(Nyaris) Diaspora

Image: AntaraNews.com

BloggerBorneo.com – Saya nyaris diaspora. Hampir saja. Itu terjadi di awal tahun ketiga program Doktor, sekitar September 2005, dan saat itu saya sudah submit jurnal kedua untuk syarat sidang doktor. Sambil nunggu hasil review, saya menulis disertasi.

Ketika itu beberapa perwakilan perguruan tinggi di Malaysia datang ke kampus Kyushu Institute of Technology tempat saya ambil program Doktor. Hanya perlu tandatangan kita akan langsung diterima sebagai pensyarah (dosen) di sana.

Waktu itu saya bilang kepada mereka bahwa saya sudah menjadi dosen di Indonesia. Mereka lantas bilang kapan-kapan bisa kontak mereka lagi jika setuju pindah.

Dikarenakan jurnal masih ada perbaikan hasil review kedua, sementara beasiswa Monbukagakusho benar-benar strict hanya untuk 3 tahun program Doktor, Maret 2006 saya pulang ke Pontianak. Alhamdulillaah, hanya 3 minggu setelah pulang, atau sekitar April 2006 dapat kabar dari sensei bahwa jurnal kedua sudah accepted.

Sensei bilang nanti silakan balik lagi ke Jepang dengan didanai lab untuk sidang tertutup dan terbuka. Tapi penulisan disertasi tetap dilakukan dengan konsultasi by email kepada sensei sambil menunggu jadwal sidang.

Jadi saat itu saya sehari harinya nongkrong sambil menulis di Lab Digital Control, Fakultas Teknik, Untan. Lab inilah tempat pertama kali saya mengabdikan diri di Untan sejak akhir 1995 hingga saat ini, 2017, menjadi Kepala Lab nya.

Baca Juga:  Jeffrey Lang, Kisah Seorang Profesor Matematika Amerika yang Masuk Islam

Masih dalam ingatan. Karena doktor-doktor di Teknik yang sudah selesai duluan dari saya saat itu juga ada yang menjadi diaspora dan ada yang sedang mencari peluang menjadi diaspora, maka ada yang bilang ke saya, “Bang Ferry pun kayaknya tidak lama lagi akan menyusul ke Malaysia nih…”

Saya nyengir, lantas pasang muka serius, “Saya sebelum ini mau ngajar di sana. Gaji besar siapa yang nolak? Tapi ketika tahu aturannya tidak membolehkan, maka saya akan jadi doktor pertama yang tidak akan kemana-mana.”

Saya tepati itu. Tidak kemana-mana untuk menjadi diaspora sejak resmi menjadi doktor pada Januari 2007. Tapi saat itu godaan datang lagi. Ada perusahaan di Jepang yang menawarkan jafi researcher di sana dengan salary 20 jutaan per-bulan.

Tidak saya tolak tegas, tapi saya bikin penawaran. Saya katakan, “Saat ini saya sudah dosen di Indonesia, kalau saya hanya di Jepang untuk beberapa bulan ketika liburan panjang semesteran, saya bersedia. Walau tentu harus dengan izin pimpinan.” Perusahaan di Jepang itu menolak. Saya pun tidak ada masalah.

Baca Juga:  Habibie Afsyah, Sosok Internet Marketer Indonesia yang Selalu Menginspirasi

Saya tidak tahu keputusan saat itu benar atau salah. Saya hanya berpikir kalaulah saya dan para doktor tidak pulang ke Untan, khususnya ke Teknik, lalu siapa lagi yang akan mengembangkan Untan? Idealis, mungkin. Masih relatif muda.

Akhirnya bertahan dengan gaji 1.5 juta yang setengahnya harus bayar angsuran rumah. Walau akhirnya juga pernah menangis di lab karena tidak ada uang untuk bawa istri check up ke dokter kandungan, dan lain-lain kisah mengharu biru lainnya.

Sedih memang, hingga menangis pun tak jarang, tapi akhirnya dipaksa harus dinikmati saja setiap episode cerita. Karena saya sadar di setiap keluarga pasti akan selalu ada air mata. Di sinilah saya merasa peran seorang istri bagi suami itu sangat luar biasa. Istri mau bersabar, suami pun akan jadi sosok yang kuat untuk bertahan.

Rayuan setelah meraih doktor itu bukan tidak ada, bahkan nyaris menggoda. Tapi pencapaian yang harus diperoleh pun mestinya semakin berkelas. Doktor tak hanya dinilai dari keilmuannya saja.

Baca Juga:  Dwi Bebeck is Back, Saksikan Kisahnya di Herma Insight Podcast

Tapi bagaimana ia bisa memprovokasi secara positif kolega, termasuk anak didiknya untuk juga melakukan riset, pengabdian dan lain sebagainya.

Melakukan idea generation, meng-create ide-ide kreatif inovatif yang semuanya untuk memajukan institusi serta kepentingan masyarakat. Menjadi garda terdepan problem solver, bukan justru sebagai trouble maker.

Sekarang sudah 10 tahun itu berlalu sejak resmi menjadi doktor dan penolakan saya untuk menjadi diaspora. Saya tidak tau apakah yang dulu saya lakukan itu adalah naif atau hal yang tepat. Saya juga tidak yakin apakah yang sudah saya perbuat selama 10 tahun ini berarti -walau sedikit atau tdk sama sekali- utk institusi. Tapi ada yang saya pahami.

Workshop Digital Marketing untuk Lembaga Pendidikan 2024

Hidup itu perdjoeangan. Bahkan perdjoeangan akan jauh lebih berat ketika kita telah menjadi ‘orang’. Semua mata akan tertuju dengan penuh harapan kepada kita. Tak salah. Karena dibalik sebuah kehormatan justru disitu pula terletak tanggung jawab besar. Karenanya, teruslah berdjoeang hingga surga tempat persinggahan yang kekal.

Penulis: Ferry Hadary

S1: Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura, Pontianak

S2: Tokyo Institute of Technology, Japan

S3: Kyushu Institute of Technology, Japan

Artikel Lainnya
Leave A Reply

Your email address will not be published.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More