Ini momen gregetan sebenarnya, karena semakin merah membaranya Surabaya, dan beberapa teman nakes mulai laboran ATLM pemeriksa sampel hingga dokter di RS rujukan covid mulai berjatuhan sakit akibat infeksi covid-19 ini.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, bahwa penyebab yang cukup dominan dari ketidakpatuhan masyarakat terhadap upaya penekanan jumlah orang yang tertular covid-19 ini adalah kepercayaan sebagian (BESAR?) masyarakat terhadap teori konspirasi dan hoaks. Lain-lainnya, alasan ekonomi, misalnya, cuma buntutnya aja.
Mengapa?
Pertama, karena teori konspirasi mengepung dari segala penjuru. Ya termasuk soal konspirasi menjatuhkan ekonomi itu juga. Kalau saya hitung, ada sekitar 240-an teori konspirasi dan hoaks terkait pandemi covid-19 itu. Jadi wajar bila teori konspirasi ini hampir tanpa perlawanan, karena kalau di-counter satu-satu, status ini aja bisa jadi buku.
Kedua, karena umumnya, ibarat adonan kue, teori konspirasi dan hoaks yang beredar itu merupakan satu bangunan narasi utama, yang dibumbui di sana sini dengan sedikit fakta ilmiah, lebih banyak fiksi dan asumsi, diaduk jadi satu, lalu disajikan dalam bentuk kue yang tampilannya menarik selera.
Jadi bagi yang kurang banyak bacanya, ditambah faktor emosi dan jenuh akibat terkurung sekian lama, akan lebih mudah menerima keseluruhan isi dari teori konspirasi dan hoaks itu bulat-bulat karena merasa ada benarnya.
Ketiga, karena teori konspirasi itu jauh lebih mudah dikunyah-kunyah dan lebih dramatis. Seseorang nggak perlu belajar virologi dan imunologi yang rumit, nggak perlu ngitung ala epidemiologi untuk mencari probabilitas transmisi. Cukup mendengar kuliah ilmu geopolitik dan geoekonomi yang misterius ala film spionase yang seru dan memicu adrenalin serta emosi, maka sukses pula asal muasal covid itu menjadi satu paket teori konspirasi.
Jadi, apa benar bahwa semua teori konspirasi itu tidak benar?
Jawabannya dua:
Pertama, di dunia ini namanya konspirasi pastilah ada. Tapi tanpa tahu pasti buktinya, maka apa yang kita percayai tentang konspirasi itu cuma berarti dua. Kalo nggak cuma berakhir sebagai teori, ya akhirnya jadi hoaks. Percaya teori konspirasi itu tidak bodoh, tapi hanya terlalu peduli tapi nggak punya bukti. Sedangkan hoaks, itu memang upaya dengan sengaja menyisipkan kebohongan untuk kepentingan pribadi.
Kedua, Untuk mengidentifikasi kebenaran suatu teori konspirasi, maka “the devil is in the detail”. Seperti yang saya bilang di atas, teori konspirasi sering diadon jadi satu antara fakta, fiksi, dan asumsi, sehingga untuk mengidentifikasi mana hoaks, mana asumsi, dan mana kebenaran sejati, maka premis-premis dalam teori itu harus diurai satu demi satu, dipisah mana yang berdiri sendiri, mana yang kemudian diotak-atik gatuk.
Dan itu tidak mudah. Anda harus banyak baca, punya memori yang kuat, skeptis bahkan pada dogma sekuat agama (karena nggak jarang pembuat teori konspirasi dipengaruhi tafsir pribadi terhadap suatu dalil tekstual agama) serta openness. Pola pikir terbuka, mau menerima kebenaran yang akhirnya harus diterima, bukan sekedar kebenaran yang dinginkan.
Adonan fakta dan asumsi inilah yang terjadi dalam banyak teori konspirasi terkait covid-19 ini. Mulai dari teori konspirasi di awal pandemi yang apakah covid-19 ini bikinan China, lalu Amerika, lalu yang terakhir, di bulan ini, di suatu podcast yang menghadirkan sosok shadow yang begitu fasih bicara geopolitik dan geoekonomi, yang mengatakan bahwa virus ini bikinan “yang paling diuntungkan”, bukan xi jinping bukan pula Trump yang ternyata dua-duanya sama-sama menderita.
Pada akhirnya pemirsa diminta menebak sendiri. Yang penting prinsipnya konspirasi. Boleh juga nuduh Yahudi yang sudah pasti di sini nggak akan bisa membela diri,.
Adonan yang sama terjadi di teori konspirasi Plandemik ala Judy Mikovits – si anti vaksin yang bilang “bukannya saya anti vaksin”. Polanya sama. Mencampur fakta dan asumsi dalam takaran yang pas sampai membuat anda manggut-manggut sambil berkata.”wah, iya juga”.
Akhirnya bikin orang jadi nggak percaya pada masker yang dibilang “bisa mengaktifkan virus corona” (saya sambil garuk2 kepala mendengarnya). Dan bom nya adalah teori konspirasi ala mantan menteri.
Di podcast yang sama. Podcast yang sama yang juga mengundang musisi entah siapa yang juga penggandrung teori konspirasi. Padahal jelas, meskipun pemilik channel berupaya menjebak bu mantan menteri, kata kunci jawaban beliau juga senada dengan pencipta teori konspirasi lainnya, yaitu: mungkin,… saya tidak bilang….., silahkan pikir sendiri….
Teori konspirasi ala bu mantan menteri ini begitu bergema karena, selain ditayangkan di channel yotube ber-subscriber 9 juta dan ditonton hampir 4 juta kali (wow, tinggal hitung rupiahnya.
Sementara di rumah sakit rekan-rekan nakes berdarah-darah), juga karena ada dua faktor utama lain: faktor drama karena banga pencinta drama korea ini sangat menyukai hal-hal yang mengundang simpati, dan kedua karena di jaman yang banyak hal menjadi viral, teori bu mantan menteri ini sangat seksi.
Sangat mewakili isi hati rakyat yang sudah dikurung berbulan-bulan dan mengalami kesulitan ekonomi. Dan sedikit sekali pemirsa yang sadar bahwa sebenarnya ini adalah kesempatan untuk kesekian kali, simbiosis mutualisme, untuk membersihkan nama sekaligus meng- glorifikasi diri.
Padahal, seperti yang di atas saya bilang, dari semua teori ini, the devil is in the detail. Begitu banyak informasi ilmiah tentang genome virus dan berbagai mutasi antar wilayahnya di website GISAID atau nextrain.org yang bisa dikurasi dengan mudah oleh ribuan virolog di seluruh dunia.
Begitu banyak hasil penelitian ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah bergengsi yang memaparkan dengan gamblang pengetahuan-pengetahuan empiris dan berimbang, yang sudah ditafsirkan para akademisi.
Cuma ya itu, memang. Tidak banyak yang bisa menyampaikan pesan ilmiah itu pada masyarakat semenarik dan semudah dikunyah-kunyah teori konspirasi yang selalu punya benang merah sesederhana ini: Perlindungan dan keselamatan kita itu tergantung pada apakah kita tahu tentang fakta yang “mereka” tak ingin kita tahu, yang anehnya adalah tidaklah penting untuk tahu pasti siapa “mereka” itu.
Yah, ibarat kita lupa di mana naruh dompet, dan setelah putus asa mencari nggak ketemu, tinggal berpikir,”pasti ada yang mencuri”.
Nah. Jadi ingat nih. Sebagian besar teori-teori konspirasi tentang covid-19 ini kan, berawal dari podcast yang sama.
Jangan-jangan, semua teori konspirasi ini adalah bagian dari suatu teori konspirasi.
Sumber: dr. Atoillah Isvandiary