UMKM Zaman Now, Bukan Lagi Bicara Bisnis Tapi Lebih ke Kondisi Bertahan Hidup
Realita pahit pelaku UMKM zaman now: bukan lagi soal bisnis, tapi soal bertahan hidup di tengah algoritma, tekanan konsumen, dan sistem digital yang eksploitatif. Siapa sebenarnya yang diuntungkan?
BloggerBorneo.com – Mari kita akui sebuah kenyataan pahit: menjadi pelaku UMKM hari ini bukan sekadar menjalankan bisnis, tapi lebih seperti ikut kompetisi “Hunger Games” versi ekonomi digital.
Mulai pagi sudah sibuk packing, siang harap-harap cemas cari orderan, malam scroll marketplace sambil bertanya-tanya “kenapa produk gue nggak laku-laku?”
Digitalisasi atau Eksploitasi
Realitanya, UMKM bukan cuma singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah — tapi juga bisa diartikan sebagai Usaha Maju Kalau Masih Kuat.
Modal pas-pasan, dikerjain sendiri dari bikin konten, kirim paket, sampai balesin DM konsumen yang tanya harga tapi nggak jadi beli.
Di satu sisi disuruh branding itu penting, tapi di sisi lain, buat makan aja masih harus ngutang. Ironi ini nyata. Dan kita semua pura-pura nggak lihat.
Digitalisasi: Janji Manis yang Jadi Racun
Kata pemerintah dan para ahli: digitalisasi akan bantu UMKM naik kelas. Tapi kenyataannya, yang naik itu justru kadar stres, level kecemasan, dan notifikasi COD yang gak dibayar-bayar.
Masuk ke marketplace besar seolah jadi tiket sukses. Padahal, itu seperti bangun toko di tanah orang. Mau produk kita nongol di beranda? Bayar. Mau promo? Bayar.
Mau survive tanpa harus pusing soal algoritma? Mimpi! Semua dikendalikan sistem yang tidak transparan, dan pelaku UMKM jadi buruh digital yang dipaksa kerja tanpa jaminan kesejahteraan.
Tak jarang, UMKM dituduh kurang inovatif. Disuruh bikin produk “unik dan beda”. Lah Bu, saya jual cilok… masa harus glow in the dark biar dikira kreatif?
Konsumen, Algoritma, dan Ekspektasi Sosial
UMKM saat ini berhadapan dengan tiga “musuh besar”: algoritma platform digital, tekanan konsumen, dan ekspektasi sosial. Naikin harga dikit? Dibilang kemahalan. Turunin harga? Tekor. Gak jualan?
Dituduh nggak niat. Padahal, setiap keputusan adalah pertarungan antara bertahan hidup dan mengorbankan kualitas.
Lalu muncul netizen bijak yang menyarankan, “Coba dong rutin ngonten biar organik.” Gampang ngomongnya. Tapi bikin konten tiap hari, live jualan tiap malam, tetap aja untungnya recehan.
Sementara itu, waktu, tenaga, dan pikiran sudah habis untuk membangun sesuatu yang bisa runtuh hanya karena review bintang satu dari pembeli iseng.
Digitalisasi: Empowerment atau Eksploitasi?
Kita tidak anti digitalisasi. Tapi mari kita jujur: siapa sebenarnya yang diuntungkan? Apakah pelaku UMKM atau platform raksasa yang memanfaatkan data, tenaga, dan waktu UMKM secara cuma-cuma?
Kita diminta “naik kelas”, padahal sistem tidak mendukung. Edukasi digital minim, akses teknologi mahal, dan regulasi tidak memihak. “Naik kelas UMKM” akhirnya hanya jadi jargon manis yang dipajang di banner pelatihan dan seminar.
Di dunia nyata? Banyak UMKM yang gulung tikar dalam diam, sambil tetap memposting konten terakhirnya dengan caption optimis.
Bertahan = Prestasi
Jika kamu pelaku UMKM dan masih waras sampai hari ini, ketahuilah: kamu bukan cuma pengusaha. Kamu adalah petarung. Bukan petarung di panggung besar, tapi pejuang di medan perang ekonomi yang tidak adil, tidak merata, dan penuh tipu daya.
Kamu adalah pejuang tak terlihat yang tetap ngetik “Boleh Kak, DM ya 😇” meski tahu mungkin tidak akan jadi closing. Kamu adalah bukti hidup bahwa daya tahan jauh lebih penting dari sekadar modal.
Dan mungkin, di tengah segala kekacauan ini, satu hal yang masih bisa kita genggam adalah solidaritas: saling dukung, saling beli, saling promosi. Karena kalau bukan kita yang bantu sesama UMKM, siapa lagi? (DW)