab waris yang melibatkan delapan paman dan lima sepupu.

Keputusannya tegas, jelas, dan sederhana. KH. Yahya Cholil Staquf diminta mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU dalam tempo tiga hari.

Tiga hari, wak, bukan tiga minggu, bukan tiga bulan, bukan tiga kali masa iddah. Bila lewat tiga hari tidak juga mundur, maka keputusan berikutnya otomatis berjalan, pemberhentian dari jabatan Ketua Umum PBNU.

Hukum berubah bukan karena marah, tapi karena ‘illah-nya sudah terpenuhi. Seperti kaidah fikih, “Taghayyurul ahkam bi taghayyur al-azminah wal amkinah.” Keadaan berubah, hukum pun ikut berubah.

Membaca risalah ini sambil menyeruput Koptagul, pembaca pasti geleng-geleng kepala. Rasanya seperti sedang ngaji kitab kuning bab jinayat edisi organisasi besar, penuh satire alami, tapi tetap cerdas, tetap sopan, dan tetap berakar pada fikih.

Bahwa dalam ormas sebesar PBNU, ketika marwah jamaah terusik, maka ulama bergerak. Ketika ‘illat terpenuhi, keputusan lahir. Ketika keadaan sudah masuk level darurat, maka tempo tiga hari bukanlah ancaman, tapi bagian dari adab menjaga umat agar tidak makin bingung.

Begitulah Syuriyah mengambil sikap. Tegas, berlandaskan fikih, tapi tetap membawa aroma pesantren, halus di lidah, pedas di dada, dan bikin pembaca tersenyum miris sambil menatap cangkir Koptagul yang tiba-tiba terasa lebih panas dari biasanya. (RS)

 

Penulis: Rosadi JamaniEditor: Dwi Wahyudi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *